14 - Jejak Lumpur

446 22 100
                                    

WOLF telah berada di tempat yang cukup ramai. Ia akan beraksi tanpa menggunakan jaket andalannya dan tanpa penutup wajah. Terlalu terlihat mencolok jika harus menggunakan atribut seperti itu. Sebab, atraksinya kali ini cukup menantang. Bagaimana tidak? Ia akan nekat melakukan aksinya di tengah keramaian seperti ini.

Mendadak, rasa cemas mulai membalut diri. Cemas akan kegagalan yang tak diharapkannya. Namun, tekadnya sudah bulat. Wolf harus benar-benar melakukan aksinya, sesuai dengan apa yang sudah direncanakan semalam. Sampai-sampai ia rela bergadang demi membuat rencana dadakannya itu. Tak boleh ada kegagalan yang didapat. Bisa-bisa, semua penghuni hutan ini akan mengetahui identitas aslinya. Oleh sebab itu, Wolf harus sangat berhati-hati.

Kini, Wolf telah berada di antara dua tenda. Pandangannya menjelajah ke arah sekitarnya yang masih tampak begitu ramai. Tak boleh gegabah, ia harus menunggu sampai keadaan benar-benar cukup meyakinkan.

“Permisi, Kak ....”

Namun, Wolf tercenung, ketika salah seorang adik kelasnya menyapa, dan melintas di hadapannya. Mendadak, detak jantungnya meningkat. Pun, keringat dingin merebak. Ia pun memilih untuk tersenyum, lalu menundukkan sedikit kepala, untuk membalas sapaan, supaya tak terlihat mencurigakan.

Wolf bisa bernapas dengan lega, setelah cewek itu pergi jauh darinya. Ia pun kembali memerhatikan keadaan sekitar, yang kini tampak sepi.

Aman.

Wolf menyeringai. Kemudian, menoleh ke arah tenda di samping kanannya, dan mengambil ancang-ancang untuk bersiap masuk ke dalamnya. Siapa lagi, kalau bukan tenda milik … Raja.

••••

Para pemburu harta karun sudah banyak yang berhasil kembali ke lapangan dengan membawa hasil buruannya. Mereka terduduk sambil meluruskan kedua kaki. Tak sedikit dari mereka yang mengibaskan tangan ke arah wajah, karena hawa panas mulai membekap tubuh mereka. Kendati begitu, mereka masih tetap semangat untuk mendengarkan siapa yang akan menjadi sang juara.

Di luar lapangan, Awes asyik memberikan sorak sorai serta tepuk tangan meriahnya untuk mereka yang baru kembali dari hutan menuju ke lapangan. Namun, tiba-tiba saja, keningnya mengerut saat merasakan sakit menjalar pada perutnya. Ia meringis, seraya mengusap perut. Sepertinya, efek makanan pedas yang diberikan oleh sang nenek kemarin belum juga hilang.

"Bob, tolong gantiin gue jagain anak-anak, ya! Gue mau ke toilet sebentar," perintah Awes kepada Bobby, yang hanya dianggukan saja oleh cowok berbadan gembul itu.

Tanpa buang waktu, Awes segera berlari menuju ke toilet yang berada di dekat tenda, sebelum semua isi perutnya tumpah di lapangan ini. Kemudian, menggedor pintu keras-keras, saat sampai di depan pintu. Berharap, orang yang ada di dalam segera keluar.

"Siapa di dalam? Cepetan keluar!" teriak Awes sembari menggedor pintu. Sayangnya, tak ada sahutan dari dalam.

Awes mengerutkan kening. Kenapa tak ada sahutan dari dalam? Apa yang dilakukan orang itu, hingga tak menyahuti? Penasaran. Awes pun mendekatkan telinganya ke arah pintu. Tendengar suara gemericik air, juga lagu yang mengalun dari dalam sana. Seketika, ia ingat siapa orang yang ada di dalam sana.

"Arvin! Cepet keluar! Gue udah nggak kuat!" teriak Awes lagi sambil menggedor pintu. Awes yakin bahwa di dalam adalah Arvin. Bukankah tadi Arvin bilang kalau cowok itu ingin membersihkan diri dari lumpur yang melekat di tubuhnya? Tidak salah lagi.

"ARVIN!" teriakan Awes semakin keras bersamaan dengan gedoran pintu yang juga kiam mengeras. Namun, lagi-lagi tak ada sahutan dari dalam. Ah, sial! Sia-sia saja Awes mengeluarkan seluruh tenaga dalamnya untuk menggedor pintu tadi.

WOLF (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang