25 - Monyet

250 23 104
                                    

"Ayah," panggil Happy lirih.

"Hmmm."

"Apa yang … akan Ayah lakukan, jika seandainya ... Wolf itu aku?” tanyanya begitu berhati-hati saat mengucapkan setiap kalimatnya.

Adam tercengung. Sungguh, perkataan putrinya itu sukses membuat jantungnya terasa berhenti, dan membuat tubuhnya membeku di tempat. Apa yang dibilang anak itu tadi? Apa itu sebuah pengakuan darinya? Batinnya. Namun, dengan cepat Adam menepis pikiran negatifnya itu. Ia pun memilih untuk menatap Happy yang juga tengah melakukan hal yang sama.

Adam tersenyum manis ke arah Happy. “Ayah nggak akan melakukan apapun. Karena Ayah percaya, kalau putri cantik Ayah ini adalah gadis yang baik.”

••••

SUARA riuh para siswa berhambur keluar kelas, setelah bel istirahat berbunyi. Tempat utama yang mereka tuju, ialah Kantin Sekolah. Sudah pasti, mereka akan segera memuaskan rasa lapar dan dahaga mereka, yang sudah tak tertahankan lagi sejak beberapa jam yang lalu.

Sama halnya dengan Raja dan kawan-kawannya. Kini, mereka berempat telah berkumpul dan menempati meja kantin yang disediakan khusus untuk mereka. Sambil menunggu pesanan datang, mereka juga membicarakan perihal kasus Yoga yang kini tengah menjadi trending topic di sekolahnya. Bahkan, hingga foto Yoga yang tengah tertangkap oleh Polisi kini telah tersebar luas di seluruh ponsel para siswa.

“HAH? Serius lo, Ja? Yoga mengidap Kleptomania?” tanya Kevin tak percaya. Tak hanya dirinya, Lisa dan Gavin pun turut membuka lebar kedua netranya, karena tak percaya.

Raja yang telah menceritakannya pun mengangguk. “Hmmm … Gue dikasih tahu sama om Adam semalam,” ungkapnya.

“Setidaknya, aku lega sekarang, karena Wolf sudah tertangkap. Dan aku yakin, pasti sekarang dia lagi meratapi perbuatannya itu di jeruji besi.” Lisa menimpali dengan senyumnya yang mengembang.

“Kamu jangan senang dulu, Lis,” sahut Gavin dengan menatap Lisa di hadapannya. Ia pun mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, dan berbisik, “Wolf … masih berkeliaran di sekitar kita.”

Lisa tergemap. Kedua netranya membulat. Ia menangkupkan kedua tangannya di depan mulutnya. Tak hanya Lisa, Kevin yang berada di sampingnya juga melakukan hal yang sama.

Kevin mengibaskan sebelah tangan di depan wajahnya. Sungguh, ia tak percaya. “Hahaha .... lo pasti bercanda, kan, Vin?” Kini, ia tergelak. Bahkan, suara tawanya itu hingga membahana di seluruh penjuru Kantin ini. Namun, detik kemudian, ia bungkam. Kevin pun turut menyodorkan tubuhnya sedikit ke depan, ke arah Gavin yang saat ini tengah menatapnya. “Lo serius, Vin?” tanyanya dengan serius.

“Gavin benar, Yoga itu bukan Wolf. Dan Wolf yang asli masih ada di sekitar kita. Om Adam yang bilang ke gue.” Kali ini Raja menyahuti. “Dan gue sudah mencabut tuntutan gue buat Wolf,” akunya dengan gamang.

“APA?” pekik ketiganya secara bersamaan. Kali ini, mereka tampak begitu terkejut dengan pengakuan Raja barusan.

“Ta-tapi, kenapa lo cabut tuntutan lo, Ja? Mau sampai kapan Wolf akan berkeliaran di sekolah kita? Kalau bukan Polisi, siapa lagi yang bisa menangkap dia?” protes Gavin kesal.

Raja mendesah pelan. Ia menatap satu per satu sahabatnya itu dengan nanar. Haruskah ia berkata jujur kepada mereka akan kondisinya sekarang?

WOLF (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang