9 - Impian dan Harapan

620 27 119
                                    

ARVIN memandang langit yang tak berbintang dari balkon kamarnya. Sepertinya, malam ini hujan akan mengguyur Ibu Kota. Bisa dilihat dari gumpalan awan berwarna hitam pekat yang terus bergerak maju menyembunyikan indahnya sinar rembulan dan juga bintang. Perlahan, angin dingin berdesir lembut menerpa siapa saja yang berada di bawahnya. Arvin pun memilih beranjak dari pembatas pagar untuk segera masuk ke kamarnya. Sebab, tak ingin dinginnya malam terus menggerogoti tubuhnya.

Arvin memilih untuk duduk di kursi meja belajarnya. Membuka buku pelajaran untuk dibaca dan diserap ilmunya. Ia baru ingat, jika besok akan ada ulangan harian di kelas. Oleh sebab itu, kini di antara jari-jemarinya telah terselip bolpoint yang siap untuk bergerak lincah, menuliskan kata demi kata di buku tulisnya. Kebiasaannya, yang suka merangkum apa saja yang dibaca, dan akan dibaca ulang nantinya.

Namun, mendadak tulis menulisnya terhenti. Entah apa yang tiba-tiba saja merasuki, bayangan Happy saat ini perlahan muncul di dalam benaknya.

05:00 PM

Arvin memilih untuk mengantarkan Happy pulang ke rumahnya, setelah bel pulang sekolah berdering. Sebab, Awes yang sudah terlebih dulu membuat janji dengan cewek itu, mendadak mendapat panggilan telepon dari pak Sany. Menyuruh cowok itu untuk menghadiri rapat penting perihal hasil wawancara tadi siang. Arvin tak tega melihat Happy harus pulang seorang diri. Oleh sebab itu, menggantikan Awes untuk mengantarkan cewek itu pulang.

Arvin menghentikan motor besarnya itu yang lebih mirip layaknya motor balap di depan pintu gerbang rumah Happy. Ia melepaskan helm full face, dan menerima helm pemberian Happy yang sudah turun dari motornya.

"Terimakasih, ya, Vin."

Arvin melenggut seraya mengaitkan helm yang digunakan cewek itu pada jok belakang motornya.

"Terimakasih juga soal wawancara tadi siang."

Mendadak kening Arvin mengerut. Jujur saja, ia tak paham dengan ucapan Happy barusan. "Terimakasih, kenapa?" tanyanya yang saat ini telah menoleh ke arah cewek itu.

"Aku yakin, kamu tahu kalau saat itu ... aku nggak ada di tempat. Tapi, tadi siang kamu malah bilang ke pak Sany kalau aku ... nggak kemana-mana," terang Happy sedikit ragu, sekaligus gugup. Bahkan ia tak berani menatap lawan bicaranya.

Arvin memilih untuk mematikan mesin motornya. Lalu, menatap lamat-lamat cewek itu yang masih menundukkan wajahnya. "Lihat aku!" titahnya kemudian.

Happy menuruti titah Arvin. Perlahan, mengangkat wajahnya dan menatap cowok yang jaraknya tak jauh di hadapannya. Hingga tak sengaja, kedua manik matanya saling bersitatap. Membuat degup jantungnya berdetak kian cepat.

"Jujur sama aku --" Arvin mendesah pelan. Oh, astaga! Sepertinya ia tak mampu untuk menatap lebih lama lagi manik mata indah milik cewek itu. Sehingga, tak mampu meneruskan ucapannya. Pun, ia akui. Jika darahnya mengalir dengan aneh hingga menimbulkan suatu desiran yang sulit diartikan saat menatap iris mata cewek itu.

"Jujur sama aku. Memangnya kamu ke mana, kemarin?" tanyanya akhirnya, setelah mengontrol emosi pada hatinya.

Happy kembali menunduk. Memainkan jari-jemarinya di depan roknya. Membuat Arvin yakin jika cewek itu sedang menutupi sesuatu hal darinya. Bahkan, ia tahu jika saat ini Happy tak ingin menjawab pertanyaannya itu. Sehingga, ia memilih untuk menarik kembali ucapannya.

WOLF (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang