38 - The Real Wolf

104 12 5
                                    

DI TERAS sebuah rumah mewah bak istana. Berjejer tiga buah motor sport ninja dengan bermacam-macam warna, seperti: merah, hitam dan biru. Pun, sebuah nomor plat unik tertempel pada motor ninja berwarna biru. Sebuah plat nomor yang bertuliskan B 390 LU.

Beralih dari sana, di sebuah kamar nan luas. Puluhan miniatur sepeda motor balap tampak tersimpan rapi pada dua rak lemari dengan kaca yang melapisi.  Pun, sebuah jaket berwarna hitam dengan lambang Wolf tergantung pada lemari pakaian yang terletak di sebelah kanannya. Sedangkan, sang pemilik benda-benda tersebut terduduk di atas lantai yang beralaskan karpet rasfur berbulu tebal, sembari menonton tayangan berita di TV.

Sungguh, sekarang saya menyesal. Akibat perbuatan saya pula, kini karir Mamah berada diambang kehancuran. Dan terakhir, saya juga meminta maaf kepada kedua sahabat saya. Maaf, karena telah mengecewakan kalian.”

Gavin terkekeh geli, saat melihat pernyataan maaf dari Arvin di TV. Ia menggeleng, lalu berkata, “Mereka nggak tahu saja, kalau serigala yang sesungguhnya, adalah gue.”

Mendadak, Gavin tertawa lebar, hingga menggema di dalam kamarnya. Sebuah tawa kemenangan atas apa yang telah dilakukannya. “Hahaha. Iya. Gue adalah serigala berbulu domba,” akunya yang masih diiringi oleh gelak tawa.

Gavin memegangi perutnya yang terasa sakit, akibat gelak tawanya yang kian membuncah. Pada akhirnya, ia memilih untuk menghentikannya. Lalu, ia pun mematikan TV, dan kembali bergumam, “Mulai sekarang, nggak ada lagi yang bisa menyaingi gue.” Cowok itu menyeringai. “Dan, sudah pasti sekarang gue yang akan selalu menjadi nomor satu di Sekolah.”

Pandangan Gavin beralih ke arah sebuah jaket hitam berlambang Wolf yang merupakan miliknya. Kini, benaknya telah berhasil menerawang jauh, mengingat akan kejadian di saat dirinya tengah mencoba untuk menjadi sesosok Wolf di acara Glamping.

Gavin telah berada di antara dua tenda. Pandangannya menjelajah ke arah sekitarnya yang masih tampak begitu ramai. Tak boleh gegabah, ia harus menunggu sampai keadaan benar-benar cukup meyakinkan.

Permisi, Kak.”

Namun, Gavin tercenung, ketika salah seorang adik kelasnya menyapa, dan melintas di hadapannya. Mendadak, detak jantungnya meningkat. Pun, keringat dingin merebak. Ia pun memilih untuk tersenyum, lalu menundukkan sedikit kepala, untuk membalas sapaan, supaya tak terlihat mencurigakan.

Kini, Gavin bisa bernapas dengan lega, setelah cewek itu pergi jauh darinya. Ia pun kembali memerhatikan keadaan sekitar, yang kini tampak sepi.

Aman.

Gavin menyeringai. Kemudian, menoleh ke arah tenda di samping kanannya, dan mengambil ancang-ancang untuk bersiap masuk ke dalamnya. Siapa lagi, kalau bukan tenda milik … Raja.

WOLF (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang