Akhir

14 3 0
                                    

Sesampainya di stasiun.

     Aku masuk kedalam stasiun setelah parkir dan mencoba menelepon paman.

  “Kok gak diangkat sih, paman yang mana ya? Aku sama sekali gak nemu foto paman dirumah, juga telepon gak diangkat” ujar ku dalam hati.

     Tak lama aku masuk kedalam tempat menunggu kereta, ada sebuah bangu berwarna biru disana, aku pun duduk disana sembari mencoba menelepon paman. Akhirnya setelah sekian lama menunggu, telepon ku pun diangkat.

  “Halo Bim, paman udah deket nih sebentar lagi turun. Ada digerbong ke 4 ya, nanti masuk kedalam bantu paman nurunin tas. Paman pakai baju putih, topi gambar macan sambil bawa tas biru muda” ujar paman.
  “Iya, aku udah didalam kok. Aku tunggu disini” jawab ku.

     Setelah melihat ada sebuah kereta datang.
Lekas ku berdiri untuk menunggu di depan gerbong ke 4 untuk membuka. Aku yang menerobos masuk saat ada orang-orang sedang keluar pun bertabrakan dengan seorang pria yang menggunakan jaket kulit berwarna cokelat. Aku pun tersadar ketika setelah bertabrakan aku berjalan bukan masuk kedalam kereta, justru sebaliknya. Aku mengarah keluar kereta, bukan mengarah kedalam kereta.

     Setelah ku teruskan jalan aku berdiri didepan gerbong sambil menunggu paman keluar, tak lama aku melihat pintu gerbong tertutup.

  “Oh tuhan, paman dimana? Kenapa sampai gerbong tertutup tidak ada orang yang memanggil nama ku. Apakah aku sudah meninggalkan paman yang masih didalam kereta?”

     Seketika aku terdiam. Aku meraih ponsel ku di celana untuk menelepon paman. Aku terkejut, karena ku lihat wallpaper hp yang ku bawa adalah foto Bima dengan Ashya dan sedangkan ini, hanya foto Bima sendiri. Dan aku pun berkata dalam hati.

  “Apakah hp ku tertukar dengan orang berjaket cokelat tadi? Ah tidak mungkin ia bisa memasang foto Bima di hpnya, mungkin aku saja yang lupa kalau wallpaper hpnya ditukar oleh Bima” sambil menengok kekiri dan    kekanan.

     Aku berjalan mencari paman. Aku melihat ada seseorang mengenakan baju putih, topi macan dan membawa tas warna biru muda sedang berjalan ke arah luar stasiun.
Lantas ku menegurnya.

  “Paman…” ujar ku.

     Seorang pria di depan paman yang sedang berjalan memainkan ponsel terkejut saat melihat ku, aku pun demikian. Seperti melihat ke arah cermin, ia mirip total secara fisik dengan ku. Dan aku pun berkata dalam hati

  “Aku melihat diriku sendiri berdiri didepan ku, layaknya sedang bercermin, apakah ini Bima?”

     Entah pikir ku kemana-mana. Dia melihat ku terdiam. Pikir ku mungkin ia memikirkan hal yang sama dengan ku. Aku yang terdiam saling tatap-tatapan dengan nya pun tersadar, karena aku menemukan tubuhku kembali. Layaknya terlahir kembali perasaan ku senang, namun semua ini belum berakhir.

     Aku masih harus menjelaskan ini semua kepada Ashya, ibu, dan paman. Tak lama setelah bertatapan lama, ternyata ia menyadari bahwa dirinyalah yang bertukar jiwanya dengan ku.
Bima memanggil ku.

“Wira?” sapa Bima.
“Bima?” jawab ku.
“Kita harus menyelesaikan ini semua” ujar Bima.
  “Banyak hal yang perlu di selesaikan sekarang Bim, ikut aku kerumah ibu Ashya bersama paman sekarang kita cari jalan keluar dari semua masalah ini” ujar Bima sambil mengangkat tas paman yang dibawanya.

     Kami pun beranjak pergi dari stasiun menuju rumah ibu Ashya yang dimana Ashya telah terbangun dari tidurnya. Kita semua duduk di ruang tamu, memulai pembicaraan tentang semua masalah ini sambil duduk santai sembari meminum teh hangat. Entah apa yang kurasakan sekarang. Yang ku tahu, aku senang namun sedih ketika ini semua akan berakhir.
Akupun bisa mengingat apa yang sebelumnya terjadi aku mengingat masalah mimpi ku sebelum terbangun dan bertukar jiwa ku dengan Bima.

  “Bima, Wira, tolong jelaskan ke ibu mengapa semua ini bisa terjadi” tanya ibu Ashya kepada ku dan Bima.
  “Aku tidak mengerti mengapa hal ini bisa terjadi, yang ku ingat saat aku tidur, aku di datangi oleh orang yang mirip dengan ku dan mengajak bertukar aktifitas sehari-hari, dimimpi ku aku pun menjawab mau. Karena aku tidak membayang kan bahwa ini semua    akan men jadi nyata” tanya ku kepada Bima.
  “Ya, aku ingat. Aku juga menerima mimpi yang sama” jawab Bima.
  “Memang hal ini tidak bisa diterima akal sehat    manusia. Tapi mau bagai mana, semua ini terjadi begitu saja, aku juga sebenarnya tidak mau seperti ini” ujar ku.

     Seketika semua hening tidak bersuara karena masih terkejut bahwa hal ini benar-benar terjadi. Tak lama kemudian, aku berkata kepada Bima.

  “Bim, kita tidak bisa merubah takdir kita yang tertukar seperti ini. Kita harus menerimanya, bagai manapun itu kita harus coba terima dan tetap menjalani semua ini walaupun berat”.

     Bima memeluk ku dan meminta untuk tinggal bersamanya, namun aku tidak bisa. Bagaimana pun juga, aku punya kehidupan ku sendiri aku pun menolaknya dengan menjawab.

  “Aku punya kehidupan ku sendiri, kamu punya    kehidupan mu sendiri Bim. Aku tidak mau    meninggalkan kehidupan ku. Aku merindukan hidup ku yang normal seperti dulu, aku tidak ingin terus berpura-pura menjadi dirimu, aku tidak perduli mau harta mu sebanyak apa, rumah mu sebesar apa. Tapi aku punya keluarga ku sendiri di rumah ku, walaupun  tidak ada orang tua disana, tetapi aku butuh kasih sayang mereka, karena mereka yang ada disaat aku sedang susah dan senang dirumah. Aku akan kembali pulang kerumah untuk menemui keluargaku, jangan bersedih. Kita akan bertemu lagi lain waktu. Aku juga    menganggap mu sudah seperti kembaran ku sendiri, kita masih beruntung dipertemukan sekarang sebelum salah satu dari kita pergi untuk selamanya dan selamanya pula kita harus berpura-pura terus seperti ini”.

     Akhirnya, kami memutuskan untuk berpisah sampai disitu. Tangis ku pecah saat ku mulai berjalan pergi meninggalkan mereka. Akupun senang karena saat yang ku tunggu-tunggu akhirnya datang. Dan akupun menjalani kehidupan ku seperti tidak terjadi apaapa.

                             

                                      -Tamat-

Siapa Aku SebenarnyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang