Rara melepas jaket dengan bulu imitasi yang dikenakannya. Mereka baru sampai di South Pole Station, stasiun penelitian yang terletak di Kutub Selatan. Suhu minus 28 derajat celcius dan kondisi berangin yang membekukan, membuat gadis bertubuh langsing itu memakai dua sweater sebelum jaket tebal.
Stasiun penelitian memang memiliki pemanas ruangan, namun itu tetap saja membuat Rara langsung merindukan kehangatan sinar mentari khatulistiwa yang sepanjang tahun menyinari negaranya. Dia meletakkan barang bawaan di kamar yang akan menjadi tempat tinggalnya selama tiga bulan ke depan lalu duduk di pinggir ranjang.
Gadis itu tidak bermaksud untuk tidur, tapi sebelum disadari, dia sudah berbaring telentang. Matanya menerawang jauh melintasi lautan dan benua, mengingat keluarga dan sahabat yang untuk sementara ini dia tinggalkan.
"Rara! Apakah kamu lelah? Profesor Nikijima mengajak kita untuk makan malam." Sebuah ketukan dan suara Profesor Ezra membangunkan Rara dari lamunan.
Dia membuka pintu dan menemukan laki-laki setengah baya yang berkacamata dengan rambut menipis di bagian atas kepalanya, sedang berdiri sambil tersenyum. Atasannya di Biotechnology Research Centre itu memandang dengan rasa ingin tahu.
"Saya sudah siap, Prof. Tidak perlu berganti-ganti baju di sini. Malah kita harus menambah baju kalau suhu terus turun." Gadis berambut panjang itu keluar dari kamar sambil tertawa.
"Kamu tahu, Ra? Menjadikanmu asisten saya di sini adalah keputusan tepat. Kamu orang yang penuh dedikasi dan selalu berpikiran positif." Profesor Ezra tertawa kecil.
Mereka sampai di sebuah ruangan berbentuk persegi yang dijadikan sebagai ruang makan. Ada tiga puluh orang dari berbagai negara dengan bermacam-macam profesi ada di sana. Semuanya memiliki peran penting bagi penelitian kali ini.
Beberapa bulan lalu, salah seorang peneliti senior pulang dari South Pole Station dengan membawa kabar buruk. Pemanasan global membuat es mencair lebih cepat bahkan di musim semi. Es mencair membuat bakteri dan virus yang sudah tertidur selama jutaan tahun mulai membayangi manusia. Itu sebabnya Badan Peneliti Dunia memutuskan untuk mengirim tim khusus untuk mengambil sampel-sampel yang diperlukan.
Tim penelitian mereka bertugas untuk membawa pulang kemungkinan bakteri dan virus yang akan kembali hidup serta mengembangkan antivirus yang tepat. Selain itu, mereka akan meneliti sejauh mana dampak pemanasan global terhadap lingkungan dan ketinggian air laut.
Rara mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Dia adalah salah satu orang termuda di tim mereka. Sambil tersenyum sopan, gadis itu mengambil tempat duduk di samping atasannya.
Suara ketukan membuat mereka semua menoleh. Seorang laki-laki muda dengan wajah datar dan serius memasuki ruangan. Mata mereka bertemu dan seketika Rara menggigil entah mengapa. Dia memalingkan wajah dan kembali merapatkan jaket.
"Trius, glad to see you!" Seorang profesor maju untuk menjabat tangan laki-laki muda itu. Seulas senyum tipis terbit di wajah datar itu.
Rara mendesah, laki-laki yang baru saja meliriknya terlihat meremehkan. Demitrius Fujikawa, Trius, seorang jenius berdarah campuran yang baru saja menyelesaikan studi doktoral di bidang Biologi dan sedang mengejar status profesor muda, juga bergabung di tim penelitian ini. Sejak pertemuan mereka di Tasmania, Trius selalu menganggap Rara adalah kesalahan yang ditempatkan dalam tim mereka.
Menurut kabar yang didengar Rara, Trius adalah orang yang sangat kompeten dalam pekerjaannya. Kekurangan laki-laki itu hanya satu. Dia terlampau dingin seperti tundra beku di Antartika. Otak yang jenius itu hanya berpikir secara logika dan bukannya emosional. Terbukti, dari beberapa pertemuan mereka, tidak ada satupun kesan manusiawi yang dirasakan oleh Rara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beyond the Ice (Completed)
Romansa[Sudah diterbitkan oleh KMC Publisher] [Complete wattpad version] [KMC Romance Series] Afra Gaia Puteri (Rara) melarikan diri dari perjodohan yang dibuat keluarganya. Dia memutuskan untuk menerima tawaran sebagai asisten profesor dalam penelitian pe...