Bagian 4

22 1 0
                                    

Tidak lama kemudian, Laura terlihat berlari kecil mendekati pasangan itu. Dia merasa bersalah karena dirinya telah membuat mereka menunggu lama. Laura meminta maaf berkali-kali. Rina mencoba menenangkan Laura dan berkata bahwa dia tidak masalah jika dia harus menunggu, asalkan Ivan ada di dekatnya.

Sambil berbasa-basi, Laura meletakkan tas punggungnya ke atas meja lalu duduk di sebelah Rina. Dia memandang Ivan lalu segera bertanya, "Ivan, gue mau minta tolong."

"Tolong apa yah?"

"Kata Rina, kamu pemain musik gereja, main keyboard."

Mendengar itu, Ivan langsung memandang Rina. Raut mukanya seolah-olah menanyakan bagaimana bisa Rina menceritakan hal itu pada Laura. Pengalaman ketika dia menjadi pemain musik gereja bukanlah suatu kisah yang ingin dikenangnya kembali.

Keputusannya untuk berhenti sebagai pemain musik gereja sebenarnya dipengaruhi oleh orang tuanya. Mereka memang menginginkan Ivan, si bungsu dari dua bersaudara, meneruskan nama besar keluarganya yang cukup terkenal di dunia akademik. Ayahnya seorang profesor matematika di salah satu kampus ternama. Ibunya adalah dosen kimia yang juga mengajar di kampus yang sama dengan ayahnya. Ivan sendiri memang sudah menunjukkan minat dan bakatnya di ilmu sains sejak kecil. Dia juga masih ingin berakhir sebagai dosen sekaligus peneliti yang mendalami ilmu Kimia Analitik, walau sejak duduk di kelas sebelas, keinginannya itu tidak lagi menggebu.

Hal lain yang paling mempengaruhinya untuk berhenti bersumber dari rekan-rekan pemain musik gereja itu sendiri. Beberapa bulan sebelumnya, Ivan dan yang lain sedang berlatih untuk meramaikan acara Paskah gereja. Belum genap tiga puluh menit, dia melihat pemain bass dan dan pemain gitar berdebat sengit lalu akhirnya saling pukul. Perkelahian berhenti ketika orang-orang mencoba memisahkan mereka berdua. Ivan mengemas keyboardnya dan pulang tanpa mengucapkan satu kata pun. Dia tidak pernah terlihat lagi di gereja itu. Beberapa orang kerap menanyakan kabar Ivan pada Rina yang setidaknya, sebulan sekali hadir dalam ibadah gereja minggu.


"Udah lama sih nggak main keyboard," Ivan mencoba berbohong, sebenarnya, dia masih suka berlatih ketika dia di rumah.

"Nggak susah kok lagu-lagunya," bujuk Laura. "Cuma buat festival nanti..."

"Eh? emang mau ada festival? Kapan?"

"Sebulan setelah ujian kenaikan kelas."

"Bulan Mei? Dua bulan lagi? Sebelum Lebaran atau gimana? Siapa yang bilang?"

"Anak OSIS bilang ke gue kemarin. Setelah Lebaran."

"Yaudah...Ivan bisa," Rina yang dari tadi hanya memperhatikan akhirnya buka suara.

"Eh, nggak bisa gitu! Masa kamu yang iyain? Kan aku yang ditanya," protes Ivan.

"Acaranya masih lumayan lama, tugas-tugas kelas kamu aku bantu bikinin," sambung Rina.

"Gue bayar deh..." Laura menimpali.

Ivan berdebat dengan hatinya. Di telinganya, kata-kata Rina terdengar seperti perintah. Perintah itu harus dia jalankan, kalau tidak, Rina bisa betul-betul merajuk. Laki-laki itu akan didiamkan berhari-hari. Hilang sudah senyum sumringah yang biasa dia lihat setiap hari.


"Berapa lagu?"

"Cuma tiga kok, tapi kita nyiapin empat. Gue kirim lewat WA gimana?" Laura mengeluarkan telepon pintarnya dari dalam tas.

"Yaudah deh, nomor gue..." mereka saling bertukar kontak.


Anggota OSIS dan para guru memang ingin mengadakan festival sekolah, namun, semuanya masih dalam tahap perencanaan walau mereka sudah memiliki dana yang lebih dari cukup. Tidak ada urgensi bagi Laura sehingga dia harus memaksa Ivan secepatnya bergabung, namun, gadis itu memang suka mempersiapkan diri jauh-jauh hari. Dia tidak ingin apa yang dia usahakan itu berantakan. Dia benci itu.

***

Doni duduk termangu di kursi penumpang. Mobil mewah yang ditumpanginya itu sedang mengarah ke salah satu gedung perkantoran yang dimiliki oleh Cemara Group untuk menghadiri rapat yang selalu digelar setiap awal tahun. Tidak tentu di bulan apa, entah di bulan pertama, kedua, atau ketiga. Pak Hanif, kepala stasiun televisi itu, juga turut hadir.

Mobil mewah Doni tidak sendiri ke gedung itu. Ada dua mobil di depan dan tiga mobil di belakang. Semuanya berwarna hitam dan berkaca gelap. Perjalanan mereka harus terhenti sebentar karena lampu lalu lintas yang berubah merah. Banyak sekali jumlah kendaraan yang memadati jalan itu. Kendaraan roda dua berlomba untuk menjadi mendapatkan posisi antrian paling depan, jika lampu berubah hijau, mereka yang lebih dulu melaju.

Dari dalam kaca mobilnya, Doni memperhatikan seorang bapak yang berprofesi sebagai tukang ojek daring. Dia mengenali profesi bapak itu karena melihat helm dan jaket yang dipakainya. Kulit bapak itu terlihat gelap, gelap bukan hanya sinar matahari yang penyebabnya, tetapi debu jalanan dan asap knalpot. Tadinya, kulit bapak itu berwarna sawo. Mukanya terlihat letih. Dia juga menunggu kendaraan di depannya untuk bergerak. Tidak ada perasaan apa pun dalam hati Doni ketika melihat bapak itu.

Perhatiannya berpindah ketika mobilnya kembali bergerak. Dia melihat seorang gadis dengan rok ketat hitam selutut dan blouse berwarna putih yang sedang berjalan kaki di trotoar. Rambutnya yang panjang ditarik ke belakang lalu diikat menampilkan kening yang dibasahi oleh keringat. Semakin cepat mobilnya melaju, gadis itu semakin tertinggal ke belakang. Hal itu membuatnya mencari sesuatu yang lain lagi untuk dilihat. Dering telepon pintar menggagalkan rencananya itu.

"Ya, Pak Hanif, saya masih di jalan, sebentar lagi sampai," sambar Doni cepat-cepat ketika sambungan telepon terhubung kemudian dengan cepat-cepat juga dia mengakhiri sambungan telepon itu. Dia tahu dia akan terlambat dan dia juga tahu bahwa mobil mewahnya tidak akan membawanya sampai ke gedung tempat berlangsungnya rapat dengan seketika.

Berita Kematian SahabatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang