Bagian 3

28 2 0
                                    

Waktu telah menunjukkan pukul tiga sore. Dering bel sekolah berkumandang untuk yang terakhir kalinya, sebuah penanda bahwa seluruh kegiatan belajar mengajar di hari itu telah berakhir. Prosesi salam hormat pada guru pun dilakukan di setiap kelas. Ivan dengan cekatan memasukkan barang bawaannya ke dalam tas yang kemudian digantungkan ke bahunya. Dia berjalan ke arah pintu keluar.

Konsentrasi Hendra buyar setelah melihat Ivan yang sudah berada di depan pintu keluar. Dia tidak menyangka bahwa teman kelasnya bisa bergerak secepat itu. Tadinya, Hendra sedang memeriksa kembali barang bawaannya yang telah dimasukkan ke dalam tas, hal itu dilakukannya karena dia tidak ingin ada barang bawaannya yang tertinggal.

Melihat Ivan, dia teringat Rina, gadis yang sering dilihatnya bersama Ivan di setiap waktu istirahat. Dia ingin memastikan apakah betul Ivan dan Rina sedang berpacaran. Dasarnya, Hendra tidak memiliki pengetahuan yang jelas tentang situasi atau tepatnya hubungan antar siswa di sekolah itu. Dia tidak tahu siapa dekat dengan siapa. Semua itu dikarenakan oleh satu hal, Hendra adalah siswa pindahan.

Dia terdaftar sebagai siswa di sekolah itu satu minggu sebelum ujian tengah semester genap dimulai. Hendra pun menyaksikan urutan kejadian ketika Ivan mengangkat bendera putih lalu mundur dari ujian kimia karena diare.

Sebelum Hendra bisa duduk di kelas yang sama dengan Ivan, para guru sempat berembuk untuk menentukan layak atau tidaknya anak itu untuk duduk di kelas sebelas sains satu, yang pada dasarnya sudah disesaki dengan murid-murid langganan lomba sains, Ivan salah satunya. Nilai-nilai yang tertulis di buku rapor Hendra juga tidak terlalu wah untuk dijadikan bahan pertimbangan. Yang membuat para guru akhirnya memutuskan untuk menempatkan Hendra untuk belajar di kelas itu adalah sumbangannya. Sumbangan materiil untuk sekolah. Jumlahnya terlalu besar untuk dituliskan. Selain itu, ada hal lain yang ikut mempengaruhi keputusan para guru, yaitu ayah Hendra. Ayah Hendra merupakan lulusan dari sekolah itu.

Sebenarnya, Hendra juga belum pernah melihat Rina dan Ivan berbaur dengan yang lain. Seolah-olah, mereka berdua berada di dunia yang isinya hanya mereka sendiri. Pada dasarnya, Hendra tidak pernah melihat pasangan itu sedang didekati siswa lain yang membutuhkan bantuan.


Ivan sudah berdiri di depan ruang kelas Rina. Itu adalah satu dari sekian banyak rutinitas yang biasa dia lakukan. Sama seperti kebiasaan Rina yang selalu menghampiri Ivan saat waktu istirahat. Atau kemarin, mereka berdua akan pulang bersama, semua terjadi sejak mereka berdua mulai dekat, sejak mereka berada di sekolah dasar.

Saat itu, Ivan yang beberapa jam sebelumnya mencoba untuk menolong Rina yang tersungkur ketika berlari, ikut mengantar Rina yang pulang bersama ibunya. Orang tua mereka sudah saling mengenal satu sama lain, tapi Ivan tidak. Hal itu membuat dia terlihat kebingungan setelah mengetahui bahwa dia berada di jalan yang sama dengan jalan depan rumahnya. Dia lalu berkata, "tante, aku kena de javu."

Mendengar Ivan yang seperti sudah mengerti membaca atau menuturkan kata 'de javu' dengan benar, juga didukung oleh tampang lugu Ivan, ibu Rina tertawa terbahak-bahak. Setelah cukup lama ibu Rina tertawa, dia mengaku sudah kenal lama dengan Ivan. Ibu Rina juga memberi izin pada Ivan untuk selalu mengantar Rina pulang setiap hari.


Gadis yang sudah ditunggu itu, menghampiri Ivan sambil tersenyum renyah, memamerkan deretan gigi yang tidak terlalu putih itu. Ada satu gigi taring yang tumbuh tidak seperti yang lainnya, agak menonjol keluar. Rina selalu senang melihat laki-laki itu.

"Kita jangan langsung pulang ya, ke kantin dulu," kata Rina membuka pembicaraan.

"Mau ngapain?"

"Laura mau minta tolong."

"Itu orangnya kan ada di sana," Ivan melongok ke dalam kelas mencari Laura. Dia pun melihat Laura yang sedang dikelilingi empat orang.

Berita Kematian SahabatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang