Laura sudah tidak lagi bernyanyi tapi dia masih berada di atas panggung, menyeka air mata yang membasahi pipinya kemudian dia berusaha menyembunyikannya dengan membungkuk ke arah penonton. Dia merasa bersyukur bahwa penampilannya barusan berjalan dengan lancar.
Melihat itu, semua orang yang menonton bersorak, ada yang menempuk tangan, ada yang bersiul kencang, ada pula yang berteriak meminta Laura dan lainnya untuk menyanyikan satu lagu lagi. Pembawa acara langsung mengambil alih panggung. Dia mengatakan bahwa akan ada jeda sholat maghrib, diikuti dengan sebuah band ska yang dinamai Knobheads, jeda sholat isya, lalu Irene dan band pendukungnya sebagai penutup acara.
Dari kejauhan, Hendra terlihat sedang memperhatikan Rina yang malam itu terlihat tidak kalah cantik dengan Laura. Gadis itu memakai blouse merah muda dan celana jeans biru. Rambutnya dikuncir. Matanya tertuju pada Ivan.
Perhatiannya teralih karena telepon pintar yang ada di dalam kantong celananya bergetar. Setelah dikeluarkan dari kantong, dia melihat 'Boy Memanggil' di layar telepon pintarnya itu.
"Boy? Udah deket?" kata Hendra setelah menerima sambungan telepon dari Boy.
"Iya...udah deket...jemput dong."
"Oke...Ke tempat yang udah aku kasih tahu ya."
"Siap...gelanggang olahraga kan?"
"Gedung olahraga."
"Sama aja...see you!"
"Oke," kata Hendra sambil mengakhiri panggilan teleponnya. Ibu jarinya terlihat sibuk mengutak-atik telepon pintar, mencari kontak anggota OSIS yang merupakan pengurus acara festival tersebut lalu dihubunginya. Dia segera memberitahu orang itu bahwa Irene dan rombongannya akan segera tiba. Setelah itu, dia pergi ke arah gedung olahraga. Menunggu rombongan itu di sana.
Langit mulai gelap, matahari perlahan pergi ke barat meninggalkan sisa-sisa cahayanya. Beberapa orang yang tadinya menonton penampilan Laura mulai meninggalkan area panggung, beberapa ada yang masih berdiri di sana sambil bercakap-cakap. Gerai-gerai yang menjual makanan ringan dan minuman terlihat semakin dikerumuni oleh calon pembeli.
***
Boy keluar dari mobil diikuti oleh Irene, pengawal-pengawal mereka, serta anggota band pendukung yang sibuk mengeluarkan alat-alat musik mereka. Anggota band pendukungnya terdiri dari dua pemain gitar, satu pemain biola, dan satu pemain bass betot. Mereka juga tidak lupa membawa sound engineer untuk mengatur keseimbangan suara yang dihasilkan Irene dan band pendukungnya.
Nantinya, Irene akan menyanyikan tiga lagunya yang sudah diaransemen menjadi seperti lagu-lagu gypsy jazz. Konsep penampilan live seperti itu bukanlah yang pertama kali, walau bagi Irene, penampilan itu lebih melelahkan ketimbang dia harus lip-sync.
"Hendra, ganteng," sapa Boy sambil mencoba memeluk Hendra.
"Boy, makasih ya, udah dateng," balas Hendra sambil menahan badan Boy agar tidak memeluknya.
"Ih...nggak apa-apa atuh, Hendra kan lagi ulang tahun. Papa Hanif harus nemenin Mas Doni keluar kota. Anggap aja ini hadiah dari kita-kita."
"Makasih ya..." dia menatap Irene tapi Irene membuang muka. "Mbak Irene," dia mencoba menyapa sang Idola yang masih terlihat kesal.
Irene langsung melotot pada Hendra.
"Lo kan bisa panggil gue buat manggung di mana gitu, ga di acara sekolah..." Irene tidak menyelesaikan celotehnya, keburu dipelototi Boy. Dia langsung membuang muka. Hendra hanya menunduk.
Semua barang bawaan anggota band pendukung Irene sudah diturunkan dari mobil. Mereka siap untuk segera masuk ke dalam gedung olah raga. Pengurus acara yang ada di situ berusaha menahan gejolak di dada mereka untuk meminta salaman, tanda tangan, atau sebagainya. Mereka sangat mengenal gadis itu. Salah seorang dari mereka yang paling tenang menunjukkan jalan.
Di dalam gedung olahraga, ada partisi-partisi yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk sebuah ruangan tempat Irene berganti baju dan merias diri walau sebenarnya, tidak dibutuhkannya. Dia sudah memakai blouse lengan pendek warna krem dipadu dengan rok cokelat yang panjangnya sebetis. Rambut panjangnya yang tebal dibiarkan terurai. Wajahnya sudah bubuhi riasan yang tipis membuat pipinya terlihat cerah dan matanya terlihat membesar. Bibirnya yang pada dasarnya sudah merah muda diolesi gincu yang berwarna sedikit lebih gelap agar terkesan lebih penuh.
Jeda sholat maghrib telah selesai. Band selanjutnya, Knobheads, menaiki panggung dan segera bersiap. Acara sudah mencapai puncaknya. Band pendukung Irene yang sudah ada di dalam terlihat sedang mempersiapkan diri dengan memeriksa kembali kondisi alat-alat musik mereka.
"Ada yang 'aneh' nggak?" tanya Boy pada Hendra yang berjalan berdampingan masuk ke dalam gedung olahraga itu. Irene mengikuti mereka disusul para pengawal.
"Nanti aku minta panitia copy dokumentasinya."
"Ih...kamu udah ganteng, kok pinter?"
"Perlu kapan nanti kabarin aja."
"Siap ganteng."
Pengurus acara tidak begitu heran melihat Hendra bisa sedekat itu dengan mereka. Mereka juga tidak merasa iri, melainkan paham bahwa Hendra bukan anak biasa-biasa.
***
"Laura mana?" tanya Rina ketika Ivan menghampirinya setelah mengembalikan keyboardnya ke dalam gedung olahraga.
"Ketemu sama panitia dulu. Mau terima bayaran."
"Emang bakal dikasih berapa?"
"Enggak tahu. Yang penting aku kebagian."
"Hmm...trus...sambil nunggu dia, kita enaknya ke mana ya?"
"Aku laper sih..."
"Aku juga laper...pake banget. Mau makan apa?"
"Enggak tahu juga sih, masih kepikiran gimana bawa pulang keyboard."
"Hmmm...nanti aja itu pikirinnya. Kalau nasi goreng di sana?" Rina menunjuk salah satu kelas yang saat itu menjadi kedai.
"Ayok deh..." mereka segera berjalan ke sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berita Kematian Sahabat
Mystery / ThrillerLucky, seorang bintang satuan reskrim, teringat awal pertemuannya dengan sepasang kekasih, Ivan dan Rina, setelah dia selesai membaca sebuah berita penemuan mayat di internet. Pertemuannya dengan Ivan dan Rina kala itu menjadi latar belakang dalam s...