Bagian 5

18 1 0
                                    

Semua tampak berjalan seperti biasa walau satu minggu telah berlalu. Bel pulang sekolah berdering di waktu yang sama. Kelegaan terpancar dari wajah para siswa yang memenuhi koridor depan kelas. Bagi mereka, pulang sekolah itu adalah saat-saat yang melegakan. Mereka merasa terbebas dari rasa bosan yang menimpa mereka sejak pagi. Semuanya tampak sama.

Yang membedakan hari itu dengan satu minggu yang lalu adalah warna langit. Matahari yang merasa lelah memutuskan untuk bersembunyi di balik kumpulan awan kelabu. Kilat sesekali menyala. Angin pun berhembus kencang. Dia tidak hanya menerbangkan dedaunan yang gugur atau yang sudah jatuh di atas tanah, tetapi dia juga menggoyangkan pohon-pohon yang sebelumnya masih berdiri tegak.

Ada pula yang membedakan hari itu dengan satu minggu yang lalu, atau hari-hari sebelumnya. Ivan terlihat berdiri di depan kelas Rina, bedanya, dia tidak hanya menunggu Rina, tapi Laura juga.

Rina, seperti biasa, tetap tersenyum melihat laki-laki yang dia kasihi itu masih setia menungguinya tanpa mengeluh. Tepat sebelum dia keluar dari pintu kelas, langkah kakinya terhenti. Badannya memutar ke belakang menghadap ke arah di mana Laura berada.

"Buruan neng," canda Rina setengah berteriak. Raut mukanya terpancar kebahagiaan. Hal itu dikarenakan dia bisa untuk ikut ke tempat latihan hanya untuk melihat Ivan yang akhirnya bermain keyboard lagi, bukan untuk melihat band yang diusung Laura secara keseluruhan.

Wajah cantik Laura berubah, dia seperti kepayahan memasukkan buku-bukunya ke dalam tas karena terburu-buru. Walau keadaan tidak terlalu mendesak, dia merasa harus menyamakan ritme karena dia tahu bahwa Ivan dan Rina sedang menunggunya. Laura sedikit panik membuat dia berkali-kali memeriksa apakah semua barang-barangnya sudah ada di dalam.

Satu per satu, anggota band Laura sudah datang dan menyapa Ivan yang masih belum beranjak dari tempat dia berdiri. Dia kenal semuanya tapi tidak ada yang dikenalnya secara mendalam.

Hendra baru saja keluar dari pintu kelasnya. Dia sempat menoleh setelah menyadari keberadaan Ivan dan menarik kesimpulan dengan logikanya sendiri, di mana ada Ivan pasti ada Rina. Bagi Hendra, hari itu berbeda dengan satu minggu yang lalu. Tidak ada anggota OSIS yang menghampirinya. Dia langsung pergi ke tempat mobil sedan mewah yang berwarna hitam itu. Mobil yang selalu menjemputnya ketika pulang sekolah.


Rina akhirnya keluar kelas bersama Laura, mereka berdua menghampiri Ivan dan empat rekan band Laura yang sudah menunggu. Bersama-sama mereka pergi ke studio.

***

Stasiun televisi yang dikepalai oleh Pak Hanif itu terlihat ramai. Semua orang terlihat sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Kesibukan itu lain dari biasanya dikarenakan akan ada sebuah acara malam penghargaan kreator-kreator terbaik yang disiarkan secara langsung oleh stasiun televisi tersebut pada pukul tujuh malam. Tidak ada yang tahu bagaimana caranya untuk menentukan siapa saja yang berhak mendapatkan penghargaan. Pemungutan suara lewat sambungan telepon premium? Atau pesan pendek yang biayanya bisa tiga sampai empat kali lipat dari pesan pendek biasa? Atau lewat media sosial? Yang menentukan sebenarnya Cemara Group. Caranya? Tidak ada yang tahu.

Di sebuah ruangan khusus yang tertutup rapat, Doni menghampiri seorang gadis yang dia tinggal pergi untuk menghadiri rapat satu minggu yang lalu. Gadis itu sebentar lagi berumur dua puluh tahun. Melihat kehadiran Doni, Irene, nama gadis itu, terlihat sumringah. Dia berharap pria itu akan berjanji untuk memberikan sebuah hadiah ulang tahun.

Di dalam ruangan itu, mereka sebenarnya tidak sendiri, ada penata rias profesional yang sedang mendandani gadis itu. Sepertinya, baik Doni atau Irene, lupa bahwa tidak ada orang yang diperbolehkan untuk mendengar pembicaraan mereka kecuali orang-orang tertentu. Penata rias itu tidak termasuk.

"Dua bulan lagi kamu isi acara sekolah anaknya Pak Hanif ya," kata Doni membuka pembicaraan.

"Kenapa harus? Kok acara sekolah?"

"Pak Hanif udah bayar fee-nya lewat manajemen kamu. Dia juga sponsor acaranya."

"Emangnya ga ada yang lain?"

"Anaknya Pak Hanif sebenarnya yang minta. Anaknya ngefans sama kamu."

"Emang enggak ada yang lain gitu? Kenapa mesti aku?" wanita muda itu setengah cemberut dan mulai merengek.

"Males ah, udah bisa tampil di acara begini, aku masa harus balik lagi ke acara anak sekolah," Irene memang sudah terbiasa seperti itu di depan Doni. Sejak mereka berdua mulai dekat.

"Aku kan bukan manajer kamu. Aku atasannya manajer kamu."

"Nah! Trus masa aku nggak dapet bonus apa-apa gitu? Jalan-jalan kek, liontin kek. Cuma gaji dari manajemen mah enggak berasa.

"Aku cuma minta penghargaan gitu dari orang yang aku sayang. Aku kan ga cuma sekali nurutin mau ka..." wanita muda itu mendadak berhenti merengek. Dia baru sadar kalau di dalam ruangan itu ada orang lain selain mereka berdua.

Doni pun ikut sadar. Sasaran tatapan matanya beralih menuju tempat si perias itu berdiri. Di saat yang sama, Irene ikut menatap penata rias itu melalui pantulan cermin. Muka orang itu pucat pasi. Dia sadar bahwa dia sedang ditatap. Hal itu membuat matanya tertuju pada rambut Irene, rambut yang sedang ditatanya. Sekitar beberapa detik, mereka semua hening.

"Pokoknya kamu isi, nanti aku yang urus gimana-gimananya," kata Doni sambil melengos pergi keluar ruangan. Ada sekitar lima pengawal dan beberapa pejabat stasiun televisi yang menunggunya di luar. Pintu tersebut tertutup kembali. Di luar, Doni, diekori orang-orang yang tersebut, berjalan menuju lift khusus. Irene, yang rambutnya masih ditata dan masih kesal karena tidak mendapatkan apa yang dia harapkan, menutup matanya mencoba mencuri waktu tidur.


Pada dasarnya, tidak akan ada yang menyalahkan jika mereka memberitakan tentang hubungan mereka ke publik. Tidak ada yang menyalahkan jika mereka memang betul-betul saling mencintai, bukan sekedar saling mengumbar nafsu birahi. Doni masih lajang, Irene juga sudah bukan lagi seorang anak di bawah umur. Ada sebuah alasan mengapa mereka harus menyembunyikan hubungan mereka. Penggemar Irene.

Para penggemar Irene adalah sumber pemasukan perusahaan yang manajemen artis yang mengurusi kegiatan-kegiatan gadis itu. Mereka yang semakin radikal itu, akan membeli semua pernak-pernik yang berkaitan dengan Irene. Pernak-pernik tersebut selalu dijual dengan harga tinggi walaupun harga produksinya jauh lebih murah dari sepiring nasi tempe di sebuah kedai makan tradisional. Tidak hanya pernak-pernik, tiket acara yang dimeriahkan oleh Irene, lagu single, album foto, poster, acara jumpa penggemar, dan sebagainya. Tentu saja jumlah mereka akan berkurang jika tahu Irene memiliki seorang kekasih.


Sebelum Doni datang, atau bahkan sejak dia lahir, penata rias itu adalah orang yang periang dan pandai melucu. Semua orang yang kenal dekat dengannya betah untuk berlama-lama mendengarkan dia berbicara atau hanya sekedar memperhatikan gerak-geriknya. Dia terlahir sebagai seorang laki-laki, besar seperti seorang laki-laki, namun, pada umur dua puluh dua tahun, dia sempat meragukan hal itu dan mencoba hidup sebagai wanita. Belakangan dia ingin kembali menjadi seorang laki-laki walau gerak tubuh, cara berbicara, atau cara berjalannya kadang masih terlihat seperti perempuan.

Dihitung sejak Doni meninggalkan ruangan tempat Irene didandani, empat puluh jalm sudah berlalu. Kulit wajah penata rias itu lebih biru dari sebelumnya. Matanya melotot menatap lantai. Kedua tangannya tergerai bebas. Kedua kakinya terjuntai tidak menapak. Tubuhnya sedikit bergoyang ke belakang karena tertiup angin yang berhembus kencang. Angin itu berasal dari kipas lantai yang diletakkan sekitar dua setengah meter dari pintu kamar utama. Ada tali rafia berwarna merah yang melilit di lehernya. Ujung tali yang lain terikat kuat di dinding antara ventilasi dan pintu kamar utama.

Rumah tipe tiga enam yang dia sewa per tahun memiliki dua kamar. Kamar utama digunakan untuk tidur, kamar yang lebih kecil digunakan untuk menyimpan koleksi busana. Ukuran rumah kontrakan itu sepertinya terlalu besar untuk dia tinggali sendiri.

Mulai saat itu, tidak ada lagi orang yang tahu akan kedekatan Irene dan Doni kecuali orang-orang kepercayaan Doni, atau yang bekerja sebagai kepala perusahaan yang dia miliki. Penata rias itu sudah mati gantung diri. Tidak ada satu orang pun yang mendengar tentang berita kematiannya, baik itu keluarga, kerabat, maupun rekan kerjanya. Bahkan tetangganya.

Berita Kematian SahabatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang