36

1.1K 74 5
                                    


Keesokan harinya ujian semester pertama di mulai, sejak pagi tadi semua siswa memeriksa semua perlengkapan perang mereka agar tidak satupun hal yang tertinggal sehingga membuat mereka di kritik oleh guru nantinya karena setiap ujian akan di mulai akan ada sesi pemeriksaan perlengkapan ujian selama dua menit sebelum soal-soal di bagikan.

Hari ini Ify bangun lebih awal untuk menyiapkan perlengkapannya dan memastikan kedua adik kembarnya itu juga telah siap, setelah berpakaian lengkap dan sarapan ketiganya berangkat ke sekolah dengan mobil masing-masing.

Sesampai mereka di sekolah masih belum banyak murid yang datang karena Ify, Ray dan Deva datang lebih pagi dari pada biasanya.

Dihapit oleh Ray dan Deva, Ify di temani berjalan di koridor sekolah yang lumayan sepi menuju kelas yang ia yakini kalau belum satu pun orang di sana.

"Ify!" panggil sebuah suara yang bergema di sana dari arah belakang yang otomatis membuat ketiganya langsung menoleh.

Di sana berdiri Oik dengan penampilan sedikit tidak rapi berjalan tergesa-gesa ke arah Ify sambil sesekali merapikan rambutnya yang di sisir acak, terlihat sekali penampilan gadis itu yang biasanya cantik dan rapi namun sekarang terlihat berantakan.

"Sialan! Gue kira gue telat tadi." umpat langsung Oik ketika telah sampai ke tempat Ify berdiri.

Ify menaikkan sebelah alisnya bingung dengan kelakuan temannya itu, ia ingin tau apa mimpi gadis itu sehingga mulai perduli apakah ia terlambat sekolah atau tidak karena biasanya Oik sangat tidak perduli dengan itu semua.

"Hahaa,, ketemu badai di mana lo?" ejek Ray sambil tertawa keras melihat penampilan Oik layaknya baru saja tersapu badai laut.

"Diem lo! Ini semua gara-gara adik tiri sialan itu." kata marah Oik.

"Adik tiri?" tanya Ify.

"Papa gue dua hari yang lalu bawa anak haramnya pulang." jawab Oik dengan acuh masih berusaha memperbaiki penampilannya.

"Gue gak nyangka sekarang Papa lo udah punya nyali juga." kata Ify sambil sedikit menganggukan kepalanya karena sejak awal telah tau kondisi keluarga Oik setelah gadis itu secara santai menceritakan mereka tanpa beban seolah itu bukan masalah pribadinya.

"Peduli amat gue, terpenting dia sama sekali gak bakalan dapet apa-apa walaupun Papa gue bawa dia ke rumah."

"Kalo gue jadi lo iya, udah gue kasih pelajaran tuh adik tiri gue." komentar Ray.

"Buat apa, buang-buang waktu gue aja." sinis Oik masih kesal dengan perkataan Ray tadi.

"Ngomong-ngomong lo pada udah sarapan?" tanya Oik setelah merasa penampilannya lebih baik dan mulai menatap Ify.

"Udah." serentak ketigannya.

"Sial! Kalo bukan sarapan tadi gak di buat anak haram Papa gue mungkin gue gak kelaparan gini." umpat Oik lagi yang merasa kalau nasip sial sejak tadi mengikutinya di mulai dari di kerjai oleh adik tirinya sampai tidak sarapan lalu apa selanjutnya nasip sial yang akan menimpanya.

Oik merasa sejak kedatangan anak haram Papanya itu tidak ada hal baik yang terjadi padanya, memang pembawa sial memang membuat Oik semakin membenci keberadaan adik tirinya itu.

"Iya udah karena ini masih agak pagi gimana kalo kalian nemenin gue sarapan aja, lagian di kelas masih gak ada orang." kata Oik mengajak ketiganya.

"Oke." Setuju Ify yang juga diam-diam di setujui oleh Ray dan Deva walaupun tidak secara langsung karena selama mereka masih bersama dengan Ify apa yang ingin di lakukan olehnya akan diikuti oleh kedua saudara kembar itu.

Mereka berempat mulai berjalan berbalik menuju kantin, namun di persimpangan jalan Ify bertemu dengan Via dan Shilla yang terlihat baru saja kembali dari perpustakaan yang baru saja di buka dengan membawa beberapa tumpukan buku dan juga kebetulan melihat Ify.

Namun seolah sama sekali tidak melihat keduanya Ify terus melanjutkan perjalanannya bersama Ray, Deva dan Oik, sementara Via dan Shilla melihat Ify berpura-pura tidak melihat mereka, keduanya juga diam saja.

Tetapi berbeda dengan Ray, Deva dan Oik, ketiganya melemparkan tatapan sinis dan dingin ke arah kedua gadis itu dalam diam kemudian berbalik acuh terus mengikuti langkah Ify.

"Hhahh, Ify sekarang jauh beda sama yang dulu iya." kata Via menatap punggung Ify sambil menghela nafas.

Dalam diam Shilla juga menyetujui perkataan Via, namun di dalam hati keduanya amat menyadari penyebab perubahan Ify yang di sebabkan mereka sendiri.



Sejak dua jam yang lalu ujian hari pertama telah di mulai, suasana hening yang sama sekali berbeda dari pada hari biasanya karena kebannyakan dari mereka fokus untuk menjawab soal yang ada di hadapan masing-masing.

Hari ini jadwal ujian pertama adalah matematika, banyak dari murid-murid di sana menguap dan mengerutkan keningnya. Siapa yang tidak mengetahui sebagian dari pelajar sangat tidak menginginkan adanya ujian matematika apalagi di hari pertama membuat semangat yang mereka bangun tadi pagi menguap di udara.

Berbeda dengan keadaan beberapa murid di kelasnya Ify terkesan terlihat santai membolak-balik soalnya beberapa kali sebelum merapikan dan meletakkan pensil yang ia gunakan untuk mengarsir di atas meja lalu menyandarkan punggungnya di kursi sambil mulai melihat sekitarnya.

Bukannya sombong atau sok pintar Ify secara kebetulan menguasai beberapa materi yang di keluarkan di soal ujian itu, walaupun begitu ada juga beberapa soal yang membuatnya berfikir keras untuk menyelesaikannya membuat Ify sedikit jengkel tetapi tetap ia kerjakan.

Tatapan acuh Ify jatuh pada Rio, Acha dan Via yang masih dengan fokus mengerjakan ujian mereka, sejak seminggu yang lalu mereka sama sekali tidak mengganggunya membuat Ify sejenak merasa bernafas bebas tanpa perlu setiap kali berhadapan dengan mereka kilasan balik rasa sakit yang begitu menyesakkan menghalangi pernafasannya membuat Ify sangat tidak nyaman.

Namun bukan berarti ia melupakan janjinya untuk membalas mereka, tetapi Ify hanya ingin memiliki waktu untuk bernafas bebas untuk sementara ini sebelum ia benar-benar memulai pembalasannya pada mereka.

Senyum sinis muncul di bibir Ify ketika melihat Rio dan Acha kemudian berbalik dengan acuh ke arah jendela menatap keluar mulai tenggelam dalam pikirannya.

Waktu berlalu dengan cepat terhitung hanya tinggal lima belas menit sebelum ujian pertama berakhir, Ify memilih untuk langsung mengumpulkan soalnya terlebih dahulu karena merasa begitu membosankan duduk tanpa melakukan apa-apa di dalam kelas sementara ia sejak tadi telah menyelesaikan menjawab soalnya.

"Sudah memeriksa identitas kamu?" tanya pengawas sambil menerima kertas jawaban dan soal Ify.

"Sudah." balas singkat Ify.

"Baiklah, kamu boleh keluar."

Setelah mendengar perkataan pengawas yang mengizinkannya untuk keluar Ify tanpa menjawab langsung keluar dengan santai sambil mengeluarkan bungkusan permen karet untuk di kunyah di luar mengabaikan berbagai tatapan dari teman kelasnya.

Sejak Ify mulai berdiri dari mejanya untuk mengumpulkan jawaban mereka sudah menatapnya, tatapan iri, kagum dan mencemooh Ify terima dari mereka namun tetap saja itu semua sama sekali tidak terlalu penting untuk sejenak di pikirkan olehnya.

Karena masih ada banyak hal yang baik untuk ia pikirkan dari pada memikirkan pandangan orang terhadapnya, sejak Ify merasakan sakitnya penghianatan orang-orang di sekitarnya ia sedikit mati rasa dengan perasaan dan suasana di sekitarnya.

Kalau bukan Ray, Deva dan Dea yang sebagai anggota keluarga terdekatnya dapat di jamin Ify sama sekali tidak akan pernah bisa dekat dengan mereka, walaupun ia kini dekat dengan Oik dan Zahra tetap saja akan ada perasaan tidak nyaman atau waspada ketika bersama mereka yang akan ia tutupi dengan wajah acuh karena Ify sama sekali tidak ingin orang lain melihat kelemahannya itu.

.

.

.

Bersambung

See you 


03/12/2001

Dendam Alyssa [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang