Prolog: Tanpa Nada

74 14 8
                                    

Kamis, 23 November 2025 

Rumah Sakit Harapan Indah

Namaku Reynada Putri. Lahir pada tanggal 3 Agustus 1999, aku dianugerahi suara yang kata orang-orang, mampu menyentuh jiwa. Bernyanyi dan menulis puisi adalah nafasku—bukan sekadar hobi, tapi jalan hidupku. Sejak kecil, aku berlatih keras mengasah kemampuan vokalku, bermimpi bisa membawa kebahagiaan melalui nyanyian. Dan mimpi itu perlahan menjadi nyata. Lagu-lagu ciptaanku mulai dikenal, dan undangan untuk bernyanyi di berbagai acara berdatangan.

Tapi takdir terkadang punya rencana lain...

Baiklah, akan kuceritakan kisahku. Dengarkan baik-baik, karena ini mungkin akan menjadi catatan terakhirku dengan suara...

...

TANPA NADA

Indahnya sebuah nada
Mengalun lembut mengajak bicara
Riuh hati menggelora
Membuat semua orang terpana

Tapi sekarang telah tiada
Nadaku hilang entah ke mana
Merubah semua yang kupunya
Sekarang aku tanpa nada

#poemformylove

== POEM ==

Malam itu, aku berdiri di atas panggung megah dengan lampu sorot yang menyilaukan. Gaun putihku berkilau ditimpa cahaya, sementara ratusan pasang mata menatap penuh harap. Suaraku mengalun, membawa setiap jiwa yang hadir ke dalam dunia yang kucipta melalui melodi. Semuanya sempurna, setiap nada mengalir bagai air jernih di sungai pegunungan.

Hingga tiba-tiba, seolah petir menyambar di siang bolong, suaraku menghilang.

Hening.

Musik pengiring masih mengalun, tapi bibirku membisu. Rasa nyeri yang tak tertahankan menyerang tenggorokanku. Tanganku refleks mencengkeram leher, mencoba mencari suara yang mendadak lenyap. Kakiku goyah, lututku tak mampu menopang beban tubuh. Aku terjatuh, menghantam lantai panggung dengan keras.

Kerumunan mulai panik. Bisik-bisik ketakutan memenuhi ruangan. Pandanganku mengabur, dan suara-suara di sekitarku perlahan memudar bagai radio yang kehilangan sinyal. Kesadaranku menghilang dalam kegelapan yang dingin.

Hening.

Ketika mataku akhirnya terbuka, cahaya putih lampu rumah sakit menyambutku dengan kejam. Di sampingku, Bunda duduk dengan mata sembab dan senyum yang dipaksakan.

"Reyna, kamu sudah sadar?" tanya Bunda dengan suara bergetar.

Aku mencoba menjawab, tapi yang keluar hanya suara parau tak bermakna. "Aughhh... Maghhhhrr..."

Panik mulai menguasai. Air mata panas mengalir di pipiku saat aku terus mencoba bersuara, tapi yang keluar hanyalah gumaman tak jelas. "Maghhrr... aaghh..."

"Reyna... Reyna... tenang, Nak. Bunda di sini." Bunda memelukku erat, air matanya membasahi bahuku. Tenggorokanku terasa seperti terbakar, dan kenyataan pahit mulai menghantam: suaraku—hartaku yang paling berharga—telah hilang.

Dokter memberiku obat penenang, dan dalam ketenangan palsu itu, aku mendengarkan vonis yang menghancurkan hidupku: pita suaraku mengalami cidera parah. Aku tidak akan bisa berbicara lagi, apalagi bernyanyi.

Air mataku sudah mengering, tapi jiwaku menangis tanpa henti. Bagaimana aku harus melanjutkan hidup tanpa suaraku? Tanpa nyanyianku? Tanpa nadaku?

Duniaku kini hening, sepi dalam kesunyian yang memekakkan.

PUISI Untuk Cintaku [ PFML ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang