"El besok gue gabisa ikut lo, sorry ya" Tanpa menunggu jawaban dari seberang sana, Aya langsung memutuskan sambungannya. Gadis bersurai cokelat itu langsung melempar ponselnya ke sarang tempat tapi masih di kasur. Ia membuka sebuah buku yang cukup tebal, yang merupakan buku yang sama yang dimilki oleh si kembar. Ya, ia sedang ingin mempelajari materi untuk diberikan pada kedua muridnya itu.
Sedari tadi ia tidak bisa tenang, entah karena apapun itu. Beberapa saat kemudian ia terkejut karena pintu kamarnya tiba-tiba di buka oleh seseorang yang tanpa basa-basi langsung menghampiri nya dan memegang kening dan pipinya. Aya langsung menahan tangan tersebut dan memberikan tatapan bingung pada orang itu.
"Lo beneran jadian sama Bima? Lo ga abis kepentok kan? Badan lo ga demam kan? Lo ga pusing kan?" Berbagai pertanyaan keluar dari mulut Nana. Aya tidak heran kenapa sahabatnya itu bisa tahu, perlu diingat bahwa Nana ini adalah seorang mata-mata kelas kakap dengan informan di mana-mana.
Aya mengangguk dan Nana langsung memeluknya. Ia sangat bahagianendengar sahabatnya itu mulai berusaha lepas dari cinta masa lalunya. "Ya gue seneng dengernya"
"Tapi Na, gue ngerasa bersalah sama Bima sekarang. Gue ngambil keputusan itu dalam keadaaan kalap"
Nana mengangguk dengan posisi masih memeluk Aya. "Lo mungkin bisa dibilang udah cinta sama El, tapi gue juga yakin dengan berjalannya waktu Bima pasti bisa ngubur dalam-dalam perasaan itu sampai lo ga bisa nemuin dimana letaknya perasaan itu"
Ini yang ia kagumi dari gadis tomboy di depannya itu. Sifat bijaksana yang sering tiba-tiba muncul itu seringkali membuat matanya terbuka. "Lo yakin gue bisa?"
"Gue yakin, jodoh gaada yang tau Ya. Rencana paling bagus itu cuma punya Yang di atas, jadi kita cuma harus usaha yang terbaik aja buat nyesuaiin diri kita sama rencana itu di masa depan kan?" Nana melepaskan pelukannya lalu mengacak Surai Aya.
Nana keluar karena katanya ia masih memiliki banyak tugas yang belum selesai. Aya memaklumi tugas mahasiswi tingkat kedokteran itu dengan sangat baik. Setelah Nana keluar, ponselnya kembali berdering dan menampakkan nama Vivi di display name ponsel tersebut. Aya tersenyum, ia sering heran kenapa ia tidak bisa seperti kedua sahabatnya yang penuh akan informasi itu.
"Ya lo jadian sama Bima?"
Satu bulan kemudian, saat Aya sedang di halte kampus untuk memesan ojek online untuk pulang karena Bima sedang tidak bisa mengantarnya ia bertemu dengan El. Di tambah lagi sore itu sedang hujan dan membuat orderannya berulang kali di tolak karena hujan lebat. El yang berdiam di sana untuk menunggu hujan reda merasakan ada hawa canggung antara dirinya dengan Aya.
"Ya, lo nunggu ojol?"
"Nunggu ujan reda, gaada yang receive orderan gue" setelah itu El kembali bingung untuk bertanya apa pada gadis di sampingnya itu. Belakangan ini keduanya setiap bertemu tidak pernah saling bicara, jadi wajar jika kali ini mereka kembali canggung.
"Lo apa kabar?"
"Baik"
Setelah itu tidak ada perbincangan lagi antara keduanya. Aya sedang bersusah payah menahan diri agar tidak menunjukkan ekspresi apapun, dan ia memang berhasil membuatnya. Sedangkan El, pemuda itu nampak sedikit bingung dengan keadaan canggung antara dirinya dan Aya kali ini.
"Ya, apa gue ada salah sama lo? Kok kayanya belakangan ini gue ngerasa lo ngejauhin gue"
Aya langsung membelalakkan matanya, ini yang ia takutkan saat bertemu dengan El di keadaan seperti ini. Jika Aya pikirkan secara teknis El memang tidak bersalah sama sekali kepada Aya, karena Aya tidak memiliki hak atas marah kepada El jika penyebabnya karena kekasih pemuda itu. Namun, dalam hati Aya merasa sakit karena ia sudah menaruh harapan pada pemuda itu. Jadi pada intinya tidak ada yang benar-benar salah ataupun benar dalam kasus ini.
"Gaada, lo aja kali yang ngerasa"
El terdiam sebentar lalu ia mendekatkan diri dan duduk dengan radius beberapa cm dari Aya. "Iya kali Ya, tapi gue ngerasain banget gimana dong"
"Eh itu ojol gue dah sampe, duluan El" Untung saja Aya sedari tadi pantang menyerah untuk memesan layanan ojek online, jadi ia bisa melarikan diri dari pertanyaan El.
El menatap Aya yang sedang menaiki ojol itu dengan tatapan yang sulit di artikan. Akhirnya setelah merasa Aya sudah jauh jangkauannya dari dirinya ia menaiki motornya dengan beribu pertanyaan di dalam kepala.
"Gue sama dia baru kenal beberapa bulan ini, tapi kenapa gue bisa se-merasa bersalah ini ?" Tanya El pada diri sendiri, entah sudah beberapa kalinya ia bertanya seperti itu pada diri sendiri selama beberapa hari ini.
"Emang salah gue apa?"
Sepanjang jalan Aya berfikir tentang sikapnya pada El tadi. Ia sedikit merasa pada laki-laki itu pasalnya menurut Aya mungkin El tidak tahu apa yang membuat Aya menghindarinya. "Salah ga si gue? Dia bahkan gatau salahnya dimana"
"Kenapa mba?" Tanya driver ojol itu kala tidak sengaja mendengar gumaman dari Aya.
"E-eh engga kok pak"
"Tadi pacarnya mba?"
Aya memicingkan matanya mendengar pertanyaan mendadak dari driver tersebut. Aya menggeleng cepat, ia lantas sadar bahwa driver itu tidak mungkin sadar saat ia menggeleng. "Bukan pak, cuma temen"
"Oh gitu, soalnya saya kira tadi masnya sama mba lagi marahan" Aya terkikik sedikit mendengar penuturan jujur dari driver ojol itu.
Setelah itu tidak ada lagi percakapan yang terlontar dari mulut keduanya. Sampai akhirnya Aya sampai di depan rumah kost. Ia heran kala mendapati sepupunya sedang duduk di atas motor tapi tepat di depan kos-an tempatnya sambil melirik sedikit kearah dalam kos-an tersebut.
"Mas kalo ngerasa bersalah tuh samperin orangnya, jangan cuma liatin depan kos-an gini emang dikira Mba Lena punya Indra ke-enam biasa tau kalo di depan ada Mas Dewa"
Dewa menghela nafas kasar lalu menatap Aya. "Ya, kalo di dalam lo papasan sama dia bilangin kalo dari tadi gue nunggu di depan"
KAMU SEDANG MEMBACA
LA PAM PAM ✔
RandomTanpa aku menyadarinya, perasaan itu semakin besar dan semakin lama semakin menyiksa. Aku ingin kau tahu perasaanku tapi di sisi lain semua itu membuatku terus takut. Selalu ada beberapa pertanyaan di kepalaku, seperti; Apa kau mendengar degup ja...