Baku Hantam

855 106 9
                                    

Sebuah taksi berjalan perlahan di jalanan ibu kota. Tersendat mengikuti laju arus yang padat. Aqsa duduk di bangku penumpang dengan resah. Berulang kali dia melihat jam tangannya yang berdetak. Sebuah kesalahan besar disadarinya. Seharusnya dia tidak memilih seperti saat ini untuk kembali ke Jakarta. Namun ada pekerjaan yang harus diselesaikannya sebelum dirinya menuju Jakarta.

Aqsa menarik nafas lega ketika taksi yang ditumpanginya mulai keluar dari jebakan kemacetan. Tempat yang dia tuju tak lagi jauh. Dia memperkirakan akan tiba sebelum isya dan dugaannya tepat. Dia tiba di sebuah cafe satu menit sebelum adzan isya berkumandang.

Aqsa berjalan ke arah cafe dengan tangan mengepal. Nafasnya naik turun. Terlihat dia berusaha menguasai emosinya. Sapaan pelayan cafe menyambutnya lengkap dengan senyuman terbaik yang dimiliki sangat pelayan.

"Saya mau bertemu Gaza, beliau ada? " Tanya Aqsa dengan suara berat.

Pelayan itu seketika mengenali siapa Aqsa. Dia adalah seseorang yang pernah datang ketika cafe akan tutup dan Gaza mengatakan jika dia adalah sahabatnya.

"Mas Gaza ada di kantornya. Perlu saya panggilkan atau anda memilih menunggu disini saja? " Kata sang pelayan.

"Biar saya ke dalam. "

Pelayan itu mengangguk dan membiarkan Aqsa menuju ke ruangan Gaza. Sesampainya di depan ruangan, Aqsa mengetuk pintu. Tak ada sahutan yang di dengarnya. Perlahan Aqsa membuka pintu ruangan milik Gaza. Dilihatnya pemuda itu sedang menunaikan sholat isya di salah satu sisi ruangannya. Aqsa berdiri mematung. Apa yang disaksikannya membuat emosinya seketika luruh. Pada akhirnya Aqsa memilih menuju mushola dan menunaikan dua sholat dalam satu waktu. Perjalanannya mengharuskan dia menjamak sholat maghrib dan isya sekarang.

Aliran air wudhu seolah mendinginkan badan Aqsa yang panas. Bukan karena sakit namun panas karena menahan emosi. Perjalanan Aqsa ke Jakarta kali ini membawa misi. Satu hal yang ingin dilakukannya sejak tahu hubungan Gaza dan Khay adalah ingin meninju pemuda itu. Dan sampai beberapa menit yang lalu, niat itu belum sirna sampai akhirnya dia melihat Gaza tengah bersimpuh menghadap Tuhannya. Seketika Aqsa merasa malu terhadap dirinya. Haruskah dia melukai seseorang yang begitu taat kepada Tuhannya? Haruskah dia melukai seseorang yang sudah dia anggap sebagai saudaranya sendiri?

Kali ini giliran Aqsa bersimpuh kepada sang Kuasa. Dalam sholatnya dia memohon agar dilembutkan hatinya dan diluaskan kesabarannya untuk menghadapi masalah yang ada. Sejatinya itu bukan masalah, itu hanya cerita masa lalu yang sudah usang termakan waktu. Diri Aqsa sendirilah yang menjadikan itu masalah. Karena dia tak punya cukup keikhlasan untuk menerimanya.

Kali ini Aqsa benar-benar menghanyutkan diri dalam munajatnya kepada Allah. Tak ingin gegabah mengambil tindakan. Hingga rasanya 7 rakaat sholat yang dilakukannya belum jua cukup untuk mendekatkan dirinya dengan Allah. Aqsa tak ingin segera mengakhiri munajatnya. Aqsa merasa masih ingin terhubung dengan Tuhannya.

Setengah jam berlalu. Akhirnya Aqsa memutuskan mengakhiri ibadah dan do'anya. Seseorang sudah duduk menunggunya di bangku depan mushola. Dia tersenyum menyapa kehadirannya. Senyum yang sekejap terlihat seperti seringai dalam benak Aqsa. Namun dia mengusir jauh-jauh rasa sakit hatinya. Di depannya adalah Gaza. Sahabatnya. Bukan musuhnya yang akan dia lawan. Namun bagaimana mungkin dia menganggap Gaza sebagai sahabat ketika dia merasa terkhianati? Dilema itu kembali menghantuinya.

"Assalamu'alaikum. Sepertinya lo masih kangen Jakarta ya. Belum lama udah balik lagi. " Kata Gaza.

Aqsa tak menanggapi. Hanya menjawab salam Gaza sebagai sebuah kewajiban. Diambilnya sesuatu dari dalam ransel. Aqsa berjalan menghampiri Gaza dan menyerahkan sebuah undangan pernikahan.

"Undangan? " Gaza kaget mendapatkan undangan secara tiba-tiba.

Aqsa datang tak memberi kabar dan langsung memberinya undangan pernikahan. Benar-benar kejutan.

Ta'aruf -Menikah Denganmu-Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang