Suara berisik daun Tabebuya di samping kamar Gaza mengusik malam. Daun-daun itu saling bersihkan digoyang udara yang bergerak. Langit di atas sana tampak bersih. Tak ada awan satupun. Beberapa bintang berpijar, membantu sang langit mengarungi kegelapan.
Gaza baru saja keluar dari kamar mandi. Sebuah handuk masih melingkar di lehernya. Beberapa butir air menetes dari rambut bagian depan. Gaza tiba dari puncak ketika adzan isya berkumandang. Niatnya untuk segera berbenah dan menginap di rumah sakit menjaga Abah dicegah oleh Anda. Adik semata wayangnya itu akan menggantikannya malam ini.
Biar Anda yang menemani Umma malam ini. Kakak tolong jaga rumah ya 😊
Gaza bersyukur mempunyai adik yang pengertian seperti Anda. Saat ini kondisi badannya sangat letih. Belum beristirahat setibanya dari Denpasar.
Setelah memastikan semua rumah sudah terkunci, Gaza kembali ke tempat tidurnya. Inginnya langsung memejamkan mata, namun pikirannya justru dikuasai orang lain. Tak mau berkompromi dengan Gaza, pikirannya melayang pada momen beberapa jam yang lalu, dimana dia merasa tersihir oleh kedamaian yang Khay berikan. Tak banyak bicara, mereka hanya duduk melihat angin mempermainkan rumput, namun itu sudah lebih dari cukup untuknya.
Gaza merasa setiap orang berubah. Keluarganya berubah. Abah dan Umma semakin giat hadir dalam majelis ilmu. Andalusia juga berubah. Sejak hubungannya dengan Doni putus, Anda semakin memperbaiki penampilan dan ibadahnya. Khaylilla pun berubah. Semua berubah menjadi lebih baik.
Mungkinkan hanya Gaza yang diam di tempat? Seperti peterpan yang tak mau menjadi dewasa. Mungkin saat inilah Gaza merasa tak ada bedanya dengan tokoh kartun itu. Peterpan harus rela kehilangan orang-orang yang disayanginya ketika mereka memutuskan untuk menjadi dewasa sementara dia tetap konsisten dengan keadaannya. Gaza merasa tak siap jika harus kehilangan orang-orang tersayang demi mempertahankan keinginannya menjadi seorang artis. Mungkin sekarang sudah saatnya dia berdamai dengan semesta.
Gaza mengambil ponselnya dan menelepon. Nada sambung terdengar cukup lama hingga akhirnya putus oleh suara Khay di seberang.
"Khay... Kapan pulang ke Jogja? " Tanya Gaza. Berharap Khay menetap sedikit lama di Jakarta.
"Besok kak. " Jawab Khay singkat.
Beberapa saat hanya ada hening di antara mereka. Gaza terlalu sesak mendengar jawaban Khay sehingga tak mampu lagi berkata-kata. Menyuruh Khay tinggal lebih lama adalah salah satu keegoisan. Khay punya kehidupannya sendiri.
"Pesawat Khay jam 11 kak. Paginya Khay mau pamit dulu ke Abah sama umma. Kakak jam berapa ke rumah sakit? "
"Mungkin sebelum jam 6. Mau bareng? "
"Emm.. Khay pergi sama bang Abrar saja sepertinya kak. " Jawab Khay.
Hening kembali tercipta.
"Khay, boleh aku bertanya satu hal? "
"Apa? "
"Apa alasan kamu ingin menjadi dokter? Apa karena paman seorang dokter dan menginginkan kamu meneruskan profesinya? Atau itu murni keinginan kamu sendiri? "
"Ehm.. Apa ya. " Khay terdiam sejenak. Berusaha menata kalimat agar apa yang akan diucapkannya bisa tersampaikan dengan baik.
Gaza memberi waktu kepada Khay untuk mengutarakan jawabannya. Menantikannya dengan sabar. Dimainkannya pulpen dengan tangan kanannya.
"Jawabanku sedikit panjang nggak papa ya kak? "
"Oke. Aku nggak akan ketiduran kok dengerinnya. "
"Hahah awas ya kalau ketiduran aku akan ngambek seumur hidup. "
"Ya elah Khay ngambek seumur hidup nggak capek apa. " Gaza meladeni ucapan Khay.
"Jadi gini kak. Dulu waktu aku umur 5 tahun, papa memberiku kado. Sebuah stetoskop. Papa bilang, jantung adalah organ yang paling berharga dalam diri manusia. Kenali dia dan jadikanlah dia teman. Bukan hanya jantungku sendiri tapi jantung orang lain juga. Jika aku sudah bisa menjadikannya teman, maka aku akan bisa bermanfaat untuk orang lain. " Khay mulai bercerita.
"Awalnya aku sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud papa. Sampai akhirnya aku paham bahwa seorang dokter selalu memeriksa denyut jantung pasiennya, untuk mendiagnosa penyakit apa yang diderita pasiennya. Jika kita sudah paham dan mengenali irama jantungnya, maka kita bisa memberitahu apa yang terjadi dan bagaimana mengobatinya. Sejak saat itu aku berkeinginan menjadi dokter. " Kata Khay menutup ceritanya.
Tak ada jawaban. Beberapa saat terasa hening.
"Kak? " Khay memastikan Gaza masih mendengarkannya.
"Iya Khaaaay aku masih denger. " Jawab Gaza. "Berarti paman tidak pernah memaksamu untuk menjadi dokter?
" Tidak kak. Hanya saja aku pernah mendengar percakapan papa dengan temannya. Saat itu papa berharap diantara ketiga anaknya ada yang meneruskan perjuangannya menjadi dokter, aku fikir selama aku mampu tidak ada salahnya membahagiakan papa. Selama ini papa sudah memberikan begitu banyak kebahagiaan kepada ku. Mungkin dengan melanjutkan perjuangan papa menjadi dokter, aku bisa sedikit membalas pengorbanannya."
Perkataan Khay barusan seperti jarum yang menusuk hati Gaza. Dirinya merasa bersalah selama ini sudah menentang keinginan keras kepala. Keinginannya untuk tetap bertahan menjadi artis menyebabkan Abah harus berada di rumah sakit sekarang. Dada Gaza seperti ditikam rasanya.
"Hallo, sepertinya kak Gaza lelah ya? "
"Emm sedikit. " Gaza berkata jujur. Badannya memang sangat lelah namun telinganya masih sangat ingin mendengar suara Khay.
"Semoga bisa istirahat dengan baik malam ini ya kak. Udahan aja ya telponnya. Assalamu'alaikum. "
"Oke. Selamat istirahat juga Khay. Wa'alaikumsalam. "
Gaza menutup panggilan telepon dan terpaku. Obrolan dengan Khay justru semakin membuatnya tak bisa terpejam. Salah satu hal yang membuatnya kehilangan dari diri Khay adalah kedewasaan sosok sahabatnya tersebut. Walaupun usianya dia tahun lebih muda dari Gaza, namun pemikiran Khay sangat dewasa. Berbagi cerita dengan Khay merupakan hal yang sangat dirindukannya. Khay adalah satu-satunya orang yang bisa membuatnya nyaman.
Andai dia bisa mengubah status pertemanannya dengan Khay menjadi sesuatu yang lebih serius, mungkin dia tak akan merasakan ketakutan untuk kehilangan Khay.
Namun dia tak bisa berbuat banyak. Untuk saat ini, Khay masih tetap sahabat terbaiknya.
***
Di sebuah kamar, dimana hanya berjarak beberapa meter dari kamar Gaza, Khay sedang bersiap kembali ke Jogja. Diletakkannya ponsel. Matanya tertuju pada sebuah foto. Fotonya dengan Gaza sewaktu mereka kecil. Dalam pigura tersebut terdapat tulisan "best friend forever. "
Khay menarik nafas masygul. Apakah tulisan tersebut selamanya akan seperti itu? Andai saja Gaza tahu apa yang tersembunyi di dalam hatinya.
Perasaannya kepada Gaza sudah berubah lama. Gaza bukan hanya sekedar sahabat baginya. Dia adalah seseorang yang selalu disebut dalam doa. Namun Khay tak ingin terlaku terbebani dengan perasaannya itu. Untuk saat ini, memang sahabat adalah ungkapan yang paling tepat menggambarkan hubungan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ta'aruf -Menikah Denganmu-
Fanfic"Ada sejuta alasan untuk seseorang melabuhkan cintanya. Ada juga yang tak butuh alasan untuk mencintai. Namun, untukmu aku hanya punya satu alasan." (Khaylilla) Khaylilla bersikeras menjaga cintanya untuk seseorang yang memberinya janji kelingking s...