Hujan di Hatiku

856 94 23
                                    

Episode 32,
Hujan di Hatiku

Bibir ini kelu bisu. Melihat sepasang netra hitamnya menatapku tegas namun tutur bibirnya masihlah halus. Sedetik kemudian adik perempuannya menuntun langkahku menuju sebuah ruangan. Aku menurut saja. Jiwa pemberontakku lama-lama mati didekap keluarga kecil itu.

Kulihat Dahyun menutup pintu rapat lalu menghampiriku lagi.

"Eonnie, buka bajumu! Biar aku obati punggungmu," katanya lembut persis seperti kakaknya. Mata kelincinya membulat kaget melihat kulit punggungku penuh sayatan basah.

"Astaga, serius ayahmu melakukan ini?"

Hanya senyum kecil yang bisa kuberi. Berharap itu mengobati rasa penasarannya melihat luka milikku dan berhenti khawatir. Dahyun mengambil kapas dan membersihkan sayatan itu.

Dahyun menyelesaikan tugasnya beberapa sekon yang lalu, menyisakan aku yang terdiam memandang hujan mendera semakin lebat. Bongkah air itu menghujam atap dengan keras dan aroma petrikor menemaninya dengan setia.

Kuraih kaos hitam besar miliknya lantas kukenakan. Sekarang aku percaya, pakaian longgar mau bersahabat dengan pilu kulit tersayatku.

"Mau teh?"

Suara beratnya membuatku menoleh seketika. Menarik mataku pada sepasang iris hitam memikatnya. Senyumnya terulas sambil mengangkat dua cangkir teh. Asap mengepul menjadi tanda teh itu masih panas.

Kaki jenjangnya bergerak mengambil langkah. Ia genggamkan satu cangkir di tanganku lalu duduk di dekatku.

Namanya Taehyung. Dia pria yang sangat baik. Jika di dunia ini ada warna yang lebih bersih dari putih, kurasa itulah warna miliknya.

"Taehyung, aku mau pulang," Ia mengernyit setelah ia sesap teh panas itu. Netranya mengarah keluar jendela.

"Masih hujan," katanya lembut seperti biasa. Terlihat normal tapi perlahan di netranya mencuat sekelumit rasa khawatir. "Menginap saja ya? Kuantar pulang besok pagi,"

Sejujurnya aku senang berada di dekatnya. Tidak pernah sepanjang hidupku aku merasa senyaman ini. Udara selalu hangat tiap kali kutatap mata tegasnya itu. Ayolah, siapa yang tidak nyaman dengan pria seperti Taehyung?

Tapi bayangan manis itu harus lekas kuhapus. Aku sangat berbeda dengan Taehyung. Hidupku gelap dan berawan.

"Ayahku akan marah nanti," ujarku.

Taehyung menghela napas kemudian ia meletakkan cangkir tehnya di atas meja.

"Mana ponselmu? Biar kutelpon ayahmu sekarang,"

Lagi-lagi ia membuatku tergugu dengan sikap tegasnya yang tercurah perhatian manis. Tapi aku tidak mau melempar Taehyung pada ayahku yang jahat. Kugelengkan kepala sambil menyungging senyum kecil.

"Tidak usah. Aku pulang saja,"

Taehyung mendengus. Kali ini aku harus menolak untuk dirinya.

"Tunggu hujannya reda," kata Taehyung kemudian tapi tatapnya tidak melepasku sedikit pun. Lalu aku berdehem sembari menyesap teh yang masih hangat.

**

Terkadang otakku terlalu sesak sampai tidak satupun penjelasan dosen bisa kuterima. Tubuh dan pikirku sudah lelah. Dan saat itulah aku menyelinap keluar ke balkon yang sepi.

Tangan liarku mengeluarkan sebatang rokok sedang tanganku yang lain mencari korek api di saku celana jeansku. Aku mengerang dalam hati tak menemukan barang yang aku cari.

"Berani sekali mau ngrokok di sini!" celetuknya dan aku mengerling.

"Kau ambil korek apiku?" Wajahnya tidak mencipta ekspresi, hanya datar dengan netranya yang kaya akan rasa. "Kembalikan, Taehyung!"

Dia melangkah duduk di atas balkon. Seperti biasa dia hanya akan menatapku membuat benteng diriku hancur perlahan.

"Sudah kubuang," akunya pelan. Aku berdecak sembari membuang muka.

Tidak tahu mengapa aku benci situasi ini. Aku sangat tahu Taehyung begitu ingin menolongku. Ia mengulurkan tangannya lagi dan lagi tapi aku tidak bisa menggapainya erat.

Hatiku tidak pernah mengizinkannya.

Aku takut,

Aku sangat takut hitam menelannya.

"Oh, Taehyung!" pekik seorang perempuan. Aku dan Taehyung menoleh bersamaan. Sosok perempuan manis itu mendekat.

"Kau ngapain di sini?" tanya Sooyoung kaget lalu tatapan sinisnya terlayang padaku. Di wajah lugunya itu nampak kekhawatiran untuk Taehyung. Bibirnya bergerak tanpa suara. Dia bilang pada Taehyung untuk tidak terlalu dekat denganku.

Napasku tiba-tiba sesak. Aku memang munafik. Aku ingin Taehyung sedikit menjauh tapi aku tidak siap dengan kosongnya hari-hari itu. Kakiku terayun mengambil langkah pergi.

"Sana!" panggilnya dari belakang. Dan aku mengabaikannya.

**

Dari belakang aku mendengar suara langkahnya yang semakin rapat. Dia mendapatkan lenganku sedetik kemudian. Wajahnya terlihat kesal sebab aku meninggalkannya.

"Mau kemana sih? Sebentar lagi hujan,"

Aku terdiam seperti orang bisu. Ingin bicara tapi tak ada kata yang membersit dalam benak.

Benar kata Taehyung, hari itu hujan lagi. Langit menangis mengguyur debu di muka bumi. Sedang aku hanya termangu, memandanginya di balik kaca. Mobil Taehyung sudah terparkir di depan rumahku tapi dia tidak mengizinkanku keluar.

"Taehyung, buka pintunya!" desakku.

Lain lagi dengan Taehyung. Dia selalu saja melihatku.

"Masih hujan tuh!"

"Aku bisa lari,"

"Kau kenapa sih?" tanya Taehyung penasaran. "Aku buat salah apa?"

"Tidak ada. Cepat buka pintunya!"

Tiba-tiba Taehyung diam memaksa atensiku hanya tertuju padanya saja. Alisnya yang tebal saling tertaut satu sama lain.

"Tolong," bisikku getir.

"Kau marah karena Sooyoung ya?" tebaknya.

"Tidak," jawabku kemudian. Aku mengalah. Aku harus menjelaskannya sekarang. "Dia benar kok. Kau harusnya tidak berteman dengan orang sepertiku,"

Aku wanita yang penuh masalah. Keluargaku tidak harmonis dan gaya hidupku sudah melenceng jauh. Ayahku adalah bandit bertangan dingin, dia memaksaku menjual diri. Aku tidak mau dan itu sebabnya dia menyiksaku.

Hidupku sangat bertolak belakang dengan Taehyung karena aku adalah hitam. Aku hanya akan merusak warna seorang Taehyung.

Dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengannya jika namanya sampai di tangan ayahku.

Yang jelas itu akan buruk sekali.

"Aku bukan teman yang baik untukmu," ucapku. "Black is black, it's dark and dangerous."

"Mundurlah pelan-pelan, aku juga akan lakukan hal yang sama," kataku berat sedang napasku tercekat. Tidak percaya aku mengatakan itu padanya.

"Kau kalau bicara tidak pernah pakai hati ya?" gumamnya.

"Aku mau keluar sekarang, buka pintunya!" ujarku berkukuh namun Taehyung tidak bergerak juga. Aku sudah tidak tahan lagi. Tubuhku mencondong ke arahnya demi menekan tombol di sebelah kirinya itu.

Ketika aku hendak menarik tuas pintu di sisiku, Taehyung bersuara lagi.

"Aku mau ngobrol dengan ayahmu sekarang,"

Aku langsung menoleh hanya untuk menyaksikan ia melepas seatbelt miliknya lantas menarik tuas pintu itu. Sontak aku mencekal lengannya. Netraku sudah panas ketika ia melihatku lagi.

"Kau seharusnya tidak menyuruhku menjauhimu," ujar Taehyung pelan.

Aku terdiam mendengar pelan suaranya berbisik merasuk rungu.

"Aku yang memilih untuk berada di sampingmu," kata Taehyung kemudian.

**

sorry, ini tertinggal di draft sekian lama...
anyway hello to you

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 22, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MoonwakeWhere stories live. Discover now