1

294 2 0
                                    

MAJAPAHIT berada di penghujung masa jayanya. Pemimpin tertinggi –Prabu Brawijaya V– yang bergelar Bhre Kertabumi baru saja memiliki bayi laki-laki yang dilahirkan dari rahim seorang dayang yang bernama Putri Wandan Sari.

Masa-masa suram telah menggerayangi kerajaan yang disebut-sebut sebagai kejaraan Hindu terbesar di Nusantara tersebut. Bhre Kertabumi pun sadar akan kerajaan yang dipimpinnya itu akan segera berakhir.

Kisah cinta yang teramat tragis. Seorang raja –terakhir– justru memiliki anak dari seorang dayang. Anak yang lahir dari dayang dianggap sebagai anak haram. Bukan itu saja kemalangan yang terjadi, Putri Wandan Sari kemudian menjemput ajalnya bersamaan dengan lahirnya si jabang bayi yang baru dilahirkannya. Bayi laki-laki tersebut kemudian diberi nama Raden Bondan Kejawan.

Nasib bagi anak haram, Raden Bondan kecil harus rela disembunyikan kehadirannya di muka bumi. Bhre Kertabumi kemudian memberikan Raden Bondan kecil kepada juru sabinnya untuk diasuh. Dibawalah Raden Bondan kecil pergi. Menjauh dari bayangan ayahnya yang akan segera mangkat bersama kerajaan yang dipimpinnya.

Ki Ageng Tarub adalah nama si juru sabin. Ia juga dikenal dengan nama Jaka Tarub pada masa mudanya. Namun Ki Ageng Tarub ini bukanlah sekadar juru sabin biasa. Sebenarnya ia adalah orang besar.

Ki Ageng Tarub adalah anak dari adipati Tuban dan juga adik dari Raden Said (Sunan Kalijaga). Ki Ageng Tarub kemudian menikah dengan seorang wanita yang sangat cantik bernama Dewi Nawang Wulan.

Ada sebuah kisah legenda yang kemudian melekat kepada masyarakat Jawa hingga beratus-ratus tahun kemudian:

Konon, Dewi Nawang Wulan adalah sesosok bidadari yang turun dari kahyangan bersama 6 bidadari lainnya –Kisah ini turun karena kecantikan ragawi dari Dewi Nawang Wulan itu sendiri. Kedatangan para bidadari itu ke bumi adalah untuk mandi di sebuah telaga di sebuah gunung. Mereka menanggalkan selendang-selendang mereka di tepian telaga.

Dari balik dedaunan di pinggiran telaga, seorang laki-laki sedang takjub mengintip 7 bidadari nan cantik jelita tersebut. Beberapa saat kemudian laki-laki itu mengambil selendang milik salah satu bidadari. Kegemparan pun terjadi usai para bidadari selesai dengan ritual mandinya. Salah satu bidadari tak menemukan selendangnya.
Kehilangan selendang berarti kehilangan kekuatan untuk terbang. Akibatnya salah seorang bidadari tidak bisa kembali ke tempat asalnya di kahyangan. Dan hal yang tak diinginkan pun akhirnya terjadi. Si bidadari ditinggal sendirian di bumi oleh bidadari lainnya.

Beberapa saat kemudian si laki-laki muncul dari persembunyiannya dan menawari bantuan kepada si bidadari. Terjadilah pertemuan antara dua tokoh utama dalam cerita ini. Si laki-laki ialah Jaka Tarub dan si bidadari ialah Dewi Nawang Wulan.

Dan alur cerita berlanjut menjadi kisah asmara. Kedua insan berbeda dunia tersebut akhirnya menikah tanpa mengetahui kenyataan tersembunyi di baliknya. Cinta kemudian mempersatukan mereka.  Lahirlah dari pasangan itu seorang bayi perempuan yang sama cantik dengan ibunya yang diberi nama Dewi Nawangsih. Namun sejalan dengan kemunculan anak tersebut, terkuak pula kenyataan yang pahit. Dewi Nawang Wulan mendapati kenyataan bahwa selendangnya yang dulu hilang di telaga ternyata dicuri oleh Jaka Tarub, suaminya sendiri. Dewi Nawang Wulan pun marah besar. Dewi Nawang Wulan kemudian meninggalkan Jaka Tarub, dan naik ke kahyangan. Namun pada beberapa kesempatan, Dewi Nawang Wulan akan turun ke bumi untuk menyusui anaknya, Dewi Nawangsih. Demikianlah kisah Jaka Tarub dan Dewi Nawang Wulan.

Ki Ageng Tarub dan Dewi Nawang Wulan dikaruniai seorang anak perempuan yang bernama Dewi Nawangsih. Sosok anak ini kemudian mewarisi ragawi ibunya hingga ia beranjak dewasa. Ia tumbuh dewasa menjadi wanita yang cantik jelita.

Raden Bondan yang juga berada dalam asuhan Ki Ageng Tarub dalam kesehariannya tumbuh bersama dengan Dewi Nawangsih. Kisah pun berlanjut dengan pertalian asmara. Ki Ageng Tarub menikahkan Raden Bondan dengan Dewi Nawangsih. Kemudian Raden Bondan berganti nama menjadi Raden Lembu Peteng.
Pernikahan antara kedua anak manusia yang saling memiliki latar belakang yang panjang tersebut terlaksana tanpa banyak orang yang tahu. Raden Lembu Peteng yang memiliki darah raja, dan Dewi Nawangsih yang juga memiliki darah seorang pembesar. Lahirlah dari kedua pasangan tersebut seorang anak bernama Raden Getas Pandawa.
Dari Raden Getas kemudian memiliki keturunan bernama Ki Ageng Sela. Selanjutnya dari Ki Ageng Sela kemudian memiliki keturunan bernama Ki Ageng Ngenis.

Ki Ageng Ngenis adalah sosok yang berkerabat dengan seorang tokoh besar bernama Mas Karebet atau sering dijuluki Jaka Tingkir.
Mas Karebet ini adalah pendiri sekaligus pemimpin pertama dari Kesultanan Pajang –kemudian ia bergelar Sultan Pajang atau Sultan Hadiwijawa. Mulai dari sini terbangunlah tali persahabatan antar keduanya hingga tersalur kepada keturunan-keturunan selanjutnya.
Ki Ageng Ngenis memiliki anak bernama Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan inilah yang meneruskan darah dari ayahnya dan terus menjalin persahabatan dengan Kesultanan Pajang.

Di sebuah wilayah lain yang bernama Jipang Panolan, hidup seorang antagonis yang bernama Arya Penangsang. Tokoh ini menjadi musuh besar bagi Kesultanan Pajang.
Arya Penangsang adalah seorang yang dianggap merebut kekuasaan secara tidak sah. Ia naik takhta setelah membunuh pemimpin sebelumnya. Dan hal itu membuat para adipati di bawah kekuasaan kerajaan tersebut memusuhi Arya Penangsang. Salah satu adipati tersebut adalah Sultan Pajang atau Mas Karebet.

Sultan Pajang merasa segan untuk memerangi dan membunuh Arya Penangsang secara langsung karena dirinya hanya seorang adipati. Dan tidak memiliki alasan untuk balas dendam yang kuat demi membunuh Arya Penangsang. Maka dari itu dicarilah orang lain yang mau menghadapi Arya Penangsang. Dan tampilah Ki Ageng Pemanahan menyanggupi permintaan Sultan Pajang.

Cerita kemudian berlanjut, Ki Ageng Pemanahan dibantu oleh Ki Juru Martani, Ki Panjawi, dan Sutawijaya.
Mereka datang menuju tempat persembunyian Arya Penangsang. Dan terjadilah pertempuran sengit. Sutawijaya adalah anak dari Ki Ageng Pemanahan yang masih kecil namun ia memberi perlawanan yang sengit saat melawan Arya Penangsang. Meski demikian, Arya Penangsang hanya menganggapnya sekadar bocah bau kencur. Namun, kegigihan Sutawijaya pada akhirnya mampu merobohkan Arya Penangsang, dan kemudian Ki Ageng Pemanahan menyelesaikan apa yang telah dimulai anaknya tersebut. Arya Penangsang akhirnya mati.

Sebuah kemenangan diraih Ki Ageng Pemanahan. Arya Penangsang yang menjadi musuh Kesultanan Pajang telah berhasil ditumpas. Berita ini merupakan kabar yang sangat mengembirakan bagi Sultan Pajang. Maka atas dasar balas budi, Sultan Pajang menghadiahkan kepada Ki Ageng Pemanahan dan tokoh-tokoh pembantunya, sebidang tanah di kawasan Selatan.  Tanah itulah yang kemudian dikenal dengan Alas Mentaok.

Pulau Jawa berdiri di bawah kekuasan sebuah kerajaan Hindu besar yang disebut sebagai kerajaan Mataram. Terutama di bagian tengah Jawa, kerajaan tersebut membangun bangunan-bangunan besar yang kemudian disebut dengan istilah candi. Candi-candi tersebut tersebar di berbagai tempat dan berdiri di tengah-tengah rimba yang tak berpenghuni. Kerajaan Hindu tersebut membangun candi sebagai tempat persembunyian, peribadatan, dan juga penanda kekuasaan. Mereka membangun candi untuk menyatakan bahwa wilayah tersebut adalah kekuasaan mereka. Namun sejatinya ribuan pohon yang hidup di sekeliling candi tersebut adalah penguasa yang sesungguhnya.

Seiring berjalannya waktu, kerajaan Mataram itu pun menghadapi akhir jayanya. Mereka meninggalkan candi-candi mereka terkulai dan terkubur di tengah-tengah hutan rimba yang kini tak bertuan. Dan salah satu hutan rimba itu ada di kawasan Selatan.

Hutan rimba di kawasan Selatan tersebut dipenuhi dengan pepohonan yang tinggi dan besar. Pohon-pohon tersebut bernama Pohon Mentaok. Dan berabad-abad kemudian, kawasan tak berpenghuni itu dijuluki dengan sebutan Alas Mentaok. (Alas=hutan)

Novel Pendakian: MERBABU #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang