23

14 0 0
                                    

Aku telah melepas rindu dengan Gondrong. Kami saling bersalaman. Kutepuk bahunya.

“Sejak kapan Ndrong kamu berganti rambut seperti ini?” aku sudah tak sabar untuk menanyakan.

“Masih baru, Ma. Bulan-bulan ini lah.”

Aku masih termangu melihat-lihat segala sisi rambutnya. Perbadaannya dengan dulu sangat jauh. Dulu rambutnya panjang sekali seperti perempuan dan terjulai lurus ke bawah. Sekarang rambutnya pendek dan klimis tersisir rapi.

“Bagaimana menurutmu, Ma? Cakep?”

“Perfect” aku menjawab sambil mengangkat tanganku memberikan tanda perfect.

Ku akui sekarang Gondrong terlihat lebih tampan. Dulu wajahnya terdominasi oleh rambutnya yang panjang sehingga tampak depan wajahnya tertutup. Tapi kini setelah rambut panjangnya tiada, wajahnya bisa terlihat utuh. Wajah laki-laki tulen bisa terlihat jelas.

“Kenapa, Ma. Kok mematung?” sepertinya Gondrong menangkap ketakjubanku.

“Tidak apa-apa, Ndrong. Aku hanya tak percaya.”

“Sudah... percaya tak percaya, percaya saja Ma.”

“Iya... iya. Emm... jadi kenapa kamu potong rambutmu Ndrong?” ini pertanyaanku yang dari tadi kupendam.

“Alasannya cukup panjang, Ma.”

“Satu hari pun kamu becerita, aku siap mendengarkan, Ndrong.”
Gondrong hanya tertawa-tawa.

“Sebenarnya ini hanya sekadar pilihan saja, Ma. Pilih panjang atau pendek.”

“Ya semut juga tahu, Ndrong. Rambut panjang atau rambut pendek. Filosofis dong seperti biasa.” aku membujuk

“Ya memang begitu, Ma. Antara panjang dan pendek aku harus memilih. Aku memilih pendek.”

Gondrong melanjutkan bercerita mengenai alasannya. Dan mobil sudah melaju di jalan besar menuju Kabupaten Magelang.

“Dulu waktu rambutku masih panjang, aku banyak dikira perempuan Ma. Tentu kamu juga berpikir begitu. Ya aku pahami soal itu. Wajar saja. Selama itu juga aku tidak punya pacar, Ma. Satupun tak punya. Jadi kamu tahu kan maksudnya?”

Aku hanya mengangguk mengiyakan.

“Alasan pertama tentu terkait perempuan, Ma. Kupilih rambut pendek supaya bisa dianggap seperti pria sejati. Jadi orang-orang tak akan melihatku sebagai perempuan lagi. Dan alasan kedua pun juga terkait perempuan. Aku sudah lama ingin merasakan dekapan kaum hawa, Ma. Masa yang lainnya sudah menikah aku masih juga sendiri. Aku juga ingin menikah, Ma. Ini sebenarnya alasan utamaku memotong rambut panjangku. Demi perempuan, Ma.”

Sejurus kemudian aku teringat akan lamunanku tiga tahun yang lalu terkait Gondrong. Rambutnya yang panjang telah ia rawat seperti anak sendiri. Panjangnya rambut yang konsisten selama bertahun-tahun itu telah menunjukkan kepadaku arti kesetiaan seorang Gondrong. Jika rambutnya itu seorang wanita, ia pasti akan jatuh hati atas kesetiaan Gondrong dalam merawat dan menjaganya. Tapi kini rambut panjang itu pun telah tiada. Ia telah pergi. Jadi apakah kesetiaan yang dulu itu kini pun telah tiada?

“Ini bukan cuma soal kesetiaan, Ma.” tiba-tiba Gondrong mengagetkanku dengan kata-katanya. Ia seperti bisa membaca pikiranku. Atau barangkali hanya kebetulan.

“Kamu mungkin berpikiran aku sudah tak setia lagi dengan rambutku yang panjang itu? Kuakui itu memang benar. Tapi Ma, menurutku kesetiaan itu bukan sekadar kebersamaan dalam waktu yang lama, Ma. Kesetiaan bukan saja soal waktu.”

“Maksudnya, Ndrong?”

“Begini. Ibarat sepasang kekasih, laki-laki dan perempuan. Kesetiaan menurutku ialah bukan seberapa lama mereka bersama. Tapi seberapa cinta mereka terhadap satu sama lainnya. Kecintaan yang besar itu lah yang akan membuat seseorang mampu membahagiakan pasangannya. Aku setia dengan rambutku yang panjang itu. Aku juga cinta dengan rambutku. Kecintaanku itu kulampiaskan dengan memotongnya, Ma. Aku ingin rambutku yang panjang itu bahagia, biar bibit-bibit rambut yang baru tumbuh, kasihan mereka jika rambutku yang panjang tidak kupotong. Mereka akan terhambat pertumbuhannya. Dan kupikir rambut panjangku juga demikian, Ma. Ia ingin aku bahagia. Ia ingin aku menjadi laki-laki tulen yang bisa memiliki pasangan, Ma. Biar aku bisa menikah dan bahagia.”

Aku menelah ludah, “Dalam sekali...” gumamku pelan.

Mendengar alasan filosofis Gondrong tentang kesetiaan membuatku teringat akan kisahku yang dulu. Langkah yang kupilih sudah tepat sepertinya. Aku hanya tersenyum-senyum mengingat hal dulu itu.

Gondrong mulai memacu mobilnya kencang. Dan kini kami sudah keluar dari wilayah Provinsi Yogyakarta.

“Satu lagi pertanyaanku, Ndrong.” tiba-tiba aku ingat sesuatu yang penting sekali.

“Apa, Ma?

“Jadi namamu sebenarnya? ...”
Gondrong langsung menjawab mantap kepadaku:

“Hendra.”

“Brum,...brumm....!” mobil semakin melaju kencang ke arah selatan disusul suara knalpot yang semakin meninggi. Hendra mulai memutar musik dari dashboard mobilnya.
*

Novel Pendakian: MERBABU #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang