Lokasi yang selanjutnya ini sama dengan pengetahuanku tentang lokasi Masjid Gedhe, nol. Namun setelah bertanya, ternyata lokasi Rumah Pesik juga tidak jauh dari lokasi Masjid. Untuk kesekian kalinya aku beruntung, karena hanya perlu jalan kaki sebentar saja untuk sampai di lokasi yang dituju.
“Benar ini Rumah Pesik, Pak?” tanyaku kepada seorang bapak.
“Benar, dik”
Bapak itu memanggilku ‘dik’. Memang rata-rata orang Jawa memanggil untuk laki-laki dewasa dengan sebutan ‘Mas’, namun sebagian orang juga memanggil laki-laki dewasa seusiaku atau sekitar 20-an dengan sebutan ‘dik’. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan kedekatan antara kakak dan adik. Jadi kesimpulannya orang yang memanggil dengan sebutan ‘dik’, berarti mereka ingin menerima kita seperti keluarga sendiri. Artinya lebih dekat dari pada orang lain.
“Bapak asli sini?” tanyaku lagi.
“Betul, dik. Monggo mlebet?” Bapak itu menawariku masuk ke rumahnya. Tapi aku menolak dengan alasan waktu. Akhirnya bapak itu pun menemaniku melihat-lihat sambil sesekali ia bercerita.
“Rumah Pesik ini katanya rumah orang Mataram Islam, Pak? Apa betul?” aku mulai bertanya seperti seorang jurnalis.
“Betul, dik. Jadi begini....” apa yang kubayangkan pun terjadi. Mengengar kata ‘jadi begini’ keluar dari mulut bapak itu aku girang. Artinya beliau hendak bercerita panjang.
“Dulu, Sultan Agung membawa orang Bali ke sini untuk dipekerjakan sebagai pengukir ornamen. Zaman dulu memang Bali terkenal dengan ukiran-ukirannya. Lalu suatu ketika pengukir dari Bali tersebut menyukai salah seorang keluarga dari Kesultanan Mataram. Mereka pun dinikahkan. Karena Sultan Agung tidak suka dengan terjadinya pernikahan tersebut, maka kemudian mereka tidak boleh tinggal di dalam kawasan Kota Gede. Artinya harus pergi dari Kota Gede. Dan hal itu terjadi. Mereka pergi ke suatu wilayah bernama Banyumas.”
“Sultan Agung menitahkan supaya mereka tidak keluar dari Banyumas. Hal semacam ini disebut juga dengan ‘kalang’ artinya ‘dikunci’. Namun semakin berjalannya waktu, mereka pun beranak pinak dan mau tidak mau akhirnya keluar juga dari wilayah Banyumas. Dan setelah Sultan Agung wafat, mereka perlahan-lahan kembali ke Kota Gede. Dan selanjutnya mereka pun dijuluki sebagai Orang Kalang.”
“Orang-orang Kalang ini telah diwarisi jiwa bisnis oleh leluhurnya, untuk itu kemudian mereka hidup dengan berbisnis dan mendominasi perekonomian di Kota Gede. Hingga pada suatu ketika orang-orang Kalang telah bergelimang harta. Bahkan saat Keraton mengalami masa-masa sulit, orang-orang Kalang pun turut membantu Kraton.”
“Namun pada suatu ketika terjadi perpecahan akibat kecemburuan sosial. Orang-orang Kalang yang mendominasi perekonomian dianggap tidak pantas tinggal di Kota Gede karena mereka bukan pribumi tapi malah menguasai Kota Gede. Dan pada akhirnya meletuslah penjarahan dan pengusiran oleh orang-orang asli Kota Gede kepada Orang Kalang. Orang-orang Kalang kini menyebar ke berbagai daerah khususnya di Jawa Tengah. Beberapa di antaranya juga masih berada di Yogyakarta. Dan satu hal yang menjadi ciri orang Kalang hingga saat ini, yakni mereka menguasai perekonomian.”
“Dan... salah satu bukti peninggalan orang Kalang adalah Rumah Pesik ini.”
Aku mengangguk-angguk. Hikmat dalam cerita bapak ini. Sekilas ku perhatikan arsitektur dari Rumah Pesik memang sesuai dengan apa yang ada dalam cerita bapak tadi. Pintu dan jendela mengadopsi gaya Eropa, dalam hal ini bisa dikatakan Belanda. Kemudian ukiran atau ornamen dalam setiap perabotan mengandung unsur Hindu, artinya ke-Bali-balian.
Kulihat dengan cermat, mungkin memang betul rumah-rumah ini adalah saksi bisu sebuah sejarah Mataram Islam hingga masa Kesultanan Yogyakarta. Di dalamnya juga terdapat kisah yang menceritakan perjalanan sebuah golongan. Aku rasa memang tepat jika Kota Gede ini dijadikan sebagai cagar budaya. Sejarah yang terkandung di dalamnya memang tak bisa ditukar dengan apapun. Begitu berharga.
Akhirnya perjalananku melihat-lihat Rumah Pesik pun usai. Tanpa kuketahui siapa nama bapak itu, kami sudah saja saling bersalaman dan undur diri. Dalam hati aku berterimakasih untuk bapak itu entah siapa pun namanya.
Ku lihat jam sudah berada di angka 3. Masih ada satu tempat lagi sekaligus penutup liburanku hari ini di Kota Gede. Tempat terakhir ini adalah sentra kerajinan perak.
Sudah dari dulu ketika aku tinggal di Jogja, Kota Gede selalu identik dengan tempat kerajinan peraknya. Namun tak pernah sekalipun aku berkunjung untuk melihat-lihat di dalamnya. Dan menjelang sore ini aku akan segera menuju ke tempat itu.
Setelah bertanya kepada salah seorang penduduk, sentra kerajinan perak paling banyak berada di Jalan Nyi Pembayun. Lokasinya lagi-lagi tidak jauh, hanya 200 meter dari kawasan Rumah Pesik ke arah barat.
Tidak butuh waktu lama langsung ku temukan salah satu rumah kerajinan perak yang paling besar. Kulihat cukup ramai kendaraan yang parkir di halamannya. Aku menjadi semakin penasaran dengan isi di dalam rumah tersebut.
“Selamat siang, Mas. Silahkan masuk.” sambutan hangat seorang perempan yang sudah pasti adalah pelayan rumah.
“Saya lihat-lihat boleh, Mbak?”
“Silahkan, Mas.”
Tanpa mengurangi senyum, Mbak pelayan ini mempersilahkanku untuk berkeliling melihat-lihat. Mungkin si pelayan melihatku bukan seperti wisatawan asing. Apalagi lagi datang hanya ingin melihat-lihat. Si pelayan pun pegi dan memilih untuk melayani pengunjung yang lain. Aku pun bebas tak diikutinya.
Di dalam ruangan yang cukup luas ini terpampang berbagai macam karya yang terbuat dari perak. Di antaranya ada lukisan, patung, miniatur, dan juga pernak-pernik lainnya yang tergolong dalam perhiasan wanita. Ada cincin, kalung, anting, konde, gelang, dan sebagainya. Beberapa miniatur terlihat cukup menarik, di antaranya ada miniatur candi, miniatur sepeda motor, dan juga miniatur kapal.
Di salah satu dinding juga terpampang berbagai macam lukisan yang terbuat dari perak. Ada lukisan ikan, lukisan harimau, lukisan kapal, dan juga lukisan wayang.
Aku cukup senang untuk menikmati berbagai macam karya dari perak ini. Masyarakat Kota Gede yang memiliki nama besar sebuah kerajaan Islam, telah mengharumkannya dengan sebuah karya-karya yang sangat layak untuk diapresiasi.
Hari ini benar-benar hari yang menggembirakan. Aku telah berhasil menjadi seorang wisatawan di rumah sendiri. Ada semacam kebanggaan di dalam diri ini. Ternyata masih banyak sisi-sisi kehidupan yang belum kuketahui sepenuhnya. Sama halnya dengan diriku ini. Aku selalu memandang diriku ini sebagai diri sendiri. Akan lain cerita jika kucoba melihat diriku dengan cara pandang orang lain. Pasti ada sesuatu yang mungkin tidak kuketahui yang justru ada di dalam diriku ini.
Jam telah berada di angka 4 dan artinya hari ini harus berakhir. Aku harus segera kembali ke hotelku di Jalan Adisucipto. Perjalananku mengelilingi Kota Gede hari ini telah membayar lunas semua rasa penasaranku terhadap tulisan yang beberapa waktu lalu telah selesai kubuat. Tentang Mataram Islam. Dan juga tentang Kota Gede.
Aku puas untuk hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Pendakian: MERBABU #2
RomansaLanjutan cerita dari novel gunung: MERAPI #1