“Jadi ini puncak Ma?” tanya Jenny.
“Iya Jenn.. lihat di sana ada tulisannya.” Aku menunjuk pada papan nama yang beruliskan ‘Puncak Merbabu’.
Puncak Merbabu berbeda sekali dengan Puncak Merapi. Di Merapi dulu, puncaknya berupa bibir kawah. Sedangkan di Merbabu, puncaknya berupa lahan datar yang tidak begitu luas namun cukup untuk menampung banyak pendaki.
Kalau dipikir-pikir masuk akal juga. Toh Gunung Merbabu bukan gunung yang aktif seperti Merapi. Tentu saja puncaknya berbeda.
“Lihat Mada. Dari sini kita bisa melihat Merapi dengan jelas.”
Aku menghampiri Jenny yang sedang berdiri di tepi, menghadap ke Gunung Merapi yang jauh di seberang sana.
“Gunung Merapi terlihat pendek.” Aku berkomentar
“Merapi begitu kecil. Padahal sebenarnya ia begitu besar.”
“Kita yang kecil Mada.”
*Matahari tepat berada di atas kepala. Panasnya menyengat. Di titik tertinggi Gunung Merbabu justru saat siang-siang bolong seperti ini. Untung saja angin bertiup kencang hingga keringat tak berani untuk keluar dari tubuh kami.
Beberapa pendaki tengah asyik mengabadikan momen bersama teman-teman mereka di puncak Merbabu ini. Mereka mengantri untuk bisa berfoto dengan papan penanda puncak. Belum sah rasanya kalau tidak foto dengan papan tersebut. Belum sampai puncak namanya.
James dan Alice mendadak menjadi artis. Mereka dikerubungi pendaki-pendaki lokal yang ingin foto bersama. Sedangkan Henji justru seperti tukang foto keliling. Selalu dimintai menjadi fotografer bagi mereka.
Sementara, aku dan Jenny memilih menyendiri menghindar dari keramaian sehingga kami bisa lebih menikmati keindahan yang ada.
Aku berada di titik tertinggi Gunung Merbabu. Tak ada tempat berpijak yang lebih tinggi dari ini. Sejanak membuatku merasa menjadi orang yang paling besar di antara lainnya. Mungkinkah ini yang dinamanakan puncak kesombongan?Aku melihat orang-orang di bawah sana begitu kecil. Padahal orang di bawah sana juga melihatku di atas sini begitu kecil pula. Begitulah tabiat manusia, merasa hebat ketika telah melalui jalan berliku.
Manusia seharusnya meniru gunung. Ia selalu merasa kecil di hadapan Sang Pencipta. Padahal sejatinya ia begitu besar kokoh perkasa. Gunung begitu membumi. Ia begitu rendah hati sampai-sampai manusia yang sekecil semut berbondong-bondong menaikinya.
Gunung hanya diam. Ia sadar betapa ia sangat kecil di hadapan Tuhannya. Mereka hanya patuh dan tunduk pada Sang Pencipta Alam.
*Kami juga mengabadikan momen kebersamaan kami di puncak Merbabu ini dengan foto bersama. Alice meraih golden award sebagai artis pendatang terbaik. Banyak pendaki laki-laki yang berebut untuk bisa berfoto dengannya.
Momen paling penting di puncak Merbabu ini pun usai. Kami harus segera mengejar waktu. Siang ini juga kami harus turun gunung. Sehingga paling tidak malam nanti kami sudah bisa pulang kembali ke Jogja.
Terimakasih kami untuk puncak Merbabu.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Pendakian: MERBABU #2
RomanceLanjutan cerita dari novel gunung: MERAPI #1