KAMI berlima berjalan menuju titik start pendakian diiringi dengan tatapan anak-anak kecil dan pemuda-pemuda yang seperti tak rela melepas kepergian kami.
Terlihat beberapa kelompok pendaki juga memperhatikan kami. Memang beginilah nasib menjadi minoritas, selalu menjadi pusat perhatian.
Saat dulu mendaki Merapi, kelompok kami mudah menerima sapaan dari pendaki-pendaki lain yang berpapasan. Namun sekarang kami cenderung diam. Mereka para pendaki juga hanya melempar senyum tanpa sapa. Mungkin masih ada kecanggungan untuk menyapa.“Jam berapa sekarang Henji-kun?” aku memberhentikan kelompok tepat di sebelah pos start pendakian.
“Tepat jam 10 pagi Ma.”
Seperti yang senior-seniorku ajarkan dulu. Sebaiknya kami berdoa terlebih dahulu sebelum memulai pendakian ini.
“Teman-teman aku tahu ini kedengarannya agak aneh bagi kalian. Tapi kami punya kebiasaan berdoa terlebih dahulu sebelum melakukan sesuatu termasuk mendaki gunung.” Aku mencoba menjelaskan.
“Pokoknya kita berdoa menurut keyakinan masing-masing. 1 menit.” Kami pun hening.
*Kami mulai pendakian. Satu langkah yang akan menjadi sejarah bagiku dan bagi teman-temanku ini. Mendaki dengan sahabat-sahabat dari luar negeri. Momen seperti ini akan sulit untuk terulang kembali. Bisa saja ini hanya satu-satunya momen sekali seumur hidup bagi kami untuk bersama berlima mendaki gunung. Tapi entahlah, dunia tidak seluas yang kita bayangkan.
“Karena Henji-kun lebih berpengalaman, maka sebaiknya Henji-kun yang berjalan paling depan. Kita mengikutinya. Oke Henji-kun?”
“Hmm... oke aku bisa Mada-sama.”
Kami memutuskan Henji sebagai leader pendakian. Pengalamannya di alam liar jauh lebih lama ketimbang diriku.
“Jalurnya sudah jelas, jadi tinggal ikuti jalan ini saja.” Aku meyakinkan.
“Lagi pula kita punya peta jalur pendakiannya. Lihat ini.” Tiba-tiba Alice memamerkan sebuah peta jalur.
“Dapat dari mana Alice?” aku penasaran dari mana Alice mendapatkan peta itu.
“Aku mengambilnya di basecamp tadi.”
“Bagus sekali Alice. Sekarang kita tidak takut tersesat lagi. Ayo mulai jalan.”
Kami memulai pendakian dengan formasi Henji paling depan memimpin. Dan aku paling belakang. Lainnya menyesuaikan.
Mendaki dalam kondisi pagi menuju siang seperti ini tentu sangat mudah ketimbang mendaki saat malam gelap. Belum lagi di depan kami beberapa meter juga terlihat rombongan pendaki lain yang sedang berjalan. Kami juga bisa mengikuti rombongan tersebut. Keterlaluan jika sampai tersesat.
*Dalam perjalanan awal ini kami berlima tidak ada yang memakai jaket gunung. Kami hanya memakai kaos. Aku sudah berpengalaman soal ini. Jika kita langsung memakai jaket gunung hasilnya keringat akan bercucuran membasahi jaket. Jadi sebaiknya memakai kaos yang tipis saja supaya menyerap keringat dan cepat kering.
Sebagian besar peralatan pendakian aku sewa dari tempat persewaan yang dulu diberi tahu oleh seniorku. Beberapa perlengkapan lainnya terpaksa harus dibeli. Yang harus dibeli adalah perlengkapan pribadi seperti sepatu gunung, topi, kaca mata, dan lainnya yang berkaitan dengan pakaian. Hal yang semacam ini tidak ada yang menyewakan, oleh sebab itu terpaksa harus dibeli.
Alice dan Jenny membeli trekking pole atau semacam tongkat pendaki. Gunanya yakni sebagai penyeimbang tubuh saat mendaki. Henji membeli topi dan tas kecil. Sedangkan James membeli baju kotak-kotak. Dan kami semua juga terpaksa membeli jaket gunung. Hanya itu saja yang kami beli. Kupikir pendakian yang singkat seperti yang sudah direncanakan tidak membutuhkan banyak peralatan atau aksesoris. Terlalu banyak malah akan semakin mengganggu.
*Langkah di awal cukup menguras tenaga. Kami harus menyusuri hutan terlebih dahulu. Matahari yang sudah di tengah, bersinar semakin panas. Pepohonan besar belum sepenuhnya menghalau sinar matahari itu. Belum lagi tas berat yang digendong dan langkah kaki yang harus menanjak semakin membuat tubuh basah oleh keringat seperti yang kuprediksikan.
Dan di sinilah fungsi kaos tipis yang kami pakai.Napas yang semakin tidak beraturan seperti berebut oksigen menambah berat beban yang ada di punggung. Mau tidak mau kami harus istirahat dulu.
“Di depan kita istirahat sebentar Henji-kun.” Aku meneriaki Henji sambil menunjuk pada lokasi yang cukup datar di depan kami.
“Wow... aku capek sekali. Aku butuh minum.” James yang memiliki tubuh paling besar dan tinggi di antara kami rupanya keok di level bawah seperti ini.
“Kau mau tea time James?” Alice menggoda James yang hobi minum teh dan bersantai.
“Air mineral please!” James memelas dengan napas yang ngos-ngosan.
“Makanya olahraga James. Lihat badanmu sudah terlalu besar. Tapi tenagamu kecil James.” Alice masih juga mengatai James lalu memberikan air mineral botol dari tasnya.
“Kamu tidak lihat di punggungku Alice? Lihat tas sebesar kulkas ini?” James menggerutu. “Tasmu saja sangat kecil Alice. Andai aku menggendong tasmu pasti aku tidak ngos-ngosan seperti ini.” James masih membela dirinya sendiri.
Alice hanya diam tak mengomentari. Kami juga diam dari tadi, terlalu capek untuk ikut bicara.
Lokasi tempat kami istirahat tidak begitu luas. Bisa dibilang ini masih berupa jalan, hanya saja cukup lebar dan terlindung pohon-pohon besar sehingga kami bisa berteduh di bawahnya menghindar dari sengatan panas matahari.
Kami duduk sambil meluruskan kaki. Pendakian baru berlangsung selama 30 menit namun tenaga sudah terkuras cukup banyak. Padahal masih terlampau cukup jauh jaraknya untuk sampai ke tempat camp.
“Jenny... kau sudah minum?” Alice menawarkan botol mineral untuk Jenny yang banyak diam dari tadi.
“Sudah Alice. Aku bawa sendiri.” Jenny lebih menghemat energi dengan tak banyak bicara. Lagi pula Jenny juga lebih feminim jadi wajar jika ia lebih banyak diam.
“Kalian mau snack?” Alice mulai membuka tasnya.
“Keluarkan Alice-chan.” Henji langsung mendekat kepada Alice.
Para wanita di kelompok kami kebagian tugas untuk membawa makanan ringan di dalam tas. Keperluan mengisi energi dalam perjalanan mendaki harus disiapkan oleh para wanita. Sedangkan para pria harus menggendong tas gunung yang berat.
“James kau baik-baik saja?” kucoba menanyakan kondisi James.
“Aku baik-baik saja Ma. Tapi tunggu jangan jalan dulu.” Sepertinya napasnya sudah kembali normal, namun terlalu lama duduk membuat James nyaman. Padahal kami harus kembali melanjutkan pendakian.
“Alice, berikan peta tadi. Aku ingin melihatnya.” Aku beralih kepada Alice yang sedang duduk berdua dengan Jenny.
“Sebentar Mada.” Alice merogoh saku celananya dan mengeluarkan peta jalur pendakian.
“Oke mari kita masih berapa jauh kita hingga ke tempat camp.” Kubuka peta kecil yang terlipat ini.
Peta jalur ini cukup sederhana. Hanya digambarkan garis-garis dengan keterangan pos-pos yang harus dilalui hingga sampai puncak tertinggi Gunung Merbabu.
Pada peta digambarkan terdapat 3 pos dan 2 tempat camp favorit. Tiga pos diberi nama Pos 1, Pos 2, dan Pos 3. Sedangkan dua tempat camp favorit diberi nama Sabana I, dan Sabana II.
Pos-pos yang digambarkan dalam peta adalah lokasi-lokasi pemberhentian sementara bagi para pendaki. Pos-pos ini masih berada jauh di bawah. Artinya belum sampai di 60-70% ketinggian gunung.
Kemudian, lebih ke atas lagi setelah pos-pos tersebut barulah secara berurutan adalah lokasi Sabana I, dan Sabana II berada.
Oke aku sudah cukup mengerti secara garis besar tentang jalur Selo Merbabu ini. Tanpa berlama-lama lagi kami langsung melanjutkan pendakian. Dan tak perlu menanyai kondisi James untuk kedua kalinya.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Pendakian: MERBABU #2
RomanceLanjutan cerita dari novel gunung: MERAPI #1