47

8 0 0
                                    

“Kita akan masak apa Ma?” tanya Alice sambil mengeluarkan logistik makanan dari tasnya.

“Aku juga bingung sebaiknya masak apa. Terserah kalian berdua saja.”

“Kita lihat apa yang kita punya di sini. Ada spagetti, nugget, kornet, dan roti.” Jenny melihat apa yang sudah di keluarkan Alice satu per satu.

“Mana mungkin kita makan itu malam-malam begini Jenny.” Alice kembali mengeluh.

“Jadi kita mau makan apa?” tanya Jenny.

“...tunggu.” Tiba-tiba James memotong perdebatan antara Alice dan Jenny.

“Ini apa Mada?” James mengangkat beberapa makanan dari dalam tasku yang sebenarnya aku bawa khusus untukku sendiri.

“Itu mi instan favoritku James.” Jawabku singkat.

“Oke kita masak itu saja.” Tiba-tiba Alice memutuskan sendiri. Yang lainnya mengiyakan saja.

“Hmm... yaudah kalau begitu.” Aku ingat Alice pernah kumasakan mi instan buatan dalam negeri, dulu waktu kami masih satu flat. Alice suka mi instan.

Demi teman-temanku, akhirnya kurelakan mi instant-ku.
*

Sementara Alice dan Jenny memasak mi. Aku membuat minuman panas. Malam ini kami habiskan waktu untuk makan-makan di dalam tenda saja. Cuaca di luar sangat tidak bersahabat.

Mi instan buatan menjadi menu utama malam ini. Cukup untuk mengganjal perut dan menghangatkan tubuh yang semakin kedinginan.

Acara makan-makan segera dimulai bersamaan dengan  tiupan angin kencang yang membuat tenda bergoyang. Padahal Henji sudah mengikat tali tenda ke ranting-ranting pohon di sekitar dan pasak-pasak juga sudah dipasang dengan baik. Namun tetap saja angin malam di atas gunung seperti ini tidak bisa dijinakkan. Mereka seperti hewan liar yang kelaparan.

Mi rebus rasa ayam bawang dalam porsi besar telah siap dibagi-bagi. Kepulan asapnya terasa hangat.  Aroma ayam bawang memenuhi seluruh isi tenda.

Teh panas buatanku juga sudah siap. James pasti senang bisa melakukan tea time dalam kondisi badai seperti ini.

“Baik semua, mari kita berdoa sebelum makan. Berdoa dimulai.” Aku kembali memimpin ritual berdoa kami.

Malam yang gelap ini. Di salah satu punggung Gunung Merbabu, kami berlima manusia yang berbeda latar belakang kenegaraan disatukan oleh ikatan pertemanan dan mi instan. Malam ini mungkin menjadi malam paling berkesan bagi kami berlima.

“Slurrpp....!”

“Nikmatnya...”

Aku hanya bisa tersenyum melihat Alice yang menikmati mi rebus ayam bawang ini. Aku jadi terbayang iklan-iklan mi instan di televisi. Mirip sekali dengan ekspresi Alice.

“Aku harus membawa ini pulang Ma...”

“Boleh Alice. Nanti kita beli yang banyak untuk oleh-oleh pulang ke Inggris.” Kami mengisi malam yang dingin di atas Merbabu ini dengan keceriaan kami.
*

Apa yang dibilang Henji benar. Badai telah datang. Angin kencang tak berkesudahan kini disusul rintik-rintik air hujan. Tidak deras namun rintik-rintiknya terdengar.

Henji sudah tidur. Sleeping bag telah membungkusnya rapat. Akhirnya Henji bisa melepaskan kelelahannya. James pun demikian. Ia yang paling lambat dalam pendakian dan paling sering mengeluh. Sekarang sudah bermimpi di dalam sleeping bagnya. Hanya aku yang belum bisa tidur.

“Kalian berdua tidak mau tidur?” aku mengintip ke tenda sebelah dimana Alice dan Jenny berada.

“Sebentar lagi kami tidur Mada. Lihat kami sudah di dalam kantung tidur.” Alice menjawabku. Sejak tadi Alice dan Jenny terdengar masih mengobrol.

“By the way, thanks Mada kamu telah mengajak kita untuk mendaki Gunung Merbabu.” gantian Jenny yang bicara.

“Sama-sama Jenn. Tidurlah kalian.” Aku menutup pintu tendaku. Kulihat Jenny tersenyum kepadaku penuh arti.

Malam ini akhirnya aku bisa melepaskan semua rasa lelah yang sengaja kupendam. Demi teman-temanku aku harus bisa menahan rasa lelah, pegal, dingin, dan ketakutanku. Setidaknya itu pelajaran yang dapat kuambil dari seniorku Mas Bardiman dan Mas Bramantyo.
Malam yang dingin ini. Aku mulai memejamkan mata. Akankah ingatan masa lalu yang dulu akan datang kembali. Entahlah.

Novel Pendakian: MERBABU #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang