24

11 0 0
                                    

Gedung resepsi pernikahan Anis Curly cukup luas. Aku tebak ini adalah gedung pertemuan milik Pemda setempat. Bangunannya adalah bangunan tunggal dan permanen.

Terlihat kursi-kursi sudah hampir terisi penuh. Sepertinya kami datang tepat di acara puncak. Anis Curly dan seorang wanita yang kupikir sudah sah sebagai isterinya kini tengah duduk di kursi panas mereka di atas panggung di ujung depan. Mereka berdua terlihat seperti raja dan ratu saja.

Para tamu undangan tengah menikmati santapan mereka. Aku dan Hendra buru-buru masuk ke dalam gedung dan memilih bangku kosong.

Seperti halnya resepsi pernikahan pada umumnya di Jawa. Acara puncak diisi oleh sambutan-sambutan dari berbagai pihak. Mulai dari sambutan pihak mempelai laki-laki, kemudian sambutan dari pihak mempelai wanita. Lalu juga ada sambutan dari pejabat setempat.

Selepas acara sambut-menyambut, dilanjutkan oleh ceramah dari tokoh agama dan tetua adat. Ceramahnya berisi tentang petuah-petuah dalam berumah tangga dan semacamnya. Semuanya berkaitan dengan perbekalan untuk kehidupan si pasangan suami isteri.

Dan terakhir adalah acara yang paling ditunggu-tunggu oleh semua tamu undangan, yakni acara foto-foto di barengi dengan acara santap saji.

Karena kami terlalu canggung, maka kami putuskan untuk makan santapan yang telah disediakan terlebih dahulu. Beberapa teman lain yang kukenal juga memilih demikian. Kami akan melepas kerinduan terlebih dahulu dengan teman-teman lain.

“Budi...Vin... apa kabar? Lama tak jumpa.” Budi dan Vino teman di BEM dulu mereka telah membawa pasangannya masing-masing.

“Baik, Ma. Eh apa kabar juga kamu? sudah sukses karir sekarang.”

Gedung yang berbentuk persegi panjang ini mampu menampung sedikitnya 500 orang sekaligus. Lalu lalang para tamu undangan juga teratur dengan lancar. Sepertinya Event Organizer yang dipakai cukup handal.

Santapan makanan juga cukup bervariasi. Semuanya tentu adalah khas masakan Jawa Tengah. Ada . .. . .

Masih sambil menikmati santapan yang nikmat, beberapa teman kampus juga mulai berkumpul. Rata-rata mereka adalah alumni pendemo di Rektorat tiga tahun yang lalu. Kami pun larut dalam kenangan-kenangan masa lalu. Kebersamaan dulu pun kini kurasakan kembali. Di suasana yang berbeda pastinya.

Lagu demi lagu  diputar memeriahkan suasana di dalam gedung. Kali ini bukan lagu-lagu perjuangan seperti waktu itu, lagu yang diputar adalah lagu-lagu melankolis dan romantis. Membuat para tamu undangan yang datang bersama pasangannya semakin terbuai dalam kasih. Sedangkan bagi mereka yang masih sendiri juga terbuai, hanya saja terbuai dalam kesengsaraan.

Teman-teman lain turut dibuat kaget dengan penampilan baru Gondrong alias Hendra. Mereka semua mengerumininya dan memegang-pegang rambutnya yang klimis seolah-olah tak percaya. Hendra pun kini menjadi artis dadakan dikelilingi banyak teman wanita. Semoga saja rambut panjangnya di alam sana bisa tersenyum bahagia melihat Hendra yang sekarang telah dikerumini banyak wanita.

Aku turut bahagia melihat semua teman-temanku juga bahagia. Senang rasanya bisa membuat sebuah acara pernikahan seperti ini yang bisa mengumpulkan semua teman lama dan membuat kegembiraan di antara mereka. Aku pikir resepsi pernikahan seperti ini memang mirip dengan aksi demonstrasi. Ada kebersamaan  di dalamnya. Aku benar-benar rindu saat-saat seperti ini.

Masih aku berdiri sambil menghabiskan cemilanku dan melihat orang-orang saling bersenda gurau. Tiba-tiba seorang anak kecil menambrak kakiku.
“Bruk...”

“Eh... siapa ini cantiknya?” anak kecil perempuan bermata bulat bertubuh mungil memegang kakiku, es krim ditangannya jatuh.

“Sini Om ambil kan yang baru ya.” kugendong anaknya lalu ku ambil kan eskrim yang baru untuknya.

Anak perempuan ini mungkin baru berumur dua tahunan. Bicaranya masih terbata. Ditanya pun masih belum bisa menjawab sempurna. Wajahnya putih, rambutnya panjang berwarna hitam kecokelatan, dan matanya bulat hitam khas sekali seperti orang Timur Tengah.

“Mama Papanya dimana sayang?” tanyaku namun tak digubris. Anak perempuan itu hanya fokus memakan es krim barunya.

Aku pun berputar-putar badan. Melihat ke sekeliling siapa tahu ada orang yang terlihat gerak-gerik sedang mencari seorang anak. Aku mencari sambil berjalan. Beberapa tamu undangan malah mengira aku ayah anak ini setelah kutanyai mereka.

Lalu, tampak di kejauhan seorang wanita berhijab abu-abu muda melambaikan tangan. Ya, pasti itu ibunya. Wanita itu pun bergegas menuju ke arahku. Demikian juga aku, sambil menggendong si anak aku melangkah menuju ke arahnya.

“Assalamuallaikum..” wanita berparas cantik ini mengucap salam, dan aku menjawabnya. Si anak perempuan mungil mulai bergolak setelah melihat wanita tersebut. Tapi kemudian ia kembali tenang di gendonganku.

“Anaknya cantik sekali.”

“Wah, terimakasih.” ibunya hanya tersenyum. Dan kuturunkan anaknya.

Dalam hati aku bergumam “Ibunya saja secantik ini, apalagi anaknya.”

Ibu anak ini memiliki wajah Arab. Hidungnya mancung. Wajahnya kuning cerah. Matanya bulat khas sekali ketimuran sama seperti anaknya.

“Sudah umur berapa anaknya?” tanyaku kemudian.

“Baru dua tahun.”

“Baru umur dua tapi sudah pintar ya.”

“Alhamdulillah...”

“Semoga jadi anak yang cantik dan sholehah sayang..” aku cium pipi anak itu. Ia masih fokus menggigit es krimnya. Sedangkan ibunya masih tersenyum.

Kami pun berbicara seperlunya. Tentu ada adabnya laki-laki single berbicara dengan wanita yang sudah memiliki anak. Apalagi tebakanku ia ibu muda.

Kemudian si anak dibawa ibunya kembali ke tempat duduknya. Orang-orang di sekitar masih juga melihat aku sebagai bapak si anak. Setidaknya itu yang kudengar dari bisikan-bisikan mereka.

Sambil aku berjalan, ada semacam perasaan aneh di dalam diriku. Sepertinya aku mengenali ibu anak itu. Tapi entah siapa aku pun masih ragu.

Wajahnya yang Arab itu aku sama sekali belum pernah melihatnya. Tapi ia juga termasuk tamu undangan Anis Curly. Spekulasiku tentu mengarah kepada teman kampus. Namun jika bukan, mungkin teman dari mempelai wanita. Tapi anehnya aku seperti pernah mengenalinya. Suaranya dan matanya seperti kukenal.

Aku telah kembali begabung dengan Hendra dan beberapa teman lain. Kulihat rambut Hendra tidak semulus sebelumnya. Pasti habis terjamah banyak tangan wanita pikirku.

“Eh Ndra, kamu tahu wanita yang itu?” aku penasaran jadi kutanya saja kepada Hendra.

“Yang mana, Ma?”

“Itu, yang sama anaknya, muka kearaban. Arah jam sepuluh.” aku sambil memberi kode arah jam kepada Hendra.

“Itu kan Azizah, Ma...”

“Azizah siapa?”

“Azizah Adrimah, masa kamu tidak tahu?”

“Haaah....!” kedua alisku terangkat. Jantungku berdegup semakin kencang. Mataku kukedip-kedipkan ke muka Hendra.

“Serius, Ndra?” tanyaku lagi.

“Oh iya... kamu di luar negeri waktu itu. Pantas tidak tahu. Iya, Ma. Itu Azizah Adrimah. Versi tanpa cadar.”

Aku tiba-tiba diam. Namun di dalam dada jantungku sudah tak terbendung kencangnya. Lalu kulihat kedua telapak tanganku. Dalam hati aku bertanya:

“Anaknya Azizah? “

Novel Pendakian: MERBABU #2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang