JAM di tangan sudah menunjuk angka 4 sore lebih beberapa menit. Angin semakin kencang bertiup ke segala arah. Pepohonan yang semakin pendek dan kecil tak mampu menghalau laju angin yang beringas. Suara bergemuruh saling bersahut-sahutan.
Di kejauhan sana kabut tebal sedang menuju ke arah kami. Kabut suka berlama-lama di gunung. Kabut yang datang akan lama untuk menghilang.
Akhirnya kabut sampai. Jarak pandang kami menjadi semakin sempit. Sinar matahari kini tertutup. Pemandangan menjadi putih abu-abu. Sore yang kurang bagus untuk kami. Sunset yang diidam-idamkan tak akan terlihat. Pertunjukan terpaksa digantikan dengan pemandangan kabut tebal yang menyusahkan pandangan kami.
Sudah 30 menit kami berpisah dengan Henji. James yang kelelahan dan kakinya kram memaksa aku memutuskan untuk jalan pelan saja. Alice dan Jenny mengikutiku. Mereka berdua tidak boleh jalan duluan seperti Henji. Itu akan sangat berbahaya.Suhu dingin mulai menyergap. Kami lantas memakai jaket gunung kami. Kondisi seperti ini sangat berbahaya bagi para pendaki. Untung kami membawa jaket dan tenda. Entah seperti apa jika ada pendaki yang tidak membawa apa-apa.
Jenny dan Alice sudah mulai kedinginan. Begitupun aku. Rasa tanggung jawab yang besar memaksaku untuk tetap kuat dan menyembunyikan semua kelelahanku.Kami berempat berjalan pelan dan terus mendaki ke atas di antara kabut-kabut. Aku tak bisa memprediksikan dimana pos selanjutnya. Kabut tebal menghalangiku.
Hingga kami pun sampai di trek setengah landai dan ditumbuhi pohon-pohon perdu di sekelilingnya. Kami berjalan melewati trek tersebut. Dan di balik pepohonan terlihat banyak pendaki yang sedang melakukan aktivitasnya masing-masing. Aku yakin kami sudah sampai.
“Sepertinya kita sudah sampai. Ini Sabana I, tempat camp yang kita tuju.”
“Ayo James cepat kita sudah sampai.” Alice meneriaki James yang berada di dekatnya.
Untuk meyakinkanku, kucoba bertanya pada salah seorang pendaki. “Permisi Mas. Ini Sabana I bukan?”
“Betul Mas. Sabana I.” jawab pendaki itu singkat dan jelas.
“Oke teman-teman kita sudah sampai di Sabana I. Tidak ada istirahat. Sekarang kita harus segera mencari dimana Henji berada.” Aku langsung memerintahkan kepada semuanya untuk mencari Henji bersama.
Saat kami tiba di Sabana I ini cuaca berubah menjadi lebih ekstrim. Kabut semakin tebal dan angin juga bertambah kencang. Dengan kondisi seperti ini akan sulit untuk mencari keberadaan Henji. Kami hanya bisa berharap Henji-lah yang melihat kami.
Belum lagi banyak pendaki yang berlalu lalang di Sabana I ini. Semakin menyulitkan pencarian kami menemukan Henji.
Banyak tenda-tenda yang sudah berdiri di sekeliling kami. Lebih jauh ke depan sudah tertutup kabut. Henji masih belum terlihat.
“Kita jalan lurus saja.”
“Henjii—kun... Henjii-kun!!” kami berteriak namun upaya gagal karena angin terlampau kencang membawa teriakan kami entah kemana.
“Tak mungkin terdengar Ma... anginnya terlalu kencang.” Keluh Alice.
Sialnya kami sudah mulai kedinginan. Jika Henji tidak kunjung ditemukan kemungkinan terburuk kami harus menumpang di tenda orang. Tapi itu sangat tidak mungkin. Rata-rata orang membawa tenda pasti sesuai kebutuhan dan kapasitas mereka masing-masing.
Di saat genting seperti ini aku baru ingat kalau Henji bukan amatiran. Ia pasti memilih tempat untuk tenda kami di tempat yang aman dari angin. Seharusnya kami mencari di tempat yang banyak pepohonannya. Jika kami hanya lurus mengikuti jalan mana mungkin Henji akan ketemu.
“Semua ayo kita cari tempat yang banyak pohonnya. Tapi jangan sampai berpencar.” Aku menginstrusikan cepat.
Belum sampai satu menit, Jenny langsung menemukan tempat yang kumaksud “itu Mada.”
Ia menunjuk ke sebuah bukit kecil atau semacam gundukkan tanah yang di puncaknya banyak pohonnya.
“Ayo kita segera ke sana.”
Kami langsung menuju lokasi yang dimaksud Jenny. Bukit tersebut ada di kiri jalan.
“Henji...Henji-kun!!” kami berempat tetap berteriak siapa tau Henji mendengarnya.
“Tunggu sebentar...” Alice tiba-tiba berhenti berjalan.
“Kalian dengar itu?”
Kami juga berhenti berteriak. Dan memasang telinga kami baik-baik.
“..suitt..swiiitt....!!”
“Itu suara suitan!” aku mendengar seseorang bersuit
“Pasti itu Henji.” Aku meyakinkan diri.
Dan kami mencari-cari sumber suitan tadi. Di balik rimbun pohon akhirnya Henji kami temukan.
*Saat kami tiba, Henji sudah berhasil mendirikan satu tenda kami yang dibawanya.
“Cepat keluarkan tenda satunya lagi Mada.” Begitu sampai Henji langsung menyuruhku mengeluarkan tenda yang kubawa dalam tas gunungku.
Aku langsung bergegas membongkar tas.“Alice, Jennifer, sebaiknya kalian masuk ke dalam tenda dulu.”
“James, bantu kami membuat tenda satunya.” Kali ini kami harus berpacu dengan waktu. Angin semakin kencang dan dingin semakin menusuk tulang.
“Apa akan datang badai Henji-kun?” tanya Alice sewaktu mau masuk ke dalam tenda.
“Sepertinya begitu Alice-chan...” jawab Henji singkat sambil membongkar tenda dari dalam tas.
“Masuk ke dalam tenda Alice. Bawa barang-barangmu.” Aku mengingatkan Alice.
Aku, Henji, dan James memasang tenda satunya. Kami memasang dua tenda saling berhadapan satu sama lain. Satu tenda untuk Alice dan Jenny. Satu tenda lagi untuk kami bertiga. Untuk menghubungkan antara tenda satu dengan tenda satunya, kami pasang flysheet di atasnya atau semacam pelapis tenda. Tujuannya sebagai protector dari angin dan hujan, sehingga tidak bisa menembus dinding tenda utama.
Flysheet juga bisa digunakan sebagai teras pada tenda dan juga bisa dibuat sebagai penghubung tenda. Itu yang kami lakukan pada tenda kami. Sekarang dua tenda kami menjadi seperti satu tenda karena sudah terhubung dengan ruang tengah.
Henji memilih tempat yang sangat bagus. Di sekeliling tenda kami banyak pohon-pohon perdu yang melindungi tenda kami dari terjangan angin. Selain itu di sebelah tempat kami juga ada beberapa tenda yang sudah berdiri. Jadi di tempat ini kami tidak sendirian.Tenda kami memiliki kapasitas yang cukup. Masing-masing berkapasitas 3-4 orang. Cukup untuk menampung tubuh besar James dan beberapa tas gunung. Ruang tengah yang kami buat juga cukup luas bisa digunakan sebagai tempat untuk memasak.
“Oke tenda sudah jadi. Semuanya masuk ke dalam tenda sekarang juga.” Kami akhirnya masuk ke dalam tenda diiringi angin yang juga berebut ingin ikut masuk.
Sepatu telah kami lepas dan diletakkan di ruang tengah sekaligus menutupi celah-celah yang kemungkinan angin bisa masuk. Dengan begitu kondisi di dalam tenda menjadi lebih hangat.
Kulihat jam sudah di angka 5 sore dan di luar sudah gelap. Kami harus menyalakan lampu.
“Ambil lampu tenda di tas.” Aku menyuruh James. Perlengkapan-perlengkapan lain ada di tas James.
Lampu tenda kami pasang di atap tenda. Sekarang tenda sudah cukup terang.
Di luar sana angin kencang menghantam tenda kami terdengar seperti cakaran-cakaran hewan buas. Padahal tenda kami sudah dilindungi oleh pepohonan.
“Kita mau apa sekarang Mada?” tanya Alice di sebelah.
“Kita perlu masak Alice. Kalian yang buat makanan. Aku yang buat minum.”
“Henji dan James, sebaiknya kalian istirahat saja.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Pendakian: MERBABU #2
RomanceLanjutan cerita dari novel gunung: MERAPI #1