SARAPAN pagi kami cukup istimewa. Semuanya ala-ala Barat. Ada spagetti, telur dadar, nugget, kornet, dan roti.
Puas dengan sarapan yang istimewa, kami pun bersiap melanjutkan pendakian. Kami melanjutkan pendakian hingga ke puncak Gunung Merbabu.Menurut peta, pendakian dari Sabana I hingga puncak memakan waktu kurang lebih 2-3 jam. Bila mendaki tanpa membawa tas gunung kemungkinan besar akan lebih cepat.
Tenda kami tinggal di Sabana I. Kami hanya membawa satu tas daypack milik Alice yang diisi dengan snack dan minuman. Aku menghitung-hitung waktu yang akan kami habiskan. Jika perjalanan naik 3 jam lalu turun 2 jam maka total 5 jam. Itu artinya sekitar jam 1 kami sudah kembali ke Sabana I. Oke estimasi waktu sudah tepat.
*James terlihat lebih kuat dari kemarin. Sekarang ia bisa menyesuaikan diri. Kemungkinan besar beban berat di tas gunungnya menjadi alasan utama James sering kelelahan. Buktinya kali ini tanpa tas yang digendong James tidak terlihat ngos-ngosan.
Kami berjalan mendaki mengikuti peta. Lagipula banyak pendaki-pendaki lain yang juga akan menuju puncak. Kami tak terlu khawatir salah jalan.
Menurut peta, pos selanjutnya adalah Sabana II. Dari namanya aku bisa menebak itu tidak akan jauh berbeda dengan Sabana I. Dan bisa jadi lebih indah dari Sabana I. Entahlah.
Baru berjalan beberapa menit, kami pun memutuskan untuk istirahat sejenak. Trek cukup menanjak. Meskipun tanpa tas, napas tetap saja tersengal. Kami istirahat sebentar meluruskan kaki. Dan karena masih kenyang, kami tidak mengeluarkan makanan ringan apapun.
“Teman-teman, itu dia Merapi.” Sambil duduk aku menunjuk ke arah yang berlawanan dimana jauh di sana terlihat Gunung Merapi.
Teman-temanku juga membalikkan badan dan melihat ke Merapi. Dari posisi duduk kami bisa melihat dengan jelas tanpa terhalang apapun Gunung Merapi itu.
Puncaknya yang abu-abu tandus begitu nyata. Guratan-guratan di tubuh Merapi juga tampak jelas.
“Gunung itu seperti hidup.” Henji berkomentar.
“Kau benar Henji-kun. Lihat, dari puncaknya ada kepulan asap tipis. Aku pikir dia sedang bernapas.” James ikut berkomentar.
“Indah, tapi juga bisa jadi mengerikan.” Henji melanjutkan penilaiannya.
“Mengerikan?” Alice sepertinya penasaran dengan maksud Henji tersebut.
“Iya Alice-chan. Jika gunung itu bernapas seperti apa yang dikatakan James. Maka itu tanda gunung aktif. Sewaktu-waktu bisa meletus dan memakan korban.” Henji menjelaskan. Aku paham yang dimaksudkan Henji.
“Di Jepang banyak sekali gunung api yang aktif dan kapanpun bisa meletus.”
“Itu menakutkan Henji-kun.” Alice mulai mengerti.
“Di Indonesia juga begitu kan Ma?” Perkara gunung api Henji tahu betul.
“Ya, itu benar. Indonesia dan Jepang sama-sama punya gunung api yang banyak.” Sekilas aku dan Henji terdengar seperti bersekongkol memamerkan apa yang negara kami miliki.
“Bukan hanya Indonesia dan Jepang saja. Amerika juga memiliki banyak gunung api yang aktif.” Jenny bersungut-sungut. Tampaknya ia ingin memulai perdebatan.
“Kalian tahu Hawaii?” tanya Jenny kemudian.
Aku dan Henji hanya mengangguk.
“Sejujurnya, Pulau Hawaii itu adalah gunung api yang aktif.”“Itu menakutkan Jenn.” Alice kembali berkomentar.
“Kadang sesuatu yang indah, ada harga yang harus dibayar.” Jenny melanjutkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Pendakian: MERBABU #2
RomanceLanjutan cerita dari novel gunung: MERAPI #1