SETELAH ada target untuk mendaki Gunung Merbabu dalam waktu dekat. Kini aku menjadi bersemangat dan banyak rencana-rencana yang kemudian muncul di otakku.
Salah satunya yang terpenting adalah mencari teman pendakian. Kali ini aku bukan lagi seperti dulu yang newbie. Aku akan menjadi pemimpin pendakian.
Kelompok pendakian Merapi yang dulu kini sudah pergi. Hanya menyisakan tiga orang saja: Dony, Tatan, dan Ibnu. Ketiganya mungkin sedang mengejar target mereka di tugas akhir. Ingin rasanya mengajak mereka tapi sepertinya aku lebih suka jika mereka tidak ikut. Biarlah mereka bertiga menyelesaikan dulu tugas mereka.
Lantas siapa lagi yang mungkin bisa kuajak untuk mendaki gunung?
*Masih aku bingung di dalam kamar mencari-cari siapa temanku yang tersisa di Jogja. Tiba-tiba datang kepadaku sebuah undangan pernikahan atas nama:
“Anis Curly...”
Anak yang satu ini akhirnya menikah juga.
Kuakui dulu Anis lebih populer daripadaku. Dia pernah menjadi ketua BEM dan kiprahnya juga bagus di politik kampus. Sedangkan aku hanya tangan kanannya saja.
Anis tidak pernah pacaran. Setidaknya itu yang kuketahui selama bertahun-tahun bersama dulu di BEM. Ia hanya fokus di kuliah dan organisasi. Mungkin ia sudah menganggap kuliah dan organisasi sebagai pacarnya sendiri.
Tapi setelah tiga tahun tak berjumpa, tiba-tiba saja ia menikah. Cukup mengejutkan memang. Namun dengan ketenaran seperti itu aku pikir mudah saja baginya untuk mendapatkan pasangan. Beruntungnya si Anis.
Setelah kulihat kartu undangan pernikahan Anis, sepertinya itu sudah dikirmikan sejak lama. Mungkin sudah semingguan yang lalu. Aku masih belum di Indonesia. Kemudian kulihat tanggal resepsinya,
“Besok.....”
Aduh ...“Datang sama siapa dong?”
*Dahulu aku pernah terbuai oleh kata-kata puitis seseorang. Pujangga dari Ilmu Budaya. Ia adalah Gondrong. Aku dengannya sepertinya ditakdirkan memiliki nasib yang sama. Yakni sama-sama masih single. Alhasil Gondrong berhasil kuajak untuk berangkat bersama ke resepsi pernikahan Anis Curly.
Beberapa teman satu organisasi dulu rata-rata telah hijrah ke kota-kota besar di seluruh Indonesia. Sehingga kebanyakan dari mereka tidak bisa datang ke acara tersebut. Kemudian beberapa lagi dari teman kami juga sudah berkeluarga. Sudah tentu mereka akan datang membawa pasangannya masing-masing. Terakhir adalah kaum adam yang masih single. Dan sialnya hanya Gondrong yang bisa ikut. Lainnya hanya nitip saja.
Sejenak aku cukup bergidik memikirkan soal Gondrong. Rambutnya yang panjang lurus itu tentu akan menghipnotis orang-orang. Mereka akan melihat Gondrong sebagai perempuan duta shampo jika dilihat dari belakang.
Jika aku datang bersama dengan Gondrong, jangan-jangan nanti orang-orang akan melihat kami sebagai pasangan. Ini bahaya. Tapi mau bagaimana lagi? Akan lebih mengerikan jika aku hanya datang sendirian.
*Hari ini kuputuskan untuk menyimpan dulu soal Merbabu. Ada agenda lain yang harus diselesaikan hari ini juga.
Lokasi resepsi pernikahan Anis berada di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Ada lebih dari 40 kilometer dari Jogja. Untuk itu Gondrong akan datang dengan mobil. Aku tinggal menunggunya.
“Brummm... brumm...!” Suara knalpot mobil mulai mendekat.
Aku berdiri mematung di depan kos mewahku.Mobil pun berhenti. Disusul suara knalpotnya yang mulai pelan. Dan kaca mobil perlahan terbuka.
Terlihat seorang pria berkacamata hitam. Rambutnya pendek dengan belahan samping. Warnanya hitam klimis. Jelas sekali ia memakai minyak rambut.
Mobil sedan dengan knalpot customnya cocok sekali jika dipasangkan dengan si pria. Kedua-duanya sama-sama custom.
Aku pun masih termangu memandangi si supir dan mobil sedannya. Seketika itu pula pria berkacamata hitam dan berambut klimis itu pun memalingkan wajahnya kepadaku.
“Gondrong...??”
Untuk kesekian kalinya hidupku merasakan kaget. Hanya berselang tiga tahun, ada saja perubahan drastis dari orang-orang di sekitarku. Entah tiga tahun itu yang terlalu cepat bagiku sehingga tak kurasakan, atau memang tiga tahun itu cukup lama bagi orang-orang di sekitarku sehingga mereka mengalami perubahan drastis. Aku pun tak tahu.
Dan kali ini Gondrong yang namanya merepresentasikan fisiknya tiba-tiba hadir di hadapanku dengan penampilan yang baru: rambut pendek klimis. Dengan kenyataan seperti ini tentu semua orang termasuk aku akan bertanya-tanya “Lalu harus dipanggil siapa orang satu ini jika ‘gondrong’ rambutnya itu sudah tak ada lagi?”
Selama aku kenal dengannya setahuku namanya hanyalah Gondrong. Teman di Ilmu Budaya dan organisasi semua turut mengiyakan, namanya telah disepakati sebagai Gondrong. Rambutnya yang panjang itu adalah identitasnya. Selama bertahun-tahun ia telah menjaga keperawanan rambutnya itu demi menjaga martabat namanya. Tapi kini? Apa hal yang terjadi?
“Ndrong?” tanyaku lagi masih belum percaya.
“Iya... iya. Jangan kaget seperti itu.” Gondrong menjawab.
“Ini betul Gondrong?”
“Iya betul lah.” kembali ia menjawab lalu membuka kacamata hitamnya.
“Oke. Percaya!” sebenarnya aku pura-pura percaya saja.
Tiga tahun sepertinya waktu yang cukup lama bagi temanku yang satu ini. Terlihat sekali perubahan drastis dalam hidupnya. Mobil custom ini. Rambutnya itu. Ah barangkali aku yang terlalu lama berada di luar negeri.
“Brumm...brumm,..!” mobil melaju dan mulai meninggalkan Klebengan menuju arah selatan.
*
KAMU SEDANG MEMBACA
Novel Pendakian: MERBABU #2
RomanceLanjutan cerita dari novel gunung: MERAPI #1