Bab01 || Jon Mahersa

161 13 0
                                    

Goncangannya sangat tak terkontrol saat bus ini dipercepat tapi juga akan mendecit begitu roda melamban. Seperti tak bergerak selama 5 jam, rasanya melewati pohon rambutan yang sama berulang-ulang. Jika kalian berpikir semua ini sudah cukup buruk—sama sekali tidak. Di bagian belakang, belakang kursi terakhir, ada karung yang membuat bus berbau seperti ikan busuk. Selain itu, dua pemuda didepanku sama sekali tak bisa diam. Tidak bermaksud untuk kasar, tapi sebaiknya mereka tutup mulut karena orang lain kesulitan untuk tidur.

"Maaf... bisa sedikit pelankan suaramu, banyak orang mencoba untuk tidur disini," Aku mencoba sesopan mungkin. Mereka menoleh dan menganggukan tanpa ada kata dari mulut mereka. Salah satu diantaranya se-akademi denganku, kuketahui setelah melihat kalung militernya. Mungkin tiga atau empat tahun lebih muda. Wajahnya terlalu riang, mungkin belum cukup digembleng.

Aku tahu dengan pasti mereka akan ke Tedon bukan untuk melancong. Tebakkanku mereka kesini untuk hal yang sama denganku, yaitu uang. Jika kalian ingin kaya, kalian harus di tempat dan bersama orang yang benar. Dan Tedon hanyalah kota yang terpikirkan olehku. Banyak uang untuk dibuang tapi banyak pula orang yang mungkin akan terbuang.

Setelah perjalanan yang panjang dan membosankan hal pertama yang kulakukan adalah merasakan angin yang walau panas tapi lancar, tidak seperti di bus tadi. Setelah itu mulai kuperhatikan kota Tedon yang banyak dibicarakan ini. Impresi yang kudapatkan adalah panas dan seksi. Wanita disini seperti enggan mengenakan pakaian. Hanya menutup atas dada hingga tengah paha, pundak mereka dipertontonkan. Dan itu bukan cuma sepuluh-duapuluh orang, disini seperti konser. Aku mampu melihat lebih luas pemandangan manusia ini, karena badanku agak lebih tinggi dibanding orang-orang.

"Kami ingin meminta maaf, Pak," tiba-tiba pemuda tadi kembali kepadaku dari luar sudut pandangku.

"Tak usah kalian pikirkan," ujarku dengan singkat.

"Akmil Akriparta? Rasanya jarang melihatmu," aku sering berhadapan dengan junior, tapi rasanya asing melihat pemuda ini.

Yang meminta maaf tadi adalah pemuda dikananku. Badannya tinggi, dia memang terlahir untuk menjadi tentara. Yang satunya pendek, mungkin musisi. Karena dia membawa tas gitar dengan beberapa stik drum mencuat. Yang berbadan tinggi berkata, "Nama saya Saqil pak, ini teman saya, Adam."

"Saya 2 tahun dibawah pimpinan Mayjen Heri. Itu mungkin kenapa Bapak jarang melihat saya."

Si musisi itu cenderung diam, tak terlalu banyak berbicara. Bukan maksudku untuk memojokkan dia dengan topik yang secara khusus untuk tentara. Jika saja aku punya jiwa seni, maka aku akan dengan mudah menanyakan kunci atau tempo sebuah lagu. Atau mungkin, dia yang pasif, bukankah dia juga sebaiknya ikut berbicara—paling tidak tertawa atau tanyakan sesuatu tentang luka di tanganku.

"Jon Mahersa. Panggil saja Jon. Aku masih muda, jangan panggil aku pak," aku tersenyum. Jabatan tangan si pasif itu ternyata kuat. Tidak sopan sekali menyebutnya 'si pasif, si pendiam, atau si musisi'. Adam nama pemuda itu, tolong maafkan aku.

Dua atau tiga topik pembicaraan berlalu. Hari semakin panas, dan bodohnya, kita bercakap di bawah matahari. Saqil dan Adam akan ke pantai Kenari—katanya, Ayah Saqil berbisnis disana. Oleh karena itu, kita harus berpisah.

Aku tidak membawa banyak uang. Dan kalian tau lah, di kota—jika sopir taksi atau ojek mendengar logat yang asing, otomatis semua harganya menjadi 10 ribu lebih mahal. Itu terbukti saat aku dan sopir taksi secara bergantian menyuarakan harga yang pas. Dia ingin 120 ribu untuk menuju ke tujuanku. Aku tidak tahu seberapa jauh atau dekat tempat itu, jadi agak sulit bagiku untuk menawar. Lagipula punggungku sudah mulai kaku dan mataku sudah mendayu-dayu sejak 1 jam yang lalu, jadi yang kupikirkan hanyalah kasur, rokok dan kopi. Aku tak ingin menunda-nunda, jadi langsung saja kuambil taksi yang kutawar itu.

Gadis Pengadu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang