Bab09 || Embun di Rongga Kayu

21 4 0
                                    

Aku kembali ke rumah Edgar. Perjalanan dari lapas ke kompleks pahing tidaklah dekat. Dari lapas jam setengah satu-an, sekarang sudah hampir jam 5. Matahari setengah tenggelam, tapi sinar oranye masih menyorot rumah melalui ruang-ruang antar dedaunan. Udara mulai sejuk dan suara jeritan anak-anak yang bermain di jalanan sudah marak riang.

Aku harus berhenti jalan untuk sejenak di teras rumah. Aku harus menerima telepon dari Nadia. Hembusan nafas adalah salam pembukanya, tak ada salam atau sapaan. Terdengar suaranya lirih, seperti orang yang mencoba untuk berbicara saat menggigit giginya. "Jon, sebentar lagi aku pulang kerja. Makan bareng, mau? Di dekat kantorku ada rumah makan enak," ujarnya. Ku-iyakan tawaran Nadia. Lagipula aku juga akan pulang, sekalian maksutku. Hanya perlu sedikit laporan untuk Edgar.

Rumah ini sudah mulai sepi orang, masih 2 bapak-bapak di ruang tengah, mereka sedang merapikan tali rafia yang berserakan di lantai. Aku lewati mereka dengan sopan untuk menaiki tangga ke kantor Edgar.

Edgar sedang duduk di balkoni, memakan makroni di toples. Dia memakai celana kain panjang dan kaos singlet putih. Dia menikmati senja sendirian sambil melihat burung yang bersinggah di kabel listrik jalanan. Kuketok pintu balkoni untuk mendapatkan perhatiannya. Dia melihatku sumringah, rambutnya tersibak karena tertiup angin.

"Aku akan langsung, pak," ujarku sambil menarik kursi kayu. "Luca dalam kondisi yang buruk. Dia butuh bantuanmu. Dan aku tahu tentang putranya, dan ialah alasan Luca mengadu. Kau pasti tahu itu?"

"Terima kasih sudah melakukan ini untukku, Jon. Aku akan mengusahakan apapun yang bisa kuusahakan untuk membantu Luca mendapatkan hidupnya kembali," ujar Edgar dengan lembut. Dia memandang langit dengan kosong, matanya menyempit dan membuka perlahan beberapa kali. Tangan keriputnya menahan pipi dan rahangnya agar tak jatuh. Edgar terlihat begitu putus asa, dia terus-terusan batuk untuk melegakan tenggorokannya.

"Aku harus pergi sekarang, pak," ujarku memutus keheningan. Edgar langsung melihatku dengan kaget. "Sekarang? Sebaiknya kau makan malam bersamaku," tawarnya.

"Kau seharusnya menawariku lebih awal. Ada gadis yang sudah menawariku makan malam terlebih dahulu. Siapa cepat, dia dapat," ujarku.

Edgar menatapku tajam sambil menganggukan pelan kepalanya. Dia mengulurkan tangannya, untuk memberiku jabatan. "Jadi, kau selain pintar kerja, juga pintar main wanita ya Jon..."

Aku tertawa sebelum pergi meninggalkan balkoni. Edgar melolong namaku, lalu melemparkan kunci mobil. "Pakai mobilku saja. Itu yang hitam di bawah. Kau harus membuat wanita itu bahagia." Aku langsung girang. Karena mobil ini mewah sekali.

Kubawa mobil ini ke tempat makan. Tak terlalu jauh, memberiku sedikit waktu untuk menikmati betapa indahnya interior mobil ini. Pemutar musik dan persnelingnya dari kayu yang serat-seratnya mencolok dan mengkilap. Jok lembut sekali dan terasa tebal. Entah apa parfum mobil ini, baunya seperti kayu berongga yang mengembun di pagi hari.

Tak lama setelah fokusku tercampur antara jalanan dan indahnya mobil ini, akhirnya aku tiba di lokasi. Aku menunggu kabar dari Nadia. Aku bersanggah di depan bank, di seberang gedung yang sangat tinggi. Tempat makannya ternyata ada di jalan kecil tepat di depanku. Aku masuk ke jalanan itu, banyak sekali warung dan gerobak makanan. Aku lihat ke kanan dan ke kiri, sampai akhirnya kutemukan tempatnya.

Nadia menunggu di meja untuk berdua. Dia menyandarkan kepala di telapak tangannya. Bibirnya di tempelkan ke sedotan dan dengan perlahan menyedot es teh. "Sudah pesan makanan?" tanyaku membuat Nadia kaget. Nadia hanya menggelengkan kepala.

Aku tak perlu menanyai makanan apa yang Nadia inginkan karena ini rumah makan ayam bakar madu. Kupesan 2 porsi untuk kita berdua, lalu aku kembali ke meja. Nadia melirikku begitu aku datang dan menarik kursi. "Kenapa lama, Jon?"

"Aku juga kerja, Nad," jelasku. Nadia masih saja melirikku dengan tajam. Dia menurunkan pandangannya ke tanganku. "Kau bekerja sampai tanganmu berdarah?" tanya Nadia. Aku baru sadar kalau bercak darah Luca masih membekas di punggung tanganku.

"Mungkin aku terlalu bersemangat," jelasku.

Nadia menegakkan duduknya, lalu mengambil beberapa tisu yang sudah dibasahi. Dia mengelap tanganku hingga bercaknya hilang. Senyum mulai tercetak di wajahnya. Tak terasa makanan sudah datang. 

Gadis Pengadu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang