Bab09 || Air Minum Siapa?

13 5 0
                                    

Nadia mengusap punggung tanganku dengan lembut, matanya melihat-lihat seluruh restoran. Bibirnya ia gigit saat melihat orang lain melumat habis santapan mereka. Tangannya yang terasa lemah, tak ingin lepas dari tangan kasarku. Nadia berkedip dengan lunglai, pundaknya dijatuhkan di lengan kursi.

"Itu, makanan sudah sampai," cetusku bercanda. Aku berpura-pura menunjuk sisi belakang Nadia. Nadia langsung memalingkan wajah, dengan begitu cepat mencoba mencari pelayan yang membawa makanan pesanan kita. Kutahan bibirku agar tawaku tak tumpah, rahang kukencangkan membuat tulangnya menonjol. Mukanya di arahkan kepadaku tapi matanya masih beberapa kali mengelilingi ruangan. "Ha? Mana sih, Jon?"

"Makanan meja sebelah, bukan meja kita—"

Nadia mencengkram erat jariku. Kukunya menusuk kulit tanganku, dari bawah kakinya menginjak kakiku. Wajah cantiknya tak pudar walaupun sayu dan lelah. Dia memberiku pandangan yang malas, tapi tetap menarik dan sedikit menantang. Ujung bibirnya turun, alisnya hampir menimpa kelopak matanya yang berkantung. Nadia menggoyangkan kepalanya sambil perlahan memalsukan senyumnya.

"Untung, makanannya sudah sampai," ucapnya sambil melirik ke sisi kiriku. Ada pemuda menadahi dua piring dan gadis lainnya membawa sisa piringnya. Nadia meninggalkan garis dan titik merah di tanganku. Dia membasuh tangannya lalu dengan cepat meluapkan laparnya.

Nadia tak peduli dengan orang di sekitarnya. Wajahnya penuh dengan makanan, tak peduli jika wajahnya terpampang buruk. Saat ini tak ada apapun yang bisa memalingkan wajahnya dari piring. Gerakan tangannya yang begitu gesit membuatku terpaku di kursi. Aku lapar, tapi tak selapar Nadia. Gerakan mulutku lebih lambat, kunikmati sambil mendengar lagu cinta yang mendayu-dayu.

Tak lama lagunya berganti ke lagu yang berdentum lebih mantap, seperti lagu disco jaman dulu. Tukang masaknya yang sedang menganggur, menikmati lagu dengan menari di atas tikar. Beberapa pembeli lainnya mengangguk-anggukan kepala dengan santai. Rasa santai itu sedikit hilang begitu Nadia menjulurkan sedotannya ke gelasku. Dia hampir saja menghabisi es tehku.

Dia menahan tawa dengan air teh di mulutnya. Matanya memandangku dengan ceria. Kuberikan wajah yang paling datar kepadaku wanita di depanku ini. Aku kan juga butuh minuman, apalagi sekarang saat makananku sudah habis. Pikiranku tambah bercampur karena aku melihat botol air mineral di tasnya. Kalau penglihatanku tak salah, airnya masih lumayan banyak. Kucomot botol itu, seketika matanya mengikuti gerakanku yang secepat kilat.

Bibir Nadia mengerut. Dia melihatku dengan seribu kemarahan. Kuteguk habis air minumnya. Nadia meletakkan tangannya yang bersedekap di atas meja, "ya, terus," celetuknya. Sama sekali tak kuhiraukan, lanjut saja kuteguk habis. Bahkan, aku berjalan menuju kasir sambil meneguk air milik Nadia. Kubayar lalu aku kembali ke meja untuk mengembalikan botolnya.

Nadia menyeret botol itu di atas meja hingga masuk ke tas. Kuulurkan tanganku untuk mengangkatnya dari kursi. Dia genggam tanganku dengan erat, dan tetap tanpa senyum. Kita berjalan keluar menuju mobil. Duduk sudah nyaman, leherku sudah disejukkan AC, dan telingaku menari menyambut musik yang lebih familiar. Nadia menampar suasana tentram ini dengan tiba-tiba keluar dari mobil. Tak sempat ku bertanya dia sudah berada di seberang jalan. Aku melangkah keluar mobil mencoba mengejarnya, tapi jalanan begitu padat.

Begitu jalan terbuka bagitu untuk menyeberang, Nadia malah menyeberang kembali ke mobilku. Dia cengengesan melihatku, "takut banget aku tinggalin?" ejek Nadia sambil membuka gagang pintu mobil. "Aku cuma beli air minum," lanjutnya. Kuusap keringat di keningku, sambil menutupi rasa maluku.

Sudah setengah malam, jadi jalanan cukup longgar. Pepohonan tak perlu susah payah membersihkan asap mobil. Tak ada orang yang membanting klakson karena tak sabar. Sedikit lebih sejuk dan senyap, menambah rasa merinding begitu lagu blues berputar. Nadia mengayunkan rambutnya di sandaran kepala jok mobil. Perjalanan kunikmati dan tak terlalu memantau cepat atau lambatnya mobil ini. Tak terasa, apartemen Nadia sudah terlihat dari tikungan jalan.

Kuberhentikan mobil di bibir jalanan, lalu kubangunkan Nadia. Dia terdiam sepanjang perjalanan, dan sekarang masih terdiam, sulit dibangunkan. Kugoyang-goyangkan lengannya mencoba menyadarkan Nadia. Dia mengedipkan matanya berkali-kali, bulu matanya mengombak-ombak dengan seksi. "Jon, antar aku keatas—ngantuk...," ujarnya.

Nadia keluar sempoyongan, matanya sudah mulai melebar. Dia berjalan sambil merapikan rambutnya, pundaknya di sandarkan di lenganku. Kutahan lengannya dengan erat, jangan sampai wanita ini jatuh. Seluruh apartemen sudah sunyi, beberapa lampu sudah di matikan. Kita menaiki tangga satu persatu dengan begitu lambat karena Nadia masih saja sempoyongan. Sampai akhirnya kita tiba di kamarnya.

Nadia masuk lalu melepas jaket dan meletekan tasnya di meja tv. Dia langsung menuju ke kamar mandi. Aku merasa bingung mengapa aku disini dan tak langsung pulang. Aku lihat-lihat lukisan di atas meja rias. Fokusku langsung teralihkan ke laci meja yang setengah membuka, dan aku melihat kantung berisi pilku yang hilang beberapa hari yang lalu.

"Jon, itu bajumu yang dulu basah ada di depan lemari depan kamar mandi," kata Nadia dari seberang ruangan. Aku langsung ke sana dan mengabaikan pilku. Jika kuambil, maka Nadia akan tahu kalau pilnya hilang dan aku yang mengambilnya. Saat kuambil kaosku, Nadia bisa kulihat sedang bercermin di kamar mandi. Bercelana pendek dan berkaos tanpa lengan. Nadia sedang menyisiri rambut ikalnya yang dibiarkan tanpa dia ikat. Nadia terdengar mengeluh, "Jon, pasti kau jijik melihat rambutku yang seperti semak belukar ini,"

Kudekati Nadia dari belakang, dia melihatku dari cermin. Kusingkap rambutnya ke sisi kiri agar lehernya terpampang. "Kayaknya lebih mirip brokoli, Nad—" ujarku sebelum Nadia dengan cepat menampar pahaku dari samping. Kulingkarkan tanganku di pinggang kecilnya. Kudekatkan wajahku ke leher Nadia, "aku gak suka brokoli, tapi—"

Nadia memotongku. Dia membalikkan badan, lalu menjinjit di ujung kakinya mencoba meraih wajahku. Aku juga jinjit, mencoba menghindari dia. Nadia yang sudah senang jadi cemberut. Kuangkat Nadia di pinggangnya, lalu kududukkan dia di atas tegel wastafel. "Sekarang kau bisa menciumku," candaku.

Kubelai kedua pipinya dengan kedua tanganku. Matanya bulat mengkilap memandang mataku. Nafas Nadia memberat, rasanya aku bisa mendengar detak jantungnya. Kudekatkan bibirku ke pinggiran bibirnya, dengan perlahan kubawa bibirku ke tengah. Bisa kurasakan nafas lambat Nadia yang begitu hangat. Tangan Nadia mencengkeram rahangku dengan kuat, matanya tertutup dengan nyaman.

Aku turun ke lehernya, Nadia sekarang mencengkeram rambutku. Kulepaskan pakaian yang melekat di tubuhku, kutarik tali pelan yang menggantung di pundak Nadia. Kuangkat Nadia dan kubawa dia ke bawah shower. Rintikan air perlahan menghantam kulit dan rambut kita berdua, mengalir terus hingga ke ujung kaki. Kita saling menghangatkan satu sama lain. Nadia mengelus-elus, lalu mengecup dadaku. Badan kita sudah basah semua, kututup tirai shower, lalu...

Gadis Pengadu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang