Bab05 || Cerita Mila

17 4 0
                                    

Aku tahu, Nadia melihatku dicium Mila. Semoga dia tak menyimpan apapun di hatinya. Kalau ada yang perlu di katakan, maka katakan. Unek-unek yang kau simpan di hati akan menggerogoti mu dari dalam. Penyakit dalam jauh lebih berbahaya dari penyakit luar.

"Pulang, Jon?" tanya suara di belakangku.

Kubalikkan badan. Melihat rambut lurus sebahu milik Mila. Dia belum pulang ternyata. Pikirku dia langsung pulang setelah mengecupku. "Ya, ingin kuantar? Atau kau bawa mobil sendiri?" jawabku.

"Antar, Jonnn. Aku tak punya mobil, yang bos itu Ayahku bukan aku," ucapnya dengan kepala miring-miring. "Tapi aku lapar, Jon. Udah hampir malam juga. Mending sekalian makan malam, Jon."

"Kau menawariku? Berarti kau yang bayar?" godaku singkat.

Dia melihatku dengan dahinya mengerut. Alisnya turun, membuat mata kecilnya menajam. "Ingat ya, kau yang habis bayaran."

"Ya sudah. Ayo naik. Aku tahu tempat makan enak."

Mila melangkahkan kakinya satu-persatu. Celananya yang pendek tak bisa menyembunyikan paha dan dengkulnya. Kutelan sendiri ludahku saat melihat pemandangan itu dari kursi supir. Mila membantingkan punggung ke empuknya jok kulit ini. Dia mendesau panjang sambil memejamkan mata begitu duduknya nyaman. Lalu kembali seperti biasanya. Mengucapkan kata-kata manis ke telingaku, semakin lama semakin nyaman dia. Duduknya condong ke arahku, kakinya dinaikan ke kursi. Bau parfum di lehernya lebih kuat begitu wajahnya didekatkan kepadaku.

Langit sangatlah oren. Senja sangatlah indah kali ini. Awan terukir bak seni kayu, tapi lebih sempurna. Perlahan bulan mulai menunjukkan ujung kepala. Hangatnya memberiku ketenangan. Sama halnya dengan Mila. Bulan mampu membuat girasnya gadis ini lumer. Dia meleleh di jok kursi, matanya perlahan jatuh dan bangkit lagi. Lampu jalan yang bergantian menyorot mobil ini membangunkan kantuk kita. Lubang di jalan yang tak terlihat juga terus-menerus membangunkan kita. Memang mending seperti itu. Aku tak ingin tertidur, lalu oleng dan menabrak.

Rasanya waktu sudah ditentukan. Perutku bergejolak, gemuruhnya begitu lantang. Rumah makan sudah di depan mata. Sambalnya terasa sudah di ujung lidah dan bau kemangi sudah terendus. Kupesan pecel lele untuk kita berdua. Bapak penjualnya mengiyakan dengan murung. Memang seperti itu mukanya, apalagi di tambah dengan kumis lebatnya. Kuperhatikan, hanya ada 2 meja tersisa, yang di samping kolam ikan terlihat paling pas. Aku duduk di hadapan Mila yang sedang menjaili koi-koi di kolam dengan jarinya. Tak kuhiraukan kelakuannya karena dengan cepat pesanan kita sudah tiba.

Pulukan pertama tak terhindarkan. Rasanya lega, lega di mulut, perut, dan kepalaku. Aku tak santai, tapi Mila lebih tak santai lagi. Pipi kanannya membesar seperti hamster. Semua pulukannya di simpan di sana. Jadi saat dia mengucapkan sesuatu, sama sekali tak kudengar maksudnya. Mila menelan dengan perlahan sambil diselingi es teh.

"Pakaian mini, kalung, gelang, bandana, dan sneaker. Jujur, gayamu menarik dan berani..." ucapku sambil mengunyah sisa makanan.

"Kenapa? Kelihatan kayak pelacur, ya Jon?" tanya Mila tanpa kontak mata kepadaku.

"Kau yang bilang. Kalau menurutku, kau tidak terlihat seperti pelacur," jelasku. "Kau terlihat seperti anak bos. Dan itu benar," lanjutku.

Sudut bibir Mila naik. Dia mendorong ke atas bandananya agar rambutnya tak turun. "Aku bukan anak kandung Edgar. Aku anak angkatnya. Orang tua kandungku—entahlah. Lupakan saja," ujarnya dengan malas.

Tenggorokan Mila menelan perlahan, pandangannya kosong. Matanya menyorot piring nasi tanpa arti, jarinya diputar-putarkan di piring. "Edgar adalah ayah yang baik untukku."

Ujung bibirku turun, menanggapi ucapannya. Perlahan aku menganggukan kepala. Mencoba berkontak mata dengan Mila, tapi dia menghindar. "Bagaimana kau bisa kenal dengan Edgar?"

"Edgar adalah seorang kriminal. Aku adalah seorang kriminal. Aku bekerja untuknya sejak kecil, bahkan, aku sampai menjadi sahabat putranya," jelas Mila.

"Dulu aku hanya membantunya untuk menghitung truk yang masuk ke gudang. Semakin lama, pengetahuanku tentang bisnis Edgar semakin dalam. Begitu usiaku 17 atau 18 tahun, aku sudah mulai menentukan nasibku. Yaitu, untuk menjual sisa alkohol di gudang, yang pada awalnya di luar pengetahuan Edgar."

"Tak lama, Edgar mengetahui kelakuanku di belakangnya. Edgar marah, ingin aku menjadi gadis yang benar. Saat itu aku masih muda, emosiku masih tak stabil. Pada saat itu aku bilang 'kenapa ayah bisa jadi penjahat, tapi Mila harus jadi anak baik?"

"Awalnya reaksi Edgar adalah marah. Tapi mereda dengan singkat. Dia paham cara berpikirku, karena dia dulu mengalaminya sebagai pemuda. Mulai saat itu, aku menjadi salah satu pekerjanya. Aku membantu pengelolaan bisnis anggur dan wiski Edgar."

Tak terasa makanan sudah ludes. Gelas minuman tinggal es yang setengah meleleh. Dudukku sudah di ujung kursi. Telingaku tak sekalipun lengah saat mendengar cerita Mila. Mungkin aku berasumsi terlalu awal tentang Mila. Dia bukanlah gadis yang gila, dia hanya gadis yang punya cerita. 

Gadis Pengadu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang