Bab05 || Keroncong tapi Sunyi

17 4 0
                                    

Nadia memilih untuk duduk di meja bawah AC. Tiupan angin menggoyangkan kerah kemeja Nadia. Ujung rambutnya melambai-lambai seperti pohon kelapa di pantai. Dia menarik laptop dari tasnya. Diletakkan dekat dengannya agar mudah dijangkau. Dia menangkap mataku yang sedang meliriknya. Nadia mengisyaratkan kepadaku untuk maju antrian. Kupesan 2 gelas caramel macchiatto, dan dengan cepat pesananku sudah jadi. Kubawa ke meja, lalu aku duduk di samping Nadia.

"Lihat ini," Nadia menunjuk foto di laptopnya. "Kalau aku ganti rambut seperti ini, menurutmu bagaimana?"

Rambut gadis di foto itu lurus dan panjang. Sedangkan poni-nya cukup panjang sampai atas alis. Jujur, aku suka rambut Nadia yang sekarang walau hanya dikuncir. Aku bahkan tak tahu seperti apa rambut Nadia kalau tak dikuncir. Dia menarik-narik rambutnya dengan centil, sepertinya dia mencoba meluruskan rambutnya agar persis dengan model di foto. Tanganku menjadi geli melihatnya, jadi ku ambil helai rambutnya. Kutarik-tarik lalu kuputar-putar, mengikuti gerakannya. Dia menoleh kepadaku, senyumnya aneh dan canggung. Alis dan bibirnya datar menunggu jawabanku.

"Kalo aku sih no. Lihat yang ini, mungkin lebih pantas," jariku menunjuk foto gaya rambut pendek yang berdiri seperti landak.

"Lucu?" singkatnya.

"Kau tak perlu ganti gaya rambut. Aku suka rambut indomie keriting-mu, Nad," balasku sembari bermain-main dengan rambutnya. Nadia menyentil tanganku secepatnya. Sekarang wajahnya cemberut.

Brrbb...hpku bergetar. Pesan baru muncul di layar kunci, dikirim dari nomor yang tak kusimpan. Tak langsung kubuka pesannya, kucermati foto profilnya. Gambarnya adalah seorang wanita membelakangi kamera dengan botol kaca di tangannya. Kubuka pesannya yang berisi.

Ini Mila,

Jon, masih di Panti? Nanti aku kesana, Edgar ingin tahu bagaimana berkembangannya. Sampai ketemu nanti. Luv u...

Oh, dia—pikirku. Semoga Mila tak bersikap aneh lagi. Bukan bermaksud menghina, tapi aku tak yakin dengan Mila. Ayahnya memang sangat luar biasa dalam berbisnis, tapi sepertinya istilah 'buah jatuh tak jauh dari pohonnya' sama sekali tak mendukung kasus yang satu ini. Perlu dipertimbangkan juga bahwa aku belum sepenuhnya mengenal dia. Siapa tahu dia lebih baik dari Ayahnya, mungkin saja seorang jenius, tapi firasatku sebaliknya.

Mila dan Nadia jangan sampai bertemu. Mila akan mengadu ke Roeli dan Edgar kalau dia melihatku bersama Nadia. Rasanya aku halusinasi, kubayangkan segala strategi di kepalaku. Bagaimana cara terbaik untuk bertemu dengan Mila tanpa meninggalkan Nadia? Entah—jawabku di hati. Orang-orang mulai melihatku dengan ujung mata mereka. Mengamati apakah ada yang salah dengan diriku. Nadia juga termasuk dalam orang-orang itu, dia diam tanpa suara tapi matanya serasa bertanya-tanya. Alisnya menajam, pelipisnya mengencang. "Jon?" tanya Nadia diikuti dengan tangan lembutnya diatas dengkulku.

Hah? Dengusku lirih. "Iya Nad?" Singkatku masih dengan wajah datar.

Nadia mengangkat gelas kopiku, diputar lalu digoyangkan perlahan. Sesekali melirik ke arahku, "kau diracun, Jon?" lantunnya penuh tanya.

"Tenang lah, Nad. Cuma pekerjaan. Tiba-tiba muncul di pikiran," jelasku.

Nadia meringankan nafasnya. Suara udaranya menenangkan. "Kalau boleh tahu, apa pekerjaanmu?" tanyanya. Oh mati aku! Batinku. Nadia juga terlihat serius, rasanya dia tak ingin melepaskanku dari topik yang satu ini. Pastinya, aku tak akan duduk di sampingnya, dan perlahan menceritakan kalau aku adalah seorang pengedar, obat-obatan. Dia akan meninggalkanku selamanya. Aku belum siap. Jadi ini karanganku.

"Aku pengurus properti dan alat di lapangan tembak Wirama."

Entah tak paham atau bagaimana, Nadia terlihat membeku. Mulutnya masih sedikit membuka. "Ya itu lah. Aku paham," jelasnya.

Dia sepertinya tak tahu dan tak paham tentang pekerjaanku. Jadi, bukannya melanjutkan percakapan dengan pertanyaan beruntun, melainkan dia malah kembali ke laptop, kembali ke rambut-rambut. Tapi sekarang rambut cowok. Aku merasa agak kaget melihat penulusurannya, tapi kaget itu tak sampai mendorongku untuk mengatakan sesuatu. Nadia sepertinya mencari rambut yang menyerupai milikku. Terlihat dengan jelas, semua foto yang dia klik adalah foto pria dengan rambut cepak, bagian atasnya rapi tak lebih panjang dari setengah jari kelingkingnya.

"Kau mungkin bisa ganti gaya, Jon. Mungkin gondrong seperti Jimi Hendrix atau klimis seperti Elvis. Kau kan sudah bukan tentara lagi, ayolah coba-coba gaya baru...," ucapnya cengengesan.

"Aku akan ganti gaya seperti Jimi, kalau kau berani botak," ujarku dengan tatapan tajam. Bibir dan pipi Nadia sekejap jatuh. Dia menyenggolkan lengannya ke lenganku dengan tegas. "Gak jelas kamu, Jon," ujarnya mencoba menepis tawaranku.

Wajah cemberutnya membuatku melupakan hal penting, yaitu mencegah Mila dan Nadia untuk bertemu. Nadia teralihkan lagi, tenggelam di laptopnya. Kita sudah cukup lama di sini, bau kuat kopi sudah menjadi bau tubuh. Dinginnya ruangan sudah menjamah tulang. Hangatnya hpku lumayan memberi telapak tanganku ketenangan. Kuketikkan,

Aku sudah tidak di panti, nanti saja aku ke kela—notifikasi baru masuk. Siapa lagi kalau tidak Mila. Tekanan darahku terasa memuncak. Membuat detak jantung lebih cepat. Pada dasarnya Mila bilang bahwa dia sudah di Panti dan dia melihat mobilku di parkiran. Dia mengakhiri pesan dengan pertanyaan 'kau di mana, Jon?'

Belum sempat membalas, Nadia mendorong kakiku, mencoba untuk lewat. Dia bergerak terburu-buru, "geser, Jon—toilet mana toilet?" Kutunjuk sisi kanan kasir. Dia langsung berjalan zig-zag diantara meja dengan cepat.

Aku langsung membatin, terima kasih Tuhan. Kutelepon Mila untuk memberi tahu bahwa aku bisa menemuinya di depan Starbucks. Tak lama dapat kukenali wajah Mila dari seberang jalan. Dia melambaikan tangan tinggi, membuat bajunya terangkat sehingga bagian bawah perutnya sedikit terlihat. Dia menyeberang setengah berlari menjinjit. Sampainya di hadapanku dia hanya menanyakan, "gimana?"

"Biasanya 2,5 juta, sekarang 3,2. Belum 2 kali lipat, tapi sudah naik."

"Jon, mau 2 kali lipat, 10 kali lipat, atau 1000 kali lipat, itu bukan urusanku. Yang penting 10 persen ke bos," tegas Mila.

"Iya deh," ujarku. Kutarik resleting tas kecil, meraih uangnya. Kuhitung dengan jari tanpa mengeluarkan uang itu. Kuberikan bagiannya. Sekarang bibirnya ramah. Senyumnya naik tinggi sampai ke pipi. "Terima kasih, Jon-ku," ucapnya centil. Sebelum pergi, dia berdiri dengan ujung kakinya, mendorong kepalanya, memberiku kecupan di pipi. Lalu langsung cabut menyeberang jalan yang kebetulan sepi.

Yap, masih gila. Kulupakan dengan cepat dan kembali ke meja. Nadia memandangku dalam-dalam dari kursinya, walaupun matanya kepadaku, tangannya sibuk merapikan laptop. Kudekati dia, dan menanyakan mau kemana dia. Jawabannya hanyalah, 'Capek.'

Pengen pulang karena betisnya pegal—katanya.

Dia tak ingin menjelaskan sedikit lebih banyak kepadaku. Bibirnya merapat, rahangnya terlihat kencang. Aku tak yakin dengan apa yang terjadi jadi kutanya lagi, "kamu gak kenapa-kenapa, kan Nad?"

"Iya, cuman capek. Kita sudah di sini berjam-jam. Sudah mulai kangen kasur, Jon," jelasnya.

"Oke," ucapku dengan nada rendah. "Sini kubawakan tasmu, kan capek katanya," kuraih tasnya, dan cengkeram dengan tangan kiriku, takut jatuh karena ada laptopnya.

"Iyaaa," ucap Nadia dengan malas.

Jalanan sudah ramai oleh pekerja dan pelajar yang akan pulang. Kumpulan bocah dengan seragam sma berkumpul. Bau kampas rem kendaraan berat menusuk hidungku. Tak ada yang sabar menunggu lampu bangjo. Nyanyian penghibur jalanan yang menyanyikan lagu kerongcong terasa sunyi, karena klakson terus di hantam oleh supir-supir.

Nadia tutup mulut pada setiap langkah di jalan. Tak senyum, tak cemberut. Tak ada lirikan yang biasa kudapati. Jalannya lebih cepat dari biasanya, membuatku harus menyesuaikan. Saat sudah tiba di depan mobil, dia masuk dan memberiku sedikit senyum.

Gadis Pengadu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang