Bab04 || Siapa yang Gila?

29 5 0
                                    

Hari ini, akan menjadi hari yang indah. Hari bayaran tepatnya, pasokan pil minggu kedua akan kuambil nanti. Minggu pertamaku cukup memuaskan. Pendapatan sesuai target, bahkan sedikit lebih untuk membeli baju dan sepatu. Tapi kepalaku ini bisa saja merusak hari ini, terasa mencengkram dan berputar. Mungkin karena semalam sangatlah liar. Semalam, aku bersantai di kelab milik Roeli dan untuk merayakan minggu pertama yang sukses, aku minum dengan sembrono. Aku bahkan tak banyak ingat apa yang terjadi, yang kutahu adalah sekarang aku bangun di hotel dengan gadis di sampingku. Dia masih tertidur membelakangiku, selimutnya menutupi tubuh dan lehernya, jadi agak sulit bagiku untuk mengenal dia.

Aku hanya tertidur dengan celana kolor tanpa kaos. Kuambil kaos yang tersampirkan di headboard kasur. Omong-omong aku tak ingat memberikan KTP atau SIM ku kepada CS hotel, dan saat ku cek dompet, surat-suratku masih lengkap. Sepertinya aku bukanlah orang yang menyewa hotel mewah ini. Semoga saja bukan aku yang membayar, karena aku tak ingin membuang uangku sekarang.

Kupakai kaos hitam ber-graffiti milikku. Wajahku masih kusut, jadi inisiatif berikutku adalah ke kamar mandi untuk mengguyur muka dan menggosok gigiku. Sebenarnya malas menggosok gigi dengan sikat dan pasta gigi hotel, kau tau lah seperti apa rasanya. Apalagi gusi-ku yang sensitif, bisa-bisa berdarah.

Di kamar mandi, kubilas berkali-kali wajahku. Kubuka penutup sikat gigi dan langsung kuoles dengan pasta gigi untuk kugunakan. Kugosok dengan hati-hati sambil melihat diriku sendiri di cermin. Bau anggur merah masih menyengat saja di tubuhku. Setelah mulutku bersih, aku kumur-kumur lalu mengambil handuk kecil untuk melap wajahku.

Saat aku kembali ke kamar, gadis tadi sudah duduk di ujung kasur mengkuncir rambut lurusnya. Tubuh gadis ini ternyata kecil, maksudku pendek dan kurus. Dia melirikku menganggukan kepala, tanpa senyum.

Hah? pikirku, ini menarik. Dia seperti tak mengenalku, aku pun juga sama sebaliknya. Dan ya, ini terasa canggung. Rasanya semua suara berisiknya jalanan menjadi hening. Gadis ini lanjut saja merapikan tank top­-nya, sambil sesekali mengucek matanya. Harus kuperbaiki suasana canggung ini, kuambil jubah piyama-nya. Kutawarkan kepada gadis itu untuk menutupi badannya.

"Pasti tak ingat namaku?" tanya gadis itu.

Kumiringkan kepala dengan pandang mataku kualihkan ke arah selain wajahnya. "Uh..." ujarku. Gadis itu tiba-tiba beranjak tegak, menjatuhkan selimut di pahanya dan mencium pipiku.

"Kau membuatku jatuh cinta, Jon! Oh Jon-ku."

Dia pasti masih mabuk, pasti! Kalau dia tak mabuk, berarti dia adalah gadis yang gila. Aku hanya tertawa dengan aneh, 'eheheh,' suaranya. Dia masih saja tak melepas kontak mata kepadaku. Ini pasti salah satu gadis-nya Roeli, atau orang-orang menyebut mereka pelacur. Pikiranku tentang siapa gadis ini cepat pudar. Aku mengalihkan pandangan ke tas kecilku yang menyandar di meja kecil. Kuambil setelah melihat-lihat isinya yang masih lengkap. Sekarang, yang kupikirkan hanyalah pergi dari sini. Meninggalkan orang gila ini.

"Mmm..Ingin kuantar pulang?" tanyaku masih merasa aneh.

Dia menganggukkan kepalanya dan langsung berpakaian serta berkemas. Gadis itu mengenakan celana longgar yang menggantung di mata kaki dan kaos di dalam jaket jeans. Jalannya anggun di samping berdekatan denganku. Dia ingin dipulangkan di kelab saja katanya. Itu juga tujuanku, jadi kita tak perlu berputar-putar.

Aku hanya diam agak terkantuk, walaupun aku sedang menyetir. Tidur yang buruk semalam, rasanya bahu dan lenganku sangat pegal. Semoga saja suasana hatiku yang sedang bercampur ini tak mempengaruhi apapun. Kuregangkan tanganku berkali-kali dengan sedikit paksaan, terkadang kuputar leherku hingga berbunyi krek. Si gadis gila ini sekarang melihatku aneh, dengan matanya menyipit. Dia tak mau lepas dari hpnya dari tadi. Tapi matanya selalu sadar ketika ada motor mendahului kita atau burung yang tiba-tiba hinggap di kap mobil. Duduknya selalu tak nyaman, memindahkan pantatnya terus-menerus.

Aku tak peduli. Mungkin itu adalah sikap yang buruk. Bisa saja dia membutuhkan bantuan, tapi diriku sendiri juga butuh bantuan, terutama perutku. Untung di sepanjang perjalanan gadis ini selalu menaikkan volume musik di mobil, jadi suara perutku tak terdengar oleh siapapun. Beberapa lagu terputar, playlistku adalah yang terbaik. Lagu-lagu kuno nostalgia membuat bibir gadis itu sibuk, hingga tak terasa kita sampai di Kelab.

Gadis Pengadu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang