Bab04 || Pria Kompetitif dan Rasional

24 4 0
                                    

Kupukul pelan punggung pria tua penjaga warung jagal. Dia menggenggam pisau besar siap untuk mengayunkannya ke wajah cantikku. Ku lindungi wajahku dengan kedua tangan sambil meracau panik. Dia sadar kalau tadi kelakuanku, lalu menurunkan tangannya. Kutertawai pria jagal ini, dia malah menantangku dengan menaik turunkan pisaunya. "Kalau kau pikir orang tua sepertiku tak berani dengan keparat kecil sepertimu, kau salah!" Aku terdiam, menahan tawa. Tiba-tiba pria jagal tersenyum menyapa gadis yang kubawa, aku bengong bertanya-tanya untuk sesaat. "Siapa itu pak?" tanyaku. Dia terlihat terkejut dengan pertanyaanku, "lah, gimana?! Kau yang bawa dia kesini, malah nanya!"

Ini orang tua ini memang tak kenal kalem. Entah memang seperti itu atau dibuat-buat. Kugosok-gosok dahiku, bergeleng-geleng sambil melanjutkan langkahku ke dalam kelab. Ada Jess di belakang rak botol, wajahnya separuh gelap tertimbun bayangan. Lagipula lampu juga masih sedikit yang menyala, supaya tak membangunkan gadis yang bermalam disini. Ada 5 atau 6 gadis yang terkapar di beberapa sofa, masih berpakaian ketat seperangkat dengan make-upnya.

Dari seberang ruangan Jes menunjuk ke ruang rapat di belakang, katanya Roeli menungguku disana. Kuberikan jempol ke Jes saat aku berjalan ke ruang rapat. Ruang rapat seingatku berada di sebelah gudang, disembunyikan dari penduduk kelab. Tidak ada peminum yang ingin ke lorong redup ini, bau rembesan air dan suara decitan tikus. Aku juga tak ingin ke belakang sini, tapi pintu sudah di depanku. Kuketok santai hingga seseorang membukakan pintu. Ruangan ini seperti studio musik, dengan karpet pada lantai dan tembok. Juga ada 2 AC disini, jadi kalian tahu seperti apa rasanya di ruang kecil ini. Keringat yang terkena AC terasa menggelitik kulit dan dagingku.

Ada Roeli dan satu orang lainnya yang saling duduk bersebelahan, juga ada gadis gila yang seranjang denganku semalam. Si gadis itu berdiri menyandar di dinding, membelakangi teman Roeli. Teman Roeli itu itu terlihat masih prima walau aku dapat melihat tangannya yang kering keriput. Masih tegap dengan bahu yang lebar. Dia memakai sweater merah kotak-kotak dilengkapi dengan celana kain panjang. Dia menyapaku tanpa senyum, hanya anggukan kepala.

"Ini Edgar Mosci—pamanku. Juga sekaligus bosku."

Langsung kurendahkan tubuhku saat menjabat tangannya. Edgar berdiri memelukku dengan ringan, sambil menepuk atas punggungku. "Kau adalah pemuda yang cemerlang," katanya. Tak ingin pujiannya membuatku melayang, Edgar hanya kujawab dengan 'terima kasih.'

Edgar mendorong tangannya ke depan mempersilahkanku untuk duduk. Kuletakkan pantatku di kursi kantoran ini. Kusandarkan tanganku di atas gagang kursi dengan postur yang tegap dan lebar. Gestur ini membuat rasa dingin lebih mudah merambat ke lengan dan dadaku. Aku hanya memakai kaos lengan pendek, bahkan ototku tampak lemah melawan suhu ini. Sedangkan Roeli seperti dihangatkan oleh lemak di tubuhnya.

"Kau tidak bekerja untukku, Jon—kau bekerja bersama-ku," jelas Edgar. "Jadi aku tak akan memberimu tugas atau perintah, aku akan menawarkan sesuatu," lanjutnya.

"Akan kuusir semua pesaingmu di panti, dengan itu kau akan dapat 2 kali lipat dari pendapatanmu sekarang—Jon, kita adalah pria yang kompetitif. Jika kita bekerja sama, maka kita akan berada di peringkat teratas."

Kutelaah dengan lambat penawarannya. Sungguh berat sebelah penawaran ini, yang dia jelaskan hanyalah apa yang menguntungkanku. Tak ada sedikit penjelasan tentang sisi lain dari kerja sama ini.

"Terima kasih dengan tawaran luar biasamu, pak—kau betul tentang kita sebagai pria yang kompetitif, tapi aku juga pria yang rasional. Kau hanya menjelaskan keuntungan bagiku, lalu apa yang akan menguntungkanmu?" tanyaku.

"Ehehe, aku akan menyelesaikan bagianku, Jon. Aku akan mengusir semua pengedar obat di panti, kalau—ingat kata-kataku. Kalau hasilmu tetap, kau tidak perlu memberiku apa-apa. Tapi kalau naik, kau akan memberiku 10 persen dari pendapatanmu pada setiap minggunya."

Kuanggukkan kepalaku perlahan seperti sedang menikmati lagu. Aku jujur terkesan menyaksikan betapa beraninya Edgar dalam berbisnis. Dia berani membayar lunas barang yang belum pasti bisa dia dapatkan. Aku punya rasa hormat yang tinggi kepadanya, sungguh pria yang menarik.

"Aku tak ingin terlalu cepat menilai orang. Tapi kau adalah pria terhormat. Karena itu, aku akan berbisnis denganmu," kuulurkan telapakku dengan tegas. Dia menyambutku sumringah. Edgar menghela nafas panjang, lalu mendadak seperti teringat sesuatu yang hampir terlupakan, dia berpaling ke arah gadis gila tadi.

"Jika kau butuh sesuatu atau kau ingin setor uang, langsung saja ke Mila. Ini anakku," Edgar tersenyum hingga matanya menyempit.

"Mil—dia anak bapak?" tanyaku terbata. Kurasa aku mengucapkan itu dengan pelan, semoga Edgar tak mendengar. Tapi jelas Mila si gadis gila itu dengar, karena dia cekikan di belakang Edgar. "Baik. Semoga kerja sama kita membuahkan hasil, pak."

Edgar kembali mengistirahatkan kepalanya ke sandaran kursi. Dia merogoh bawah meja, sepertinya ada laci di sana. Dia ternyata mengambil cerutu coklat besar. Dia memegang cerutu itu dengan jempol dan telunjuknya. Dia menunjukku dengan cerutu yang sudah menyala, "Jika kau mencoba membohongiku dan mencoba menjadi pria rakus yang menjijikan. Aku akan tahu."

Roeli yang tadi hanya bersedekap, mulai menggeliat. Dia mengambil botol wiski yang sepertinya wiski skotlandia. Empat gelas ditata merata di atas meja, lalu dituangkan bergantian. Kita menghabiskan hawa sunyi dengan sedikit tayangan tv yang membosankan. Mila tunduk memandang lekat layar hpnya sambil jarinya terus scroll ke bawah. Beberapa kali melirikku cengar-cengir. Di sisi lain, Edgar duduk santai membalik-balik koran yang dia baca. Dan sepertinya hanya Roeli yang tak mengabaikan tv. Dia berhenti di saluran talkshow. Di mana mereka membicarakan orang-orang yang mencalonkan menjadi gubernur Tedon. Dua pria tua terus berdebat, hingga melupakan pembawa acara dan penonton yang juga punya hak untuk berbicara. Roeli menatap dan memperhatikan semua poin yang mereka utarakan. Roeli sepertinya mendukung seorang calon yang bernama Rozak. Setiap kali ada argumen yang mendukung Rozak, dia menganggukan kepala dengan gestur tangannya mengepal. Tiba-tiba Roeli memendekkan lehernya dengan wajah mengerut. Dia menunjuk ke arah penonton di tv.

"Lihat ini, om Ed. Ini adalah jalang yang terus menguntit kita. Dia sekarang di politik...hahah," ucapan Roeli membuat Edgar tertarik. Edgar memusatkan perhatiannya ke wanita yang Roeli tunjuk. Edgar sedikit tertawa tapi wajahnya tak kagum.

"Semoga dia tak berbicara tentang obat-obatan lagi, Rul. Ini adalah peluang bagi kita semua," ucap Edgar memandangku dan Roeli.

Kamera tv diarahkan ke wanita itu, bahkan di zoom jadi tv itu dipenuhi wajah wanita itu. Awalnya tak kukenal dari kejauhan, karena dia hanya di kursi penonton. Dari dekat, aku langsung bergerak tak nyaman, itu adalah Nadia.

Gadis Pengadu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang