Bab11 || Jangan Duduk!

11 4 0
                                    

Bisa kupastikan kalau Nadia sudah di apartemen, karena pintunya setengah terbuka. Agak gelap, bahkan lorong pintu Nadia terlihat terang karena lampu dari luar apartemen. Aku jujur sedikit gugup, bukan hanya ruangan yang gelap, tapi Nadia sepertinya akan memakanku hidup-hidup di dalam.

Kuketok pintu dengan berhati-hati. Tak ada jawaban, tak ada suara, selain parfum berkali-kali menampar penutup kipas angin. Angin dari balik pintu menghantam pelipisku, rasa merinding tetap tak terbendung walaupun cuaca agak panas. Kupanggil nama Nadia, yang aku yakin dia di dalam. Setelah tulang di tanganku mulai sakit dan suaraku mulai serak, akhirnya dari dalam terdengar suara "masuk".

Kututup pintu di belakangku, lalu kulepaskan sepatu sekaligus kaus kaki yang tadinya kupakai. Tak ingin suara horor ini bertahan, langsung kunyalakan lampu lorong masuk. Akhirnya aku mulai bisa melihat seisi ruangan, tanpa halangan. Terlihat Nadia berselonjor di sofa. Kepalanya tersandar dengan mata ditutupi kapas, rambutnya jatuh hampir menyentuh lantai. "Jangan duduk! Kau mengganggu soreku!" kecam Nadia.

Dengan langkah yang lembut, aku mendekati Nadia. Kuambil kapas di matanya, lalu kulemparkan ke tempat sampah. Sekarang aku berdiri di depannya, dengan tangan santai di punggung bawahku. "Kalau kau ingin marah, paling tidak tatap mataku," sindirku.

"Gitu? Kayak caramu natap aku, sambil omong kosong keluar dari mulutmu?" ucap Nadia sambil merapikan bajunya dan beranjak dari posisi selonjor ke posisi duduk.

"Kau mau mendengar semuanya?" tanyaku dengan lantang dan jelas. Hingga akhirnya Nadia menganggukan kepala.

"Aku tak bekerja di lapangan tembak, tapi bisnis lapangan tembak adalah impianku..."

"...Roeli Castell adalah perantara bisnisku—mantan perantara bisnisku, kita sudah tak kerja sama. Itu kenapa aku sering ke kelab, bukan untuk mencari teman tidu—"

Nadia menegakkan punggungnya, matanya menciut dan terdengar nafasnya memburu. Otot di pelipisnya mencuat, membuat pelipisnya agak merah. "Itu saja kebohonganmu? Kau memang tentara?! Mungkin kau dipecat, bukan mengundurkan diri?! Kau punya mobil dan rumah, apa pekerjaanmu?!"

"Dulunya aku memang tentara—mhm...aku dipecat karena aku membiarkan transaksi narkoba di wilayahku..."

"Sekarang...a-aku bekerja untuk...bos alkohol. Aku menjual alkohol," jelasku dengan tuntas.

Tak bisa kubaca ekspresi wanita ini. Dia memiring-miringkan wajah, rambutnya jatuh ke kanan dan ke kiri. Tak ada wajah yang mengerut karena kecewa, ataupun suara gerutu karena marah. Kulempar arah pandanganku ke jendela, mengamati bunga yang layu di balkoni sembari memikirkan cara untuk mencairkan suasana ini.

"Kau mungkin membenciku sekarang—mungkin sedikit jarak untuk kita berdua akan membantu," ucapku dengan canggung sambil memikirkan cara untuk keluar dari apartemen ini dengan selamat.

Saat aku mencoba untuk pamit dan membalikan badan ke pintu keluar. Nadia berdiri dengan tangan di samping pinggang. "Kamu nggak suka sama aku?!"

"Bukannya aku yang seharusnya minta putus kepadamu karena kau adalah penipu?! Kenapa kau yang ingin menjauh dariku?!"

"Dan omong-omong, aku belum dengar 'maaf" dari mulutmu. Tapi jujur, aku tak ingin mendengar kata itu—karena mungkin itu hanya omong kosong."

"Aku tak memutuskanmu, Nad. Kita bahkan belum...pacaran..."

"Nah itu, Jon. Aku tak yakin kalau kau memang punya perasaan ke aku."

"Dulu, aku merasa bahagia dan bangga saat aku dekat denganmu. Kau adalah mantan tentara yang gagah dan mapan. Aku merasa menjadi wanita yang beruntung karenamu. Sekarang...aku bahkan tak tahu kau ini siapa," tegas Nadia dengan mata berair.

"Kau benar. Kita memang butuh jarak. Kau sebaiknya pergi..."

Gadis Pengadu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang