Bab12 || Kita akan Bertemu lagi, Jon

26 5 0
                                    

3 hari kemudian...

Semalam Roeli memanggilku. Dia berkata dengan lantang dan ngotot. Mengucapkan banyak sekali umpatan yang terus-menerus menyakiti telingaku. Katanya, dia punya sesuatu yang akan membuatku "panas". Dan memintaku untuk datang ke Kelab. Roeli dengan jelas mengatakan kalau aku harus menyelesaikan apa yang aku mulai.

Saat kutanya kepada Edgar, apakah dia tahu tentang pertemuan ini—jawabannya adalah tidak. Membuatku merasa ini adalah jebakan. Sangat mungkin aku keluar dari kelab tanpa nyawa. Mungkin menghindar dan melarikan diri adalah pilihan yang tepat, tapi sepertinya aku meremehkan Roeli, karena dia menutup semua peluang bagiku untuk melarikan diri. Roeli mengancam akan 'memanggang' seluruh keluarga Delon jika aku tak datang.

Saat ini yang kuharapkan hanyalah keluar dengan utuh. Kembali ke dunia Tedon yang begitu panas. Walau aku enggan masuk ke kelab, aku harus—karena di luar panas sekali. Sedikit sulit menjelaskan apa yang kurasa saat ini. Hawanya panas tapi terasa merinding. Lampu sangat minim, juga sinar dari luar tak membantu. Pandanganku kabur saat mencoba melihat seisi kelab karena dari tadi aku dibawah terik matahari.

Tak ada gadis dengan pakaian seksi. Tak ada tukang jagal yang menjaga bagian depan kelab. Tak ada penjaga kelab yang gagah dan berpakaian gelap. Hanya 3 mobil sedan yang di parkir di samping kelab, bukan di depan. Setiap mobil, duduk seorang pengemudi yang tinggal di mobil, sedangkan kursi lainnya kosong tak terisi.

Begitu aku masuk, ada 2 orang di belakang pintu kelab. Pria tinggi dengan kaca mata hitam. 2 lagi di meja bar, mereka sedang bermain kartu. Jess menghampiriku dan berharap agar aku berhati-hati, lalu dia mengantarku ke ruang rapat. Katanya Roeli di sana menungguku.

Roeli duduk di kursi dimana Edgar biasa duduk. Dia sendiri di sini, hanya dirinya dengan revolver di tangannya. Kursi mendengkik karena badan gemuknya yang memakan habis kayu malang itu. Dia menyodorkan piring kecil ke seberang meja, tepat di depanku. Piringnya berisi gelas kecil dengan sedikit alkohol dan cerutu di sebelahnya.

"Langsung aja, tak perlu minum atau rokok," jelasku.

Aku duduk di kursi yang tersedia, tepat di depannya agar kita bisa saling menatap. Dua orang yang rasanya seperti saling membenci.

Edgar melempar setengah paket pil ke dadaku, membuatku reflek dan agak emosi. Hampir kulempar kembali paket ini kearah Roeli sebelum dia mengarahkan bibir revolver-nya ke wajahku. Dia menunjuk ke kursi dengan senjatanya, mengisyaratkanku untuk duduk kembali.

Dia mulai menjelaskan sambil bermain-main dengan senjatanya untuk menakutiku, "Kau jual paket itu ke panti. Itu adalah sisa paketmu."

"Hah?! Aku sudah menjual habis paketku," tegasku.

"Nah ini, belum nyatanya."

Edgar membenarkan duduknya. Punggungnya tegak sehingga perutnya menonjol besar kedepan. Dia merapikan rambut panjangnya dengan ujung pistolnya.

"Kau—akan—menjual—pil ini! Kalau tidak, aku akan membunuhmu—setelah aku selesai membunuh pacarmu! Jurnalis murahan yang suka bermain dengan pria sepertiku...suka sekali pelacur itu—ah...ah..." ucapnya terpotong saat aku mencoba berdiri untuk menyerangnya. Dia menodongkan pistol itu lagi agar aku kembali duduk.

"Wanita itu—Nadia adalah seorang pelacur! Dia menginjak-injak bisnis orang-orang sepertiku. Kau pikir aku akan berpikir dua kali saat aku membunuhnya."

"Kalau memang kujual barang haram itu, kau pasti akan tetap membunuhku ataupun Nadia."

"Ya, kau betul! Tapi akan lebih baik kalau kau berusaha..."

"...jangan pungut uangnya dari Patra. Aku yang akan mengambilnya," lanjut Roeli.

Kubawa paket ini dan kubawa keluar ruangan. Rasa kecewa dan marah menutupi otakku untuk berpikir lancar. Apapun yang akan kulakukan dan kuucapkan akan kacau.

"Ini akan menjadi terakhir kali kita bertemu!" gertakku.

"Oh, santai Jon. Kita akan bertemu lagi. Aku akan menjadi teman sejatimu. Aku akan menjengukmu, dimanapun kau berada..."

"Hati-hati di jalan. Dan hati-hati di panti," salam pisah Roeli sebelum aku membanting pintu.

Tak kulihat samping kanan dan kiri. Ingin kuselesaikan semua ini dengan cepat. Aku tak ingin mati dan pastinya tak ingin Nadia mati. Roeli mempunyai seluruh pasukan di Kelab yang sepertinya siap untuk menghabisi nyawa siapapun.

Di jalan hanya ada jalan. Rasanya tak ada mobil ataupun orang yang menyeberang. Fokusku tak bisa dipecah sama sekali. Menuju panti tanpa jeda atau henti. Pergantian dari siang masuk ke sore tak terasa. Tiba-tiba langit sudah oranye kemerah-merahan. Lampu jalan mulai berkelap-kelip, mencoba untuk menyala dengan sempurna.

Parkiran panti sudah sepi, memang kalau sore semua orang sudah enggan di sini. Aku juga enggan, kalau bukan karena bajingan itu, aku tak akan di sini. Orang-orang di halaman memandangiku karena berlari-larian ke panti. Si penjaga lobi melihatku dengan kecewa karena tak punya waktu untuk menyapanya.

Dari luar ruangan dapat kulihat Patra yang menundukkan kepalanya. Ruangannya gelap dan terasa dingin, bahkan dari luar. Orang-orang di dalam sama sekali tak bersuara selain suara sendok yang menghantam piring. Membuatku bertanya-tanya. Sebelum aku masuk, Patra mengangkat wajahnya yang merah dan matanya sedikit berair.

Kulihat Nadia di sebelah jendela yang tertutup. Dia bersanding dengan ayahnya yang setengah tidur dan mengunyah. Nadia mengaduk-aduk bubur di mangkuk, itu adalah sumber suara yang kudengar dari luar. Dan omong-omong memang dingin sekali, aku bahkan belum benar-benar masuk.

Saat aku melangkah lebih dalam, Nadia melihatku dengan takut dan terlihat sedikit penyesalan. Dahinya mengerut dan matanya tak berani menatapku secara langsung. Kulihat air matanya jatuh ke pipinya yang merah. Tiba-tiba dia meletakan mangkuk bubur dan menutupi sebagian wajahnya yang terlukis rasa khawatir, entah terhadap siapa. Dia meluapkan tangisannya sambil menatapku dengan—entah sedih atau takut atau ragu, entahlah, masih sulit kubaca wajahnya. Aku lalu berpikir, mengapa semua orang murung?

"Jon Mahersa."

4 orang polisi keluar dari balik pintu dan ujung ruangan. Mereka menahan badanku dan merogoh semua isi jaketku. Aku hanya diam dan memandang seisi ruang dengan kosong. Kugigit rahangku dengan kencang, sampai polisi-polisi ini menemukan kotak paket pilku.

"Kau di tangkap dengan tuduhan pengedaran narkoba. Dan pil Xanax sebagai barang bukti," ucap polisi tertua sambil memerintahkan anak buahnya untuk menyeretku keluar.

*****


Terima Kasih Pembaca, ini adalah part terakhir

Terima Kasih Pembaca, ini adalah part terakhir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TERIMAKASIH...

Gadis Pengadu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang