Bab02 || Terima Kasih, Nadia

53 10 2
                                    

Kemejaku mulai lembap oleh keringat, karena ruangan yang panas juga memang sudah siang. Bahkan pemuda di meja catur tidak memakai kaosnya, juga sama seperti Patra yang banyak bergerak. Dia berpindah dari satu orang ke orang lainnya secara bergantian, menjual obat itu. Terlihat kalau dia tahu cara kerjanya, jadi sekarang aku bisa meninggalkannnya.

"Komandan!" teriak suara serak. Aku menengok ke sumber suara, melihat pria tua duduk dengan kaki diluruskan di bawah jendela. Dia melambaikan tangan, mengisyaratkan diriku untuk mendekatinya. Dia terlihat lebih muda dari dekat, kulitnya keriput tapi tidak pucat. Rambutnya masih banyak walau sudah memutih. Kusalami pria tua itu dengan hormat setelah mengetahui bahwa dia adalah seorang veteran yang bernama Setyo. "Aku melihat kalung itu dan caramu bergerak. Aku langsung mengetahui kalau kau adalah tentara, nak," kata Setyo.

Kita berbincang-bincang kecil, tak ada topik yang terlalu serius. Hanya membicarakan pangkat, atasan pemarah, dan makanan favorit kami. Setyo senang sekali menyelipkan sedikit opininya tentang pejabat korup dan rusaknya Tedon pada kalimat-kalimatnya. Dia menyampaikan dengan sangat rapi sehingga sama sekali tak terdengar merendahkan. Semua percakapan bernuansa ringan dengan selingan tawa, sampai dia menceritakan tentang alasan mengapa dia berada di Tedon. Gesturnya berubah menjadi lebih serius. Matanya menajam, keriput di pipi bawahnya menegang. Beberapa kali membersihkan tenggorokkannya sebelum mulai bercerita.

"Saat umurku 43, aku harus bertugas di Timor Tengah. Sebagai—kau tahu lah, pasukan perdamaian atau apapun itu. Salah satu misi awalku adalah—maju ke lapangan, seakan bunuh diri. Dan betul, aku hampir mati. Dua peluru menembus pundak dan punggungku," Setyo mencengkram pundaknya.

"Aku terluka parah dan langsung lumpuh. Tak bisa berjalan, sama sekali. Aku harus dirawat disana sekitar 2 bulan, mungkin lebih. Dan saat aku pulang ke Indonesia aku harus ditangani di rumah sakit yang mampu. Yang sudah pasti berada di kota besar. Dulu kukira aku akan dibawa ke Jakarta, tapi ternyata Tedon adalah yang termaju menurut tim medis yang menanganiku."

"Aku sangat senang saat mengetahui bahwa anakku bekerja di Tedon. Lalu hatiku hancur saat anakku memberi tahu bahwa—bahwa...istriku telah meninggal saat aku bertugas," Dia menegakkan tengkuk dan tangannya mengusap pipinya yang basah. Ucapannya menggoyangkan jantungku, rasanya seperti aku yang mengalami semua itu. Telingaku menangkap nafas pria itu sedikit memberat. Aku tak mau menanggapi ceritanya dulu, sebaiknya diam, membiarkan Setyo melanjutkan ceritanya.

"Dan—sekarang, ah...Aku sudah tua dan tak bisa berjalan. Jadi aku tinggal di panti ini, bersama pasien lain yang bernasib sama denganku," Setyo tersenyum menatap lantai.

"Kenapa tak tinggal bersama anakmu, pak?"

"Anakku sangatlah sibuk. Dia masih merawatku setiap hari, dia akan kesini sebentar lagi—dia akan senang bertemu dengan orang menarik sepertimu, nak," jelas Setyo dengan ramah.

Topik pembicaraan kembali ringan, dia menanyaiku tentang dimana sekarang aku tinggal dan bagaimana perasaanku tinggal di Tedon yang panas. Setelah saling berbalas pendapat dan sedikit bercanda, Setyo tersenyum melambaikan tangannya ke seorang di balikku, "ini putri kecilku, Jon. Terkenal sekali di Tedon, seperti superhero rakyat. Bangga sekali aku," Setyo sumringah dan matanya berkaca. Wanita itu memerah pipinya, membantah ucapan ayahnya dengan senyum-senyum, "Apa sih, yah..."

Aku ramahkan wajah semoga memberi impresi yang baik untuk Nadia. Balasannya lebih ramah, mata coklatnya begitu bersih. Senyumnya yang lebar, membuat tulang pipinya timbul ke atas. Hidungnya ramping, juga kecil seperti rata-rata orang asia. Rambut gelap ikalnya dikuncir, menyisahkan sedikit bagian samping atas jatuh ke alis. Tingginya tak lebih dari leherku, tapi lebih tinggi dibandingkan semua wanita di sini. Gaya pakaiannya dari atas sampai bawah terlihat resmi. Kemeja berjas, celana kain semata kaki dan sepatu berhak lancip kantoran. Caranya berbicara saat berkenalan juga terdengar resmi dan runtut.

Dia membawa dua gelas kopi di kedua tangannya sebelum menyalamiku. Seharusnya satu gelas itu untuk Setyo, tapi dia mengantuk katanya dan ingin langsung istirahat. Jadi Setyo menawarkan kopi itu kepadaku.

Kuterima dengan berterima kasih. Aku mempersilahkan Setyo untuk istirahat, lalu keluar ruangan pindah ke lobi. "Mau kemana, mas?" tanya Nadia. Aku membalikan setengah badanku, "keluar...Kau butuh sesuatu?", ujarku. Nadia membenarkan bantal di kasur dan menoleh, "tunggu aku di lobi, aku butuh teman bicara."

"Jangan lama-lama, karena kopi ini tak mungkin tahan lama," sindirku keluar dari ruangan menuju lobi. Aku duduk di kursi tunggu yang sepi, hanya ada satu pasangan suami istri dan anaknya. Melihat itu menambah bingungku, sampai sekarang aku masih belum menentukan panti apakah ini. Orang-orang dari segala demografi berada disini, walau kebanyakan adalah orang yang membutuhkan perawatan diluar bantuan keluarga mereka.

Agak mulai membosankan disini hingga Nadia tiba. Sekarang dia melepas blazernya, jadi hanya berkemaja putih yang sedikit longgar. "Bagaimana ayahku?"

"Menarik, sepertinya ayahmu sangat membenci kota ini dan seisinya," sindirku sambil menyesap kopi. "Mhm, ini kopi terbaikmu?" ku berikan muka yang seserius mungkin.

"Yap, terenak. Dan jangan bilang kau tak suka—mungkin kau punya penyakit di lidahmu," Nadia menatapku dengan wajah yang lebih serius. Mataku tak lepas dari matanya saat meyesap kopi itu lagi. Aku mengecap seperti seorang chef, dan berhenti mempertimbangkan rasanya. Wajah Nadia masih serius, tapi ujung bibir tipisnya agak naik.

"Seleraku jauh diatasmu, Nad, aku yaki—"

"Ya?? Buktikan, aku akan mengecap kopi terbaikmu seperti caramu mengecap punyaku," Nadia terlihat ngotot.

Sekejap, wajahku menyengir, "Akan kubawakan saat kita bertemu lagi. Dan—agar kita mudah bertemu, aku mungkin membutuhkan nomor hpmu—"

Nadia tertawa tanpa suara, seperti menahannya. Aku masih mempertahankan wajah datarku melihat Nadia. Dia menepuk-nepuk pahanya saat tertawa, mungkin begitu lucu baginya. "Oow, dari tadi kau ingin nomorku? Dan untuk apa sebenarnya, Jon? Menjadwalkan jadian kita?" Nadia dengan genit menaikan satu pundaknya, dan masih saja menahan tawa.

"Yap, aku butuh nomormu. Tapi bukan untuk menjadwal jadian, kau kurang cocok denganku, Nad. Aku suka wanita yang agak sedikit jelek darimu."

Nadia memiringkan kepalanya membuat rambutnya mengayun, dahinya mengerut dan matanya menciut, "Jadi aku cantik gitu?—terima kasih, Jonnn," Nadia meraih hpku lalu memasukkan nomornya, entah asli atau palsu.

"Kamu juga gak cocok untukku, Jon. Aku suka cowok yang agak jelek dan suka teh, bukan kopi," ujarnya dengan tertawa kecil sebelum kembali ke ruang Ayahnya.

Sedikit heran aku menggelengkan kepala. Aku tak menduga dia akan seasik itu. Belum lama dia meninggalkanku, aku mencoba untuk menelepon nomornya. Dengan cepat dijawab dengan, "Nomornya asli, Jon!" lalu langsung ditutup. Nadia tahu itu telepon dariku karena dari tadi dia menengokkan kepalanya dari pintu ruang ayahnya, memantau diriku.

Tak terasa langit mulai berwarna oranye. Hari mulai sejuk, panasnya menurun. Aku keluar, untuk sementara duduk di bangku trotoar. Ku keluarkan rokokku, dan kuusapkan ke bibir. Kunyalakan sambil melihat mobil dan motor berebut jalan, klakson menjerit bergantian seperti orang berdebat. Rombongan manusia yang berjalan di trotoar saling menunduk ke hp mereka, dengan keringat di kening dan wajah yang lelah. Sedangkan aku disini masih segar, mungkin karena momen bersama Nadia yang membuatku merasa bungah. Untuk itu, terima kasih, Nadia...

Gadis Pengadu (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang