1st: The L Word

4.6K 297 49
                                    

Panas. Liar. Sepasang adam di atas ranjang—sedang memadu kasih, mengadu gairah. Si submisif terbaring di bawah dengan bibir yang membengkak dan sedikit terbuka, menampakkan deretan gigi dan cupid bow yang merona merah—sangat sensual. Hidung bangirnya menghirup udara, namun tetap sesak karena perlakuan pria yang lain pada bagian bawah tubuhnya. Matanya yang sayu sesekali terpejam saat saraf-sarafnya distimulus karena gerak liar sang dominan. Rona merah di wajah menjalar hingga leher dan cuping telinga, mengundang pasangannya untuk menjilat dan menggigit sambil membisikkan kata-kata kotor agar ia semakin terangsang.

"Sssh—Kai. Kau menjepitku begitu ketat. Kau suka kejantananku di dalam dirimu, hm?" gumam lelaki di atasnya dengan seringai terpasang dibibir. Pinggul sang dominan semakin ia hentakkan, bermaksud agar ujung penisnya menyentuh bagian terdalam kekasihnya.

Pria yang dipanggil Kai itu memutar bola matanya dan meloloskan sebuah desahan. Pening. Segala sensasi masuk dari inderanya yang aktif, dan menghujam kewarasannya lama-lama. Belum lagi kekasihnya tidak berhenti mengerjai dirinya dengan tempo yang berubah-ubah. Ia sudah kepayahan dengan perlakuan lelaki di atasnya. 

Tak lama, kekasihnya berhenti sejenak. Ia lepas salah satu kaki yang melingkar di pinggang, untuk diangkat sejajar pada mata. Perlahan, ia mengecup pergelangan kaki submisifnya dengan bibir yang sedikit terbuka. Merambat pada bagian atas kakinya—betis, belakang lutut, hingga paha. Selangkangan sang submisif semakin terbuka, membuat akses si dominan semakin leluasa untuk masuk ke lubang sempit kekasihnya.

"S-Soobinh— enghh—"

Kai mengerang. Ia sudah hilang akal sehat sejak tadi, namun ia merasa segala akalnya benar-benar musnah saat Soobin mencapai bagian terdalam dirinya. Sial. Ia sudah lemah. Kenikmatan yang sedari tadi bertubi-tubi mengumpul pada satu titik, di mana ia akan mengeluarkan cairan hasil kenikmatan. Namun, gerakan pria di atas itu terhenti, dan ia merasakan kejantanan kekasihnya ditarik dari analnya. Seketika, segala sensasi hilang.

Soobin menarik tangan Kai untuk mendudukkannya pada ranjang. "Berbalik," perintah pria itu dengan suara yang rendah.

Ia tak punya pilihan selain menuruti lelakinya. Soobin menarik pinggulnya ke atas, hingga posisi Kai menungging di hadapan kekasihnya. Tanpa aba-aba, ia kembali menusukkan kejantanannya pada lubang sang submisif.

"Anghh!" hanya lenguhan yang dapat keluar dari belah bibirnya. Kekasihnya lanjut menggerakkan pinggul, dan penisnya menggesek berkas sensitif di dalam.

Di tengah permainan, kedua bahunya ditarik untuk menempel pada dada bidang Soobin. Sang dominan meraba puting pria di bawahnya—memilin, mencubit, dan menariknya, hingga Kai tak henti mengeluarkan suara-suara sensual yang menstimulus pendengaran.

Suara-suara itu makin membuatnya bergerak liar. Ia melepas puting kekasihnya, dan menggunakan sebelah tangannya untuk menahan perut sang submisif, sementara tangan yang satunya menarik dagu pria mungil itu untuk sebuah pagutan liar.

Ranjang tak berhenti berderit. Suhu tubuh mereka tetap panas, tak terpengaruh hawa musim dingin.

Hingga saatnya sang submisif tidak tahan lagi. Ia cengkeram lengan kekasihnya erat, dan melepaskan ketegangan pada miliknya saat itu juga. Gelombang kenikmatan itu membayang pada kepalanya yang semakin pening bersamaan dengan air mani yang memancar pada permukaan kasur, sementara kekasihnya masih mengejar kepuasannya sendiri.

Saat itu tiba juga. Tak lama dari pelepasannya, kekasihnya menarik kejantanan keluar dari lubangnya, membalik tubuhnya dan memancarkan air mani pada perut dan dada Kai. Pria dominan itu rubuh di samping tubuh kekasihnya. Menarik napas terengah-engah, seperti marathon dengan jarak yang panjang. Lelah.

Hening sejenak di antara mereka. Hanya deru nafas yang terdengar, karena masing-masing terlalu sibuk menikmati pasca pelepasan.

"A-aku akan membersihkan diri," ujar Kai, yang kemudian dibalas anggukan oleh Soobin. Kai bangkit dengan hati-hati. Ia mengambil beberapa lembar tisu, mengelap cairan lengket di tubuhnya agar tidak tercecer ke mana-mana. Ia kemudian berjalan ke kamar mandi, membersihkan sisa sperma kekasihnya yang masih terasa lengket pada tubuh.

Selesai Kai membersihkan diri, gantian Soobin yang bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Semua pergerakan itu tak diisi oleh percakapan apapun. Soobin pun kembali ke ranjang setelah selesai, menarik selimut, dan berbaring di samping Kai. Lelaki mungil itu sedikit bergeser, lalu menempelkan pipinya pada dada Soobin—tepat pada jantungnya. Hening kembali menghampiri mereka untuk beberapa saat. Hanya detak jam dinding yang mengisi ruang senyap.

"Soobin," gumam Kai pelan.

Lelaki itu hampir terlelap, namun matanya membuka saat Kai menyebut namanya.

"Ya, Kai?"

"Aku ingin hidup seperti ini saja."

Soobin mengangkat kedua alisnya. Ia menoleh pada Kai dalam dekapannya, sementara tangannya mengelus kepala Kai dengan lembut.

"Aku ingin hidup seperti ini selamanya. Berdua denganmu dan bercinta setiap malam. Bersama dengan orang yang kucinta."

Kepala Kai terangkat untuk menatap langsung pada mata kekasihnya.

"Aku sangat mencintaimu, Soobin. Apakah kau juga mencintaiku?"

Soobin tersentak dengan pengakuan mendadak Kai. Ia tersenyum tipis. Hanya ia yang tahu, bahwa dalam senyuman itu terselip sebuah keraguan untuk menjawab pertanyaan Kai. Cinta? Cinta hanya ada di negeri dongeng, di mana semua hal terjadi sesuai keinginan tokoh utama. Ia tak yakin bahwa cinta yang ada di dunia nyata adalah cinta yang sesungguhnya. Seumur hidup, ia tak pernah benar-benar merasakan cinta yang tulus dari siapa pun—jangan tanya orang tuanya, yang tak pernah ia tahu rupanya hingga dewasa.

"Cinta hanyalah omong kosong, Kai. Tidak seperti uang, cinta tak punya wujud. Aku hanya percaya pada hal-hal yang nyata di depan mata, oleh karena itu, aku tak percaya dengan kata itu," tukas lelaki itu, akhirnya.

Binar mata Kai yang semula cemerlang kini meredup. Ia sudah berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengangkat topik ini—namun reaksi Soobin membuat keyakinannya runtuh seketika. Mereka telah hidup bersama selama tiga tahun, tetapi tak pernah sekali pun membicarakan tentang perasaan yang mungkin saja sudah mengikat mereka selama ini. Dan, pernyataan itu memunculkan lagi pertanyaan di benak Kai, apakah perasaan itu ada di antara mereka?

Perasaan itu ada pada Kai, namun ia tidak tahu apakah Soobin juga merasakannya.

"Tidurlah. Tak usah berpikir yang aneh-aneh." Kini Soobin memejamkan lagi matanya, tertarik dalam pusaran kantuk yang menariknya dengan kuat. Kai menurunkan kepalanya, dan menjadikan lengan Soobin sebagai bantal. Namun, matanya tak kunjung terpejam, memikirkan kembali kata-kata yang baru saja terucap dari bibir lelakinya.

Cinta hanyalah omong kosong.

Andai Soobin tahu, efek apa yang akan ditimbulkan dari kata-katanya—mungkin ia tidak akan mengatakan hal itu pada Kai. Tak sekali pun.

***

Entah apa yang merasukiku, untuk ngetik ide liar ini dan post tengah malem. Mafia AU segala :') Tapi ide cerita ini cukup bikin aku guling-guling gak karuan, sampe kemimpian pas tidur siang. Jadi naro dulu chapter 1 biar ga kepikiran. Outline cerita juga udah. Sisanya—sambil berjalan kesibukan rl, aku akan garap sebisaku.

jadi, apa hubungannya judul, summary, sama cerita? Judulnya aku ambil dari lagunya Halsey - Graveyard. Summary juga ambil dari inti lagu itu. Untuk ceritanya, liat aja chapter selanjutnya. Hehehe. Dan btw smut-nya, aku cuma bakat baca, gak bakat bikin :( kalau hambar ya maap :( smut disini akan jarang-jarang karena dia cuma bumbu aja. Biar pembaca rada semangat hahahaha.

Udah ah. Bobo dulu. DADAHHH

graveyard | Choi Soobin, Huening KaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang