2nd: The Feared Man

2.8K 246 28
                                    

Dingin, kejam, tanpa ampun. Kata-kata itu mungkin paling tepat untuk mendeskripsikan seorang Choi Soobin. Reputasinya sebagai eksekutor jaringan mafia terbesar di Korea sangat tersohor di kalangan internal maupun musuh. Dengan senjata atau tangan kosong, mengucurkan darah atau membuat tubuh membiru—mampu ia lakukan untuk membuat nyawa targetnya melayang. Mengerikan. Tidak heran jika ia dijuluki sebagai grim reaper oleh musuh-musuhnya.

Setelan hitam-hitam khasnya saat beraksi kian mendukung reputasi itu. Gerak-geriknya tenang, rapi, dan penuh presisi. Kabarnya, ia mampu mempertahankan wajah datar bahkan saat korbannya sudah memohon-mohon untuk dilepaskan, hingga napasnya habis. Tak ada sedikit pun emosi yang terpancar—walaupun wajah korbannya sudah terlihat mengenaskan saat kematian semakin mendekati. Memang sejak awal melakukan pekerjaan ini, ia tak sekali pun pernah menangis atau ketakutan. Benar-benar bak malaikat pencabut nyawa.

"Cepat selesaikan. Bos sudah menelepon kita untuk kembali ke markas."

Soobin menoleh pada rekannya yang kini sedang menggenggam ponsel. Ia melepaskan kantung plastik hitam dari kepala targetnya. Wajah itu tampak mengerikan saat dibuka—bibir membiru, mata yang melotot, dan air liur menuruni dagu sang korban. Ekspresi yang jelas menggambarkan betapa horor jika harus mati di tangan seorang pembunuh bayaran dengan bos besar mafia.

Soobin melepaskan sarung tangan lateks dalam diam. Ia memasukkan bukti-bukti eksekusi dalam satu trashbag hitam, mengikatnya dengan simpul mati, lalu menyeretnya keluar. Rekannya—pemuda bernama Jeon Jungkook—memantau situasi sekitar agar mereka dapat keluar tanpa ketahuan.

Soobin mengenakan topinya dan menaikkan kerah turtleneck hingga menutupi mulut. Ia menyerahkan plastik hitam besar itu pada Jungkook yang masih berseragam room boy.

"Kau duluan, agar tidak mencurigakan. Keluarlah lewat tangga darurat di sebelah sana," telunjuk pemuda itu menunjuk ke arah kiri dari lorong panjang. Soobin mengangguk mafhum dan berjalan dengan santai menuju tangga darurat. Ekspresinya kelewat kalem untuk seorang yang biasa membunuh—seakan ia tidak baru saja menghabisi nyawa seorang manusia.

***

Suara kunci yang terputar diikuti terbukanya pintu membuat Kai membuka mata. Tangannya yang tenggelam dalam sweater biru tampak lucu saat mengucek matanya yang sayu. Sebelah tangannya masih memeluk boneka kelinci dengan erat, mengantisipasi kedatangan orang yang paling ditunggunya saat ini.

"Soobin?"

Pria yang dipanggil namanya kini menutup kembali pintu dan menguncinya. Ia berjalan menghampiri pria mungil yang kini terduduk di sofa. Tangannya terangkat untuk mengelus kepala Kai dengan lembut. Kai mengerjapkan matanya lucu, lalu mendongak pada Soobin.

"Kau terbangun? Padahal lanjutkan saja tidurmu."

Kai menggeleng pelan. Bibir ranumnya mengerucut, tampak menggemaskan.

"Aku menunggumu. Kenapa pulangnya malam sekali?" rengek lelaki mungil itu sambil memeluk pinggang pria di hadapannya erat.

"Ada pertemuan dadakan setelah aku selesai bertugas. Cukup lama karena si Tua Bangka itu membicarakan tentang berita pensiunnya. Maaf kalau menunggu lama," jelas Soobin. Tangannya turun pada bahu Kai, mengelus punggungnya. Kai semakin menenggelamkan wajah pada perut Soobin. Lelaki itu terkekeh pelan melihat kelakuan menggemaskan kekasihnya.

Kekasih?

Soobin agak sangsi saat memikirkan itu. Bagaimana bisa mereka disebut kekasih padahal Soobin tak mencintainya?

Entahlah. Ia sendiri tidak tahu. Selama ini, panggilan kekasih hanya untuk mempermudah orang dalam mengkategorikan mereka—agar tetangga tak ribut-ribut penasaran dengan relasi apa yang mereka miliki. Hubungan mereka terlalu rumit untuk dijelaskan. Sejak ia mengenal dan mampu menjinakkan Kai, anak ini tak pernah sekali pun pergi dari sisinya. Ia akan selalu menempeli Soobin ke setiap sudut apartemen. Mengajaknya bermain, bermanja-manja, atau bahkan menggodanya. Satu hal yang pasti mengapa orang mengira mereka sepasang kekasih—keduanya terlalu berisik jika sudah berakhir di ranjang. Kenyataan itu mungkin dirasa sudah cukup bagi orang-orang untuk memberikan label pasangan pada mereka.

Soobin sendiri tidak terlalu ambil pusing. Ia menerima Kai sebagai hadiah dari bosnya saat berhasil menjalankan misi pertama. Ia mengingat lagi hari itu—saat lelaki mungil itu diseret ke hadapannya. Tubuhnya bergetar hebat dan kulitnya yang pucat menarik perhatian Soobin. Namun, ada lagi hal yang lebih menarik baginya. Wajah itu terangkat saat ia dihadapkan langsung dengannya, sehingga ia dapat melihat dengan jelas fitur wajah yang unik dan asing. Bibir yang merona merah, hidung mancung, dan mata itu—mata yang menatapnya nyalang sejak pertama kali bertemu. Sorotnya memancarkan emosi tercampur, antara marah, putus asa, dan jijik. Namun tak ada sorot ketakutan.

"Ini hadiahmu. Anak lelaki yang manis untuk kau gunakan. Terserah mau kau apakan-dijadikan budak, pemuas nafsu, atau pembantu. Sekarang dia milikmu." Hanya itu yang dikatakan sang Bos.

"Soobin!"

Ia terperanjat dari lamunan saat mendengar Kai merengek lagi. Sorot mata yang nyalang itu seiring waktu berubah menjadi lembut, dalam, menarik bagai magnet. Akan jadi cerita yang panjang jika Soobin harus mulai menuturkan apa yang membuat Kai melunak seperti sekarang. Ia tak punya waktu. Sekarang, yang ia lakukan hanyalah mengangkat tubuh itu menuju tempat tidurnya, dan beristirahat.

Ia menempatkan Kai pada tempat tidur dan sebelum membersihkan diri. Wajah telah dibasuh, baju telah diganti, dan ini saatnya untuk berbaring. Kai telah berguling gelisah saat menunggu Soobin, memperlihatkan wajah manis yang telah terkantuk-kantuk.

Soobin membaringkan tubuhnya. Ia menghembuskan napasnya keras. Memutar kembali memori hari ini yang berat seperti biasanya. Dan, satu hal lagi—walaupun ia telah terbiasa untuk menghabisi hidup seseorang, ketegangan setelah melakukannya tak pernah membuatnya terbiasa. Dan hanya ada satu cara agar ketegangan itu mereda.

"Kai." Soobin mengelus paha lelaki di sampingnya. Tangannya naik perlahan menuju bokong berisi milik Kai dan meremasnya, membuat Kai berjengit.

"Jangan tidur dulu. Ada yang harus kau lakukan," bisiknya di telinga Kai. Tangannya mengarahkan jari-jari lentik itu pada tonjolan di celananya. Kai mengangguk pelan, ia cepat paham dengan apa yang dimaksud Soobin. Tubuhnya berbalik menghadap sang dominan. Dengan perlahan namun cermat, jari-jari itu telah menurunkan boxer kekasihnya, mengeluarkan kejantanan itu dari rumahnya. Jari-jari lentiknya mengelus benda tegang itu, menyusuri urat yang tercetak di permukaannya. Membuat Soobin mendesis nikmat.

"Mau diapakan, Soobin?" tanya Kai dengan wajah polos. Tentu saja kepolosan itu bohong—mana ada anak polos yang menggenggam penis yang berdiri tegak di tangannya?

"Oral. Gunakan mulutmu," pinta Soobin.

Kai tersenyum tipis. "Siap!" sahutnya semangat.

Ia lalu menunduk di depan selangkangan Soobin dan mencium kepala penis kekasihnya dengan pelan. Soobin meremat seprai di bawahnya hingga kusut—menahan geli dan nikmat yang datang sekaligus. Tangannya beralih pada rambut sang submisif, dan merenggutnya saat lidah pria kecil itu menjilati permukaan penisnya. Dua netra Kai setengah tertutup, menatap Soobin seduktif dari bawah. Tanpa bisa diantisipasi, ia bergerak cepat, melahap seluruh bagian kejantanan sang dominan.

Dan malam pun berakhir dengan desahan-desahan yang keluar dari mulut lelaki itu.

***

What the hell am I doing. Still can't believe I'm writing this and not combusted at once.

Yasudah lah ya. Nanti kalau agak dingin saya lanjutin lagi.

graveyard | Choi Soobin, Huening KaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang