Xth: For the Loved One

1.1K 160 33
                                    

Kenop pintu ruangan terputar, dan dari baliknya seseorang masuk dengan langkah gontai. Seorang pria dengan rambut yang dicat abu-abu, menghempaskan tubuhnya pada kursi putar di balik meja. Ia terlalu lelah untuk bergerak melepaskan baju hijau yang ia kenakan sekarang—operasi yang telah berjalan selama delapan jam tanpa henti membuatnya tak ingin melakukan apapun selain bersandar dan mengatur nafas.

Pria itu memandang langit-langit ruangan dengan tatapan nanar. Sebelum masuk ke ruang operasi, ada suatu kabar yang ia tunggu untuk didengar, namun berita itu hingga kini belum sampai ke telinganya. Bukan salah orang yang diamanatkan, toh ia tak dapat menerima segera kabar itu karena ia sedang tak bisa diganggu sama sekali. Ponselnya pun ia matikan—jadi jangankan mengetahui kabar itu, ia bahkan belum menghubungi istrinya sejak mengatakan bahwa ia akan tak bisa dihubungi selama operasi berlangsung.

Wanita itu, ia begitu merindukannya. Kalau diingat, baru kemarin siang ia pamit berangkat pada sang istri, mencium kening, pipi, dan perut yang kian buncit karena berisi daging yang akan menjelma menjadi manusia, empat bulan lagi. Kondisi yang membuatnya tak ingin meninggalkan sang istri, apalagi dalam keadaan yang rawan seperti itu, tetapi ia tak punya pilihan lain. Tugas adalah tugas—ia sendiri yang berkomitmen untuk menjalankan profesi ini selama empat tahun belakangan. Toh, profesi ini pula yang mengantarkannya pada sang bidadari yang ia nikahi sekarang—wanita yang akan membawa malaikat kecil untuknya.

Ketukan tiga kali pada pintu membuat lamunannya buyar seketika. Ia hanya melirik sekilas pada pintu, dan menyahut tanpa bangkit dari kursi, "Ya, silakan masuk."

Sebuah kepala menyembul dari balik pintu, melempar sebuah senyum lebar berbentuk hati kepada sang penunggu ruangan untuk memastikan bahwa ia tak salah mengetuk. "Sedang sibuk, Dokter Jung?"

Pria itu menyangga kepalanya pada lengan kursi dengan satu tangan, sementara tangan lainnya melambai pada sang tamu—memberi tanda untuk segera masuk. Pria di depan pintu itu segera melangkahkan kakinya ke dalam ruangan, menutup ruangan itu rapat dan menghampiri pria lain yang ada di ruangan itu. Tanpa aba-aba, ia menarik satu kursi yang berseberangan, meraih segelas air di meja dan meneguknya hingga setengah.

Pria yang disapa Dokter Jung hanya menggeleng pelan, melihat tingkah sang tamu yang sama sekali tak sungkan. "Apa yang membawamu ke sini, Hoseok-ssi? Apakah kabar dari apa yang kuminta padamu?" Pria itu menatap tamunya malas. Ia tidak bermaksud untuk bersikap tidak sopan, tentu saja—namun dengan adanya ekspresi lesu dan kantung mata yang menghitam, ia harap lawan bicaranya itu bisa mengerti keadaannya yang kurang tidur.

Hoseok—sang tamu tak diundang—meletakkan gelas dengan sedikit menghentak, dan menyandarkan tubuh pada sandaran kursi di seberang Dokter Jung. Ia terkekeh pelan, melihat keadaan sang dokter yang sedikit berantakan.

"Apa-apaan sikap sok profesionalmu itu? Biasanya juga kau memanggilku Samchon. Lagipula, aku datang ke sini bukan untuk jadi pasienmu, keponakanku," seloroh Hoseok. Ia mengayunkan satu kaki untuk bertumpu pada lutut, dan melanjutkan konversasi, "Sejak kemarin kau sulit dihubungi, jadi aku langsung datang ke sini. Ternyata benar, kau baru saja bertugas. Jadi, dengan segala pertimbangan, pamanmu yang baik hati ini akan datang padamu dan mengantarkan sendiri laporannya—"

"Sekaligus meminta bayarannya?" tebak sang dokter.

Tebakan itu membuat sang paman menyungging senyum asimetris. Ia menjentikkan jari dan mengarahkan telunjuk pada sang keponakan, "Tepat sekali. Kau memang cerdas."

Dokter Jung menghela napas cukup dalam. Entah kedatangan pamannya ini bisa dibilang suatu keberuntungan atau tidak—bagaimana pun juga, ia lah yang meminta jasa sang paman untuk melakukan sesuatu yang ia inginkan.

"Jadi? Laporannya?"

Sang paman bertindak kekanakan—ia berputar-putar di kursi tempatnya duduk. Ia tertawa riang bak anak kecil, mengabaikan si dokter yang alisnya sudah berkerut tak sabar. Mendapatkan tatapan tak mengenakkan itu, Hoseok segera menghentikan kegiatannya, beralih dengan mencondongkan tubuhnya ke depan dan kembali berfokus pada apa yang semula akan ia sampaikan.

"Oke, oke. Laporannya. Yang pertama," ia mengancungkan telunjuknya, mengisyaratkan angka satu, "anak itu sudah berhasil kubawa keluar dari pelelangan. Beruntungnya, aku tak perlu mati-matian menawar harga tinggi, karena polisi meringankan pekerjaanku dengan menggerebek pelelangan itu."

"Yang kedua," jari tengahnya teracung, menemani telunjuk untuk membentuk dua turus, "sesuai dengan keinginanmu, anak itu telah kuantarkan sebagai kejutan untuk istrimu. Aku yang mengawasinya langsung, dan aku pastikan mereka berdua telah bereuni dengan haru."

Hoseok kembali melipat kedua jarinya, dan menghempaskan tubuh pada sandaran kursi. "Kesimpulannya—misi telah sukses dilaksanakan. Laporan selesai!" serunya seraya mengangkat kedua tangan, seakan merayakan keberhasilan dirinya sendiri.

Di tengah kelesuannya, Dokter Jung tersenyum puas mendengar laporan dari pamannya. Ia menarik laci, dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat untuk diletakkan di atas meja.

"Kerja bagus, Samchon. Aku sangat berterima kasih. Syukurlah aku tak perlu mengganti uang pelelangan—untuk sementara aku berikan dulu segini. Sisanya akan aku transfer."

Pria diseberang Dokter Jung segera meraih amplop dan menariknya untuk menghitung uang. Sesaat ia tersenyum masam, namun saat menatap Yeonjun ia mengubah senyum masam itu menjadi wajah ceria lagi. "Wah, wah. Sebaiknya sisa yang kau transfer akan lebih banyak—karena bagaimana pun, mendaftar pada situs dan masuk untuk menyamar ke situ cukup sulit, tahu. Setidaknya hargailah usahaku untuk itu—beri bonus sedikit."

Dokter Jung mendengus saat mendengar negosiasi yang ditawarkan sang paman. "Akan aku pertimbangkan nanti. Kau tahu sendiri aku sedang menyiapkan biaya perlengkapan bayi dan persalinan istriku. Jadi, untuk sementara, aku harap itu cukup."

Hoseok merengut kesal, namun ia akhirnya menyerah. "Baiklah. Kalau begitu aku akan pergi, silakan kau istirahat lagi." Ia bangkit dari kursi dengan segepok uang dalam amplop, dan berjalan menuju pintu.

Saat tangannya hendak menyentuh kenop, ia membalikkan badan dan menatap Dokter Jung. Tatapan yang kini lebih tajam dan serius, berbeda dengan yang ia tampakkan sebelumnya.

"Aku hampir lupa satu hal. Sebaiknya, kau pertimbangkan untuk mengirimkan anak itu jauh dari sini. Setelah lolos dari pagar duri sang mawar, sepertinya serigala juga mengincarnya. Aku sempat melihat para serigala di pelelangan itu sebelum membawanya pada istrimu. Kau harus hati-hati."

Dokter Jung menegakkan tubuhnya untuk menyimak baik peringatan sang paman. Ia hanya merespon dengan mengedikkan bahu. "Untuk itu akan kuserahkan sepenuhnya pada Lea. Anak itu adalah adiknya—mereka pasti saling merindukan satu sama lain, karena tak bertemu untuk waktu yang lama. Dan lagi, aku mungkin harus menyewa jasa konselor untuk mengulik lebih lanjut apa yang sudah dilalui oleh anak itu."

Hoseok menggeleng pelan, terkesima dengan apa yang sang dokter lakukan. "Kau benar-benar mencintai istrimu, ya."

Sang dokter membalasnya dengan senyuman tipis. "Tentu saja. Apapun demi Lea akan aku lakukan."

Hoseok mengedikkan bahu. "Setidaknya, aku telah memberi peringatan. Tapi itu hanya masukan saja—terserah kau mau ikuti atau tidak. Jika kau tak ingin hal buruk terjadi dengan anak itu, lebih baik kau pertimbangkan usulku. Selamat sore, Jung-boy."

Sang dokter hanya terkekeh, dan membalas sapaan itu singkat. "Kau juga seorang Jung, Samchon. Terima kasih, selamat sore."

Dokter Jung menyaksikan tubuh itu menghilang ke balik pintu. Menyisakan dirinya sendiri untuk termenung, memikirkan kembali apa yang baru saja dilaporkan oleh sang paman. Tangannya meraih ponsel, menekan tombol on sedikit lama, yang menampilkan wajah seorang wanita cantik berprofil campuran oriental dan Eropa. Senyum lembut terbit di bibirnya, membayangkan betapa bahagia sang istri mendapatkan kembali adik kesayangannya. Hitung-hitung, itu adalah kompensasi darinya yang tak bisa terus-terusan menemani sang istri.

"Selamat ulang tahun, Sayang. Semoga kau senang dengan kejutanku," gumamnya pelan.

***

Ada yang dm aku di ig, kangen graveyard katanya. Kebetulan, aku kepikiran pengen naro satu chapter ini sebelum ke chapter selanjutnya, jadinya aku sisipin deh.

Chapter ini cuma selingan, yang tadinya bingung mau aku taro dimana. Tapi ga akan ganggu jadwal update rutin yang antara rabu-kamis kok (artinya chapter 12 bakal aku update di hari biasa). Sedikit spoiler: kalian bakal kaget dengan siapa sebenarnya sosok Dokter Jung whahahaha

Udah ah. Selamat menerka-nerka.

graveyard | Choi Soobin, Huening KaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang