17th: The Game We Play Along

809 122 19
                                    


Bocah itu takkan pernah melupakan hari itu. Hari di mana ayahnya begitu sibuk berkemas untuk pergi, diiringi dengan tangisan sang ibu yang tak berhenti memohon. Ia yang baru berusia lima tahun tak mengerti apa yang membuat sang ayah terburu-buru. Ia yang semula sibuk dengan mainan robot—hadiah ulang tahunnya beberapa minggu lalu—teralih pada keributan kedua orang tua di depan matanya.

"Kumohon jangan lakukan ini! Kau tahu apa yang akan ayahmu lakukan, kau tak perlu menuruti perintahnya!"

Mata bulatnya merekam semua adegan yang terjadi—bagaimana ibunya berderai air mata dan menarik tangan sang ayah, memohon agar lelaki itu mengurungkan niatnya untuk pergi. Sedangkan sang ayah menahan ekspresinya tetap datar dan keras—apapun keputusan yang ayahnya buat pasti telah bulat dan tak bisa diganggu gugat.

Bocah kecil itu bangkit, meninggalkan mainan berceceran di lantai. "Ayah!" teriaknya, memanggil sang ayah agar berhenti mengenakan sepatu dan bersiap keluar.

"Mau ke mana?"

Sang ayah menunduk untuk bersitatap dengannya. Lelaki itu berlutut untuk mensejajarkan tingginya dengan sang anak.

"Taehyung," sang ayah menangkup kedua belah pipi anak itu dan mengusapnya, "jika ayah tak kembali, berjanjilah kau akan menjadi anak yang baik dan jaga ibumu. Ayah akan pergi menemui kakekmu dan meminta apa yang seharusnya kita miliki."

Netranya berbinar cerah mendengar penuturan sang ayah, mengenai kunjungannya pada sang kakek. "Kakek? Aku mau ikut kalau begitu! Aku 'kan belum pernah bertemu kakek. Aku ingin bertemu kakek bersama ayah."

Binar matanya kontras dengan sorot lesu milik sang ayah. Sebuah senyum tipis tersungging di bibir. Tangannya mengusak pelan rambut Taehyung kecil dengan sayang. "Tidak perlu. Kau takkan bertemu dengan kakekmu, atau mungkin takkan pernah. Cukup turuti kata ayah, dan semua akan baik-baik saja. Oke?"

Pria itu bangkit dan berjalan menuju pintu diiringi tangis histeris sang istri. Bocah bernama Taehyung itu sama sekali tak mengerti apa yang terjadi—mengapa ibu menangis, mengapa ayah pergi, dan mengapa harus menemui kakek. Bocah itu masih terlalu polos untuk mengerti.

Sepuluh tahun berlalu. Di musim dingin—musim yang sama sang ayah meninggalkannya, sang ibu kini pergi selamanya. Tubuhnya begitu pucat dan dingin—hampir menyamai salju yang turun di luar saat Taehyung melihatnya terakhir kali. Di depan potret sang ibu, ia tak mampu menahan lagi semuanya. Air matanya tumpah dalam rintihan keras di depan wajah tersenyum sang ibu.

Aku tak punya apapun. Aku tak punya siapapun. Untuk apa aku hidup?

Ia menarik nafas untuk menghentikan isak tangisnya. Bulir air mata tak berhenti membasahi wajahnya yang memerah ia usap dengan kasar. Ia benar-benar merasa kosong dan hilang arah.

"Bangkitlah, nak. Ayah dan ibumu tak ingin melihat anak yang mereka besarkan meraung-raung karena kehilangan."

Taehyung mendongakkan kepalanya. Dalam pandangannya yang buram, ia bisa melihat seorang pria dengan setelan jas hitam seperti tamu yang lain. Satu hal yang khas dan membuat Taehyung tak mudah lupa adalah sebuah kerutan yang seakan tercetak permanen di dahi pria itu. Lelaki itu merendahkan posisinya, dan mengusap bahu Taehyung pelan. Satu-satunya usapan menenangkan yang ia terima selama pemakaman, namun di saat yang sama menimbulkan pertanyaan di benak Taehyung mengenai siapa lelaki di hadapannya.

Lelaki itu mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekat pada Taehyung untuk membisiki sesuatu, "Aku tahu siapa yang menghancurkan hidupmu."

Pemuda itu tercekat. Mata yang masih memerah dan berair itu membulat tak percaya pada sang pemberi informasi. Tanpa membalas tatapan Taehyung, lelaki itu menyelipkan sebuah kunci di tangannya. "Pergi ke Stasiun Seoul dan buka loker nomor 30. Semua yang kau butuhkan untuk menemukan kebenaran ada di situ. Pergunakanlah sebaik mungkin—"

graveyard | Choi Soobin, Huening KaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang