15th: Ode to the Family

975 127 47
                                    

Bocah itu terisak pelan di sisi dermaga. Angin laut berhembus, membelai pipinya yang basah karena air mata. Alisnya berkerut dalamdari rautnya ia jelas menahan rasa marah dan sedih bersamaan. Sesekali ia menyeka wajah dan cairan yang meleleh dari hidungnya dengan lengan baju.

Tiba-tiba sebuah saputangan polos jatuh pada pangkuannya. Ia mendongak, menemukan senyum teduh seorang wanita yang memberikan saputangan itu padanya.

"Noona," ia menyebut wanita itu dengan suara serak. Wanita yang dipanggilnya noona itu mengambil tempat di sampingnya dan memperhatikan si bocah dari jarak yang lebih dekat.

"Apa yang kau lakukan di sini, Soobin? Angin di sini sangat kencang—kau bisa kedinginan."

Bocah kecil bernama Soobin itu menyeka lagi ingus yang meluncur dari hidungnya dengan saputangan yang noona-nya berikan. Bibirnya mengerecut, menolak untuk menjawab pertanyaan noona.

"Kau pasti kesal ya, setelah dimarahi abeoji?"

Seketika ia menatap noona-nya dengan tajam, dan membuang muka. Wanita itu mengangkat kedua alisnya, memberi tatapan menyelidik pada sang adik. "Jadi benar ya?"

Ia akhirnya menyerah. Tak ada gunanya menyembunyikan sesuatu yang sudah terlihat jelas pada sang noona. "Kau selalu bisa menebaknya, Youngmi-noona."

Youngmi terkekeh pelan, dan mengusap pelan kepala Soobin. "Abeoji memarahimu agar kau bisa memegang belatimu dengan benar, Soobin. Jadi kau tidak akan terluka saat ikut dengannya suatu saat nanti."

"Tidak. Aku yakin Abeoji membenciku. Abeoji hanya sayang padamu dan Yoongi-hyung. Aku selalu dimarahi, abeoji tidak sayang padaku, malah memaksaku untuk melukainya. Aku tak mau melakukan itu, noona."

Youngmi menarik kepala anak itu bersandar pada pundaknya, dan memberi dekapan hangat. "Mungkin kau bingung dengan caranya menunjukkan kasih sayang. Ingatlah, Soobin, abeoji menunjukkan kasih sayang tidak seperti orang lain. Melindungi seseorang adalah tanda bahwa ia sayang padamu—itulah yang abeoji lakukan, dengan melatih kita menggunakan senjata. Dan sebenarnya, ada banyak hal yang ia lakukan untuk melindungimu."

Soobin kecil mendongak, menelisik pada mata sang noona—mencari kebohongan. Sebaliknya, yang ia temukan hanyalah sorot mata yang yakin.

"Abeoji menyayangi keluarganya—aku yakin itu. Ia menyayangimu, Yeji, dan Beomgyu sama seperti ia menyayangiku dan Yoongi. Dan bukankah keluarga harus saling melindungi?"

"Tapi aku tidak suka kalau abeoji memarahiku, noona!"

Youngmi menghela nafas. Adiknya satu ini bukan hanya sulit mengontrol emosi, tetapi juga keras kepala. Ia menggerakkan tangannya untuk kembali mengelus kepala Soobin.

"Sudahlah—jangan sedih lagi. Tak apa jika kau masih marah, tapi berhenti menangis, ya?" Ia meraih saputangan di pangkuan Soobin, dan mengelap sisa-sisa air mata di wajah bocah kecil itu. Helai rambut bocah itu tampak lembut, mengundangnya untuk menghirup aroma sampo yang tercampur keringat. Ia berakhir mengecup puncak kepala sang adik, dan membisikkan sesuatu di telinganya.

"Kau tahu, kau dicintai, Soobin. Jika kau tak bisa merasakannya dari orang lain, setidaknya kau bisa merasakannya dariku. Kau adik kesayanganku."

***

Apa yang menyambut matanya pertama kali, hampir sama setiap pagi. Secercah sinar mentari yang menyusup melalui jendela, terbias oleh kaca jendela dan menyebarkan kehangatan di seluruh ruangan. Matanya mengerjap berkali-kali untuk menyesuaikan jumlah cahaya yang diterima matanya, namun ia menemukan langit-langit kamarnya sedikit berbeda. Bukan langit-langit dengan plafon tinggi berwarna putih, melainkan sebuah langit-langit cokelat dengan ukiran naga di sekitar gipsnya.

graveyard | Choi Soobin, Huening KaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang