Hari ini adalah hari pertama aku masuk ke pondok pesantren, cuaca hari ini hujan yang inshaa Allah membawa berkah ,aku dan kakakku pergi dari rumah tanteku menuju pondok pesantren yang jaraknya tidak begitu jauh dengan menaiki mobil yang di pesan melalui aplikasi grab, kata ayahku dia akan menyusulku dengan menggunakan sepeda motor apabila hujan sudah agak redah.
Lima belas menit perjalanan berlalu, kami telah sampai di depan pagar pondok pesantren, lumayan banyak santri-santri baru telah datang bersama orang tuanya mereka semua menunggu di dalam gedung utama, aku dan kakakku turun dari mobil di depan gedung utama, kami menurunkan barang dari bagasi dan meletakkannya di bawah tenda yang telah di sediakan oleh panitia.
Aku melihat orang orang dengan jas kuning membagikan kertas kepada orang tua santri yang baru datang, akupun memberanikan diri untuk meminta kertas itu kepada orang tersebut, itu adalah nomor antrian untuk membayar SPP awal masuk pondok dan pengumpulan berkas-berkas yang belum lengkap, aku mendapatkan nomor antrian 37 , untung saja tidak terlalu jauh tapi ayahku yang membawa berkas berkas dan uang administrasinya belum juga datang sedangkan hujan sudah redah sejak aku sampai disini.
Aku menunggu ayah sambil bersandar di tembok depan gedung utama sedangkan kakakku duduk di atas tangga masuk gedung utama di samping tembok tempat aku bersandar, sesekali aku melihat ke pagar dan melirik ke handphone yang ku pegang.
"Kok ayah lama bang padahal hujan dari tadi sudah redah" ucapku pada kakakku
Kakak hanya diam di juga terlihat khawatir karena ayah yang tidak kunjung datang sedangkan nomor antriannya sudah terlewat .
Seorang pria mengendarai motor shogun ontel berwarna merah memasuki gerbang pondok pesantren, setelah memarkirkan motornya, dia membuka helmnya pria itu kira kira berumur empat puluh tahun ke atas, kepalanya melirik kemana mana seperti mencari orang, dia ayahku.
"Ayah!" seru ku memanggilnya sambil melambaikan tangan.
Ayah mendengar panggilanku dan langsung menuju tempatku berdiri, sekarang aku sedikit legah karena ayahku baik baik saja tapi masih ada rasa khawatir karena nomor antrian ku sudah lewat agak jauh.
"Yah kok kita lambat betul?" tanyaku pada ayah
"Tadi bensinnya habis di jalan jadi ayah sempat ngedorong sampai warung yang jual bensin" jawab ayah merasa bersalah
"Nomor antriannya sudah lewat yah bagaimana?" Tanyaku dengan nada lemas
"Kenapa bukan kamu aja yang ngurus waktu nomor antriannya di panggil?"
"Kan surat surat dan uangnya sama kita yah"jelasku pada ayah
" Owh iya yah" jawab ayah baru sadar bahwa surat surat dan uangnya masih di simpan di map yang dia pegang.
"Yaudah kita langsung masuk aja " ayah langsung masuk ke dalam gedung utama.
Di dalam gedung utama terlihat lima orang panitia yang mengurus pembayaran dan surat surat santri, ayah langsung menuju salah satu panitia yang baru saja selesai mengurus orang tua santri.
" Maaf Bu tadi nomor antrian saya kelewatan " ucap ayah pada panitia perempuan itu
" Owh , silahkan pak langsung saja" jawab panitia tersebut dengan sopan.
"Siapa nama anaknya pak?" Tanya panitia
" Zahron Gafur Amir" jawab ayah menyebut namaku .Ayah langsung membayar uang SPP pertamaku dan memberikan surat-suratku yang belum lengkap kepada panitia , panitia itu langsung memberikan kertas yang tertulis nama asrama dan nomor asramaku.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Santri Bucin
Non-FictionGimana jadinya jika ada seorang santri putra yang masuk pondok pesantren karena mengikuti seorang perempuan yang dia suka dari sekolahnya dulu. Cerita ini adalah nonfiksi bila ada nama yang sama berarti aku pakai nama aslinya dan bila yang ku cerita...