[dua puluh]

16 1 2
                                    

Pulang jadi jawaban atas perjalan panjang. Tapi sayang, hingga hari ini saya masih tersesat diantara gang-gang nya. Mengetuk setiap rumah penduduk untuk sekedar meminta minum atau bertanya petunjuk arah, tak banyak membantu sebab saya yang pegang petanya. Sampai sabtu malam ia hilang dan dari sejak saat itu saya mengambang. Secercah cahaya pun tak saya dapatkan bahkan saat saya ciptakan ia tak kunjung mau datang. Dan itu jadi awal mula saya berteman dengan gelap, memahami yang ada didalamnya meski kadang saya merasa sesak dan tak kuat. Saya berlari menuju kerumunan penduduk dengan banyak hiasan ditubuhnya, mereka teriak-teriak lantang, saya pikir mereka dapat membantu saya tapi nyatanya mereka kira saya sesat bukan tersesat. Sempat saya menangis sejadi-jadinya saat sedang ada dibibir danau, melempar amarah ke udara tapi saya berhenti alam tak punya salah apa-apa sampai harus dibagi bisingnya yang hidup disini. Lantas saya harus pulang kan ini semua kepada siapa. Sampai pada Sore hari ditaman yang bunganya telah lama layu, ada anak kecil berjalan dengan kanula yang siap pasokan udara untuk tubuhnya yang kecil itu ia tersenyum melambai kearah ibu nya yang sedang sesegukan memegang kertas tua yang telah lama dimakan waktu dan bunga ditaman itu kembali subur.

Kini anak kecil itu berlari kepada saya, melepas kanulanya dan meletakkan nya ditangan saya lalu ia pergi entah kemana. Setelah itu saya merasa sesak dan sesegukan , dan saya pasang kanula pemberian nya. Saya jadi paham maksud anak itu. tapi tersadar kalau saya masih harus cari jalan pulang karena sebentar lagi tahun berganti tapi alamatnya tak kunjung kembali. Saya amnesia.

Kembali lah ia mengetuk,







Jakarta, 16 Desember 2019

10:34 WIB, mendung pagi.

Lari- Lari di Kaki SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang