[Part 9]
+×+
Hujan mengguyur, tidak begitu lebat namun mendung yang berarak sungguh pekat mengerikan. Tetesan air yang menyentuh jendela menjadi pemandangan yang tak begitu menghibur, Yeonjun tak begitu suka hujan namun juga tidak benci. Hanya seperti manusia normal biasa, merutuk karena hujan yang menghalangi mereka, atau dilain kesempatan juga akan merutuk kembali karena terik yang membuat kulit mereka menghitam. Ya, ia masih tergolong manusia yang tak banyak bersyukur."Semua teman, dosen bahkan mahasiswamu menanyaiku tentangmu. Mereka terkejut dan berpikir kau benar-benar akan membunuh Arin. Aku sampai lelah mengatakan itu hal tak mungkin. Kau membunuh semut saja masih berpikir dua kali."
Wooseok masih mengoceh walau sedari tadi ocehannya tidak begitu ditanggapi Yeonjun. Lelaki bermarga Jung itu tidak begitu mempermasalahkan karena memang terbiasa, mulutnya yang terlalu banyak bicara dan Yeonjun yang hanya berbicara sesuai mood saja. Dan hari ini Yeonjun dalam mood sedang tak ingin banyak bicara.
"Aku kalau jadi dirimu mungkin bisa mati. Bagaimana bisa kau kabur dan berjalan lebih sangat jauh dari lokasi penculikan? Bahkan kau masuk ke hutan sangat lebat."
Yeonjun masih diam, namun arah pandangnya kini menatap Wooseok. Menatap laki-laki itu, meminta kembali berbicara walau tanpa mengatakannya.
"Arin sudah sadar tiga hari lalu, sebuah keajaiban dia bisa selamat padahal pendarahannya sangat hebat. Arin juga memberi kesaksian kalau kau melawan orang itu dan dia terluka karena melindungimu. Orang itu sudah mengawasi Arin sejak lama, dia tahu kapan tetangga Arin akan pulang. Mereka sepasang kekasih yang gila karena melukai kalian."
"Arin baik-baik saja 'kan?"
Wooseok menaikka alisnya, "Kenapa? Kau khawatir? Tenang saja, dia bahkan bisa memukulku dengan keras hanya sehari setelah bangun dari koma."
Yeonjun mengangguk mengerti, "Sekarang dia dimana? Bukannya dia dirawat di rumah sakit ini juga?"
Wooseok mengulum senyum kecut, "Arin sudah pergi ke luar negeri."
Yeonjun menegakkan tubuhnya, alisnya bertaut. "Kemana?"
"Dia tak mengatakan akan kemana. Tapi sepertinya Arin merasa bersalah membuatmu terluka. Arin sempat pamit padamu kemarin. Kau bangun hanya beberapa menit setelah dia pamit."
Yeonjun mendesah pelan, "Jadi suara Arinlah yang aku dengar sebelum sadar."
Wooseok memandang sahabatnya prihatin, "Sepertinya kau baru sadar kalau kau peduli dengan Arin."
"Aku tidak-"
"Choi Yeonjun. Berhenti mengatakan kau tidak peduli apapun! Tanpa kau sadar, kau kadang menjadi orang yang paling peduli dengan orang sekitarmu."
Wooseok menghela napas pelan.
"Kau temanku, tapi aku tak tahu banyak tentangmu, bahkan masalah keluargamu. Tapi kau mengatakannya pada Arin tanpa sadar. Kau hanya bilang padaku kalau kau benci pada keluargamu. Dan satu hal lagi, kenyataan bahwa kau rela mendonorkan sumsum tulangmu pada orang yang kau benci. Lalu setelah ini kau masih mengatakan kau tidak peduli?"
"Ber-"
"Aku tidak berisik, kau yang tak mau menerima kenyataan dan menurunkan egomu itu!"
Yeonjun terpekur, kalimat Wooseok membuatnya kembali berpikir. Bibirnya keluh, ia tak bisa menyangkal. Rasanya perkataan Wooseok tepat menusuk realitas dalam hatinya.
"Lebih baik kau pikirkan baik-baik perkataanku. Selesaikan masalah keluargamu dan kembalilah pada mereka. Sudah cukup kau kehilangan Arin karena ketidakpekaanmu terhadap perasaanmu sendiri. Kau memang lebih pintar dariku, tapi untuk masalah memahami perasaan... kau ini sangat bodoh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast [✔]
Fiksi PenggemarTOMORROW X TOGETHER STORY [COMPLETE] +×+ Eccedentesiast; "Seseorang yang tersenyum di balik kesakitannya."