Suara detak jam menemani malam ini. Masih kutunggu sampai waktu menunjukkan pukul 12 malam, tak lupa sesajen itu kutatah dengan rapi. Bunga berwarna-warni sudah tersedia di nampan, tak lupa sesuatu yang menjadi tumbalku malam ini.
Sudah waktunya. Remang-remang terdengar suara kereta kecana. Bau khas melati dan bunga sedap malam sudah mulai tercium. Tanda-tanda kedatangan putri agung, penguasa lautan bisa kurasakan.
Duduk bersila di antara kepulan asap, kurapalkan doa dengan menaburkan sedikit kemenyan di antara asap-asap yang mulai menebal. Seketika tengkuk ini terasa dingin, bulu kuduk merinding merasakan kehadirannya.
Dia sudah hadir di sini. Wangi kembang semakin tercium tajam diikuti dengan bau khas dupa yang kian menyengat. Namun, mataku masih enggan terbuka. Aku ingin menyambutnya dengan sangat sakral.
Suara itu, suara kereta kencana yang membuat bibirku tersenyum tipis. Sekali lagi dia sudah mulai mendekat. Embusan angin terasa kian menusuk, ini saatnya aku membuka mata.
Cahaya yang cukup menyilaukan dibarengi kedatangan sesosok wanita berbaju hijau dengan pakaian khas putri raja.
Wajahnya yang dingin dan datar menjadi sesuatu yang sudah tak asing bagiku."Selamat datang, Nyai," ucapku menundukkan kepala, memberinya penghormatan.
“Ada apa kau memanggilku?"
Aku terdiam sejenak seraya meyakinkan diri dengan apa yang akan kuminta padanya. Aku menunduk kembali mengatur napas dan menutup mata beberapa detik.
"Aku minta kekayaan yang lebih dari ini, Nyai," pintaku yakin.
Dia hanya diam tak menggubris pernyataanku. Dari matanya terlihat dia menatapku dengan tajam, suasana berubah semakin hening dan mencekam. Angin berembus semakin kencang sampai mengibas rambutku yang terurai.
"Apa yang akan kau berikan untukku?" tanyanya dingin.
Aku bergeming beberapa detik, berharap kali ini aku tak salah berucap. “Apa saja yang Nyai mau, akan saya berikan," tegasku.
Suasana kembali hening.
"Aku ingin sesuatu yang berharga darimu."
Kata-kata darinya membuatku menelan ludah. Sesuatu yang berharga? Aku memutar otak, apa yang harus kuberikan padanya? Pikiran jahat itu merasuk seketika. Aku mengangguk yakin dengan apa yang aku berikan padanya.
“Baik, Nyai. Sudah saya pikirkan dengan matang." Semua yang kulakukan demi harta dan kekuasaan.
Nyai mengangkat alisnya, aku mengerti jika dia sedang bertanya apa yang akan aku berikan padanya?
"Ambil anak dalam rahimku kapan pun kau mau," ucapku tegas sambil mengusap perut yang sudah memasuki kehamilan empat bulan.
Seketika Nyai menyeringai. Tawa dari sosok yang kupuja pecah dalam keheningan malam ini diikuti suara burung gagak dari luar, seolah ikut bersorak menemani tawa Nyai yang terasa memekakkan telinga.
"Kau yakin?"
“Saya yakin, Nyai." Aku kembali menegaskan ucapan, agar Nyai percaya pada janji yang sudah kubuat.
“Baiklah. Sepeninggalku nanti, bukalah kotak hitam yang biasa aku suguhkan padamu. Tapi, ingat, jika kau ingkar dengan janjimu, maka kau yang akan menjadi tumbalku."
Kata-kata Nyai kali ini terdengar menggelegar. Aku hanya mengangguk mengiyakan apa yang ia lontarkan.
Cahaya itu kembali muncul dibarengi dengan angin yang begitu kencang, mata ini tertutup tak mampu mengimbangi cahaya yang menyilaukan. Perlahan semua mulai meredup dan keheningan kembali terasa mengisi ruangan khusus untuk penyambutan Nyai.
Aku bergegas mengambil kotak hitam dalam lemari. Setelah kubuka, bibir ini tersenyum puas dengan apa yang didapatkan malam ini.
"Terima kasih, Nyai," ucapku senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Nyai (Sudah Terbit)
HorrorMarni dan Darman. Keduanya merasa frustrasi atas kehidupan yang membuatnya dihina sebagai orang miskin. Mereka mengambil jalan mudah untuk mencari kekayaan dengan melakukan pesugihan pada Nyai Gayatri--jelmaan siluman ular. Keduanya melakukan perja...