Penghalang Harus Mati!

4.7K 145 11
                                    


Aku masih memandangi Mas Darman yang menangisi jenazah ibunya. Dari dimandikan sampai dikafani Mas Darman setia di sisi ibu. Aku benar-benar tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Lalu siapa yang menemani ritual malam tadi?

Kami dan para warga mengiringi jenazah ibu ke tempat peristirahatan terakhir. Suamiku terlihat sedikit tegar untuk kali ini, ia ikut masuk ke liang lahat untuk menemani ibu yang terakhir kali.

Proses pemakaman telah usai. Kami sekeluarga berjalan beriringan. Tak ada sepatah kata pun yang terucap, bahkan aku tidak berani bertanya pada Mas Darman tentang kejadian yang tengah menimpanya semalam.

"Pak ... Bu!"

Panggilan dari arah belakang membuatku menoleh. Tampak Ustaz Zul tergesa-gesa menghampiri kami.

"Pak ... Bu, ada yang ingin saya bicarakan," ucapnya dengan sedikit terengah-engah.

Aku segera menoleh ke arah Lisa, lantas memerintahkannya untuk pulang terlebih dahulu. "Lisa, kamu pulang duluan, sekalian bawa adikmu! Nanti kami menyusul."

Lisa mengangguk dan segera mengambil Fahmi dari gendongan Ayahnya. "Pak Ustaz ... Lisa duluan, ya. Assalamualaikum."

"Iya, Nak. Hati-hati ... Wa'alaikumsallam," balasnya ramah.

Putriku terlihat kian menjauh. Namun, aku tidak suka dengan kehadiran Ustaz Zul. Aku yakin dia akan bertanya hal yang tidak-tidak tentang keluarga kami.

"Maaf, saya hanya ingin bertanya. Tahlilan di rumah kalian akan dilaksanakan pukul berapa?"

Sial! Aku lupa jika ada orang yang meninggal, pasti selalu diadakan tahlilan untuk beberapa hari ke depan. Nyai pasti tidak akan suka jika rumah diadakan pengajian seperti itu, tapi alasan apa lagi yang akan kuberikan pada pria tua ini?

"Kami belum ada persiapan apa-apa, Pak," jawab Mas Darman singkat.
Aku hanya mengangguk, menimpali ucapan suamiku.

"Oh, iya. Beri kabar saja kepada saya atau Pak Karsa, nanti kami yang akan mengarahkan warga."

"Iya, Pak, terima kasih," ucapku datar.

"Kalo begitu saya pamit. Mari, Bu ... Pak! Assalamualaikum."

"Wa alaikumsalam," jawabku dan Mas Darman bersamaan.

Ustaz Zul sudah tak terlihat. Sementara aku dan Mas Darman kembali berjalan tanpa sepatah kata.

Sesekali mataku melirik ke arahnya, tetapi dia hanya menatap lurus ke depan. Ingin sekali bertanya bagaimana perasaannya saat ini. Namun, aku terlalu takut dengan respons yang akan dia tunjukan.

"Aku tidak mengerti dengan kejadian semalam, Dek," ucapan Mas Darman memecah kesunyian di antara kami, serentak langkahku pun ikut berhenti.

Aku menoleh ke arahnya yang masih menatap lurus dengan raut wajah bingung. "Semalam kamu ke mana?" tanyaku penasaran.

"Aku mengambil ayam hitam itu, tapi tiba-tiba saja aku melihat Lisa berjalan ke belakang rumah dengan menangis tersedu-sedu." Mas Darman berhenti sejenak mengatur napas dan melanjutkan kembali ucapannya, "Saat aku mendekatinya dia membalikkan wajah dengan keadaan mata yang berlubang penuh dengan darah."

Tubuh Mas Darman bergetar hebat, ia mengacak rambutnya frustrasi. Sementara pikiranku hanya tertuju pada pria yang tengah menemani ritual semalam, dan itu jelas-jelas suamiku sendiri.

"Lalu, setelah itu?" tanyaku hati-hati.

"Setelah itu aku tidak ingat apa-apa. Hanya saja samar-samar ibu membangunkanku. Aku tersadar dan segera pergi ke kamarnya, tapi ibu sudah dalam keadaan seperti itu."

Aku mengusap punggungnya perlahan mencoba menenangkan. Tapi tetap saja aku masih dibuat bingung dengan situasi ini. Apa Nyai yang mengatur semuanya? Apa Nyai punya maksud tertentu?

***

Malam ini aku memutuskan untuk tidak melakukan tahlilan untuk ibu. Tentu saja aku tidak mau menyalahi aturan dari Nyai. Tambang hartaku lebih penting dari acara pengajian untuk ibu. Aku sedang menemani Fahmi tidur, tapi terdengar suara percakapan dari ruang tamu.

Mungkin aku harus keluar untuk memeriksanya.

Benar saja dugaanku, pantas aku mengenali suara tersebut. Ustaz Zul sudah berada di dalam rumah ini, dia sedang berbincang bersama Lisa dan Mas Darman.

"Bu ... maaf, saya bertamu malam-malam begini," ucap Ustaz Zul dengan senyum ramahnya.

Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk perlahan. Tampak Lisa melangkah ke arah dapur, sepertinya dia akan membuat minuman untuk ustaz dan ayahnya. Aku mengikuti Lisa untuk mempertanyakan kedatangan laki-laki tua itu kemari.

"Lisa, mau apa Pak ustaz ke mari?" tanyaku pada Lisa yang sedang menyiapkan beberapa gelas.

"Lisa yang mengundangnya, Bu."

Aku menarik tangan Lisa dengan paksa agar kami bisa bicara secara berhadapan. "Untuk apa?" tanyaku sedikit membentak.

"Untuk melihat keadaan rumah kita yang semakin tidak beres." Lisa sedikit memberi penekanan pada kata-katanya.

"Maksud kamu tidak beres apanya?"

"Ibu tidak sadar dengan semua kejadian yang aku alami? Mimpi buruk tentang nenek yang berubah menjadi kenyataan," tuturnya dengan nada meninggi.

Aku hanya menggeleng perlahan dan menatapnya tajam. Kucoba menahan amarah agar tidak lepas kendali pada putriku sendiri. "Itu hanya mimpi, Lisa." Aku berusaha untuk meyakinkan dan meredam emosinya.

"Itu kenyataan, Bu. Tunggu! Apa Ibu dalang dibalik kematian nenek?"

"Lisa!" bentakku.

Lisa terdiam menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Air matanya keluar dengan perlahan, sesekali ia menutupnya dan mengeluarkan sisa-sisa buliran bening itu. Aku mencoba menyentuh pipinya untuk menghapus kesedihan itu. Namun, Lisa menepis tanganku secara kasar.

"Ibu ... saat dulu kita susah sekali pun, Ibu tidak pernah membentakku seperti ini," ucapnya dengan nada terisak.

Aku hanya bisa menelan ludah, merasakan tenggorokan yang mengering dan dada yang terasa begitu sesak. Aku mengakui jika kehangatan keluarga kami terasa mulai luntur dan berganti menjadi suasana yang panas, serta amarah yang saling menyelimuti.

"Ibu tidak tahu apa yang aku rasakan. Ketakutan apa yang menyelimuti malam-malamku, Bu." Derai air mata Lisa membuat hatiku semakin sakit.

"I-ibu ...."

"Tidak, Bu. Jangan membuat pembelaan apa pun. Karena aku sudah tidak mengenal Ibu yang dulu, yang selalu ada saat aku ingin bercerita," ungkapnya terhenti beberapa detik. "Apa sekarang Ibu bertanya bagaimana keadaanku, atau bahkan bertanya bagaimana perasaan ayah melihat nenek meninggal?"

"Cukup, Lisa!" Aku membentaknya lagi. Aku benar-benar sudah tidak ingin menerima semua ucapan Lisa yang seolah menyudutkanku dalam hal ini.

"Aku jadi curiga ... jangan-jangan, sesudah kematian nenek, giliranku yang mati."

Tiba-tiba saja lampu dapur menjadi mati dan hidup kembali, seperti itu untuk beberapa saat. Lisa terlihat memundurkan langkahnya, dari raut wajahnya ia seperti mengalami ketakutan. Tak lama, embusan angin muncul dari jendela yang mengibaskan permukaan gorden.

Lisa semakin ketakutan. Napasnya terlihat naik turun, matanya mengamati ke seluruh ruangan dan ia pun segera berlari meninggalkanku sendiri. Aku hanya terdiam mengamati lampu yang masih mempermainkan cahayanya.

Apa ada Nyai di sini?  Hawa kedatangan Nyai sangat bisa kurasakan.

Ini semua gara-gara ustaz sialan itu. Aku yakin dia sudah mempengaruhi Lisa, ia juga pasti akan jadi benalu dalam rencanaku ke depannya. Aku meraih pisau yang tepat berada di sampingku. Ustaz Zul, kau harus mati malam ini.

Tumbal Nyai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang