Pagi sekali aku mendatangi kamar Lisa dengan membawakan sarapan seperti biasa. Roti dan susu ditata dalam nampan yang sudah kuletakan di atas nakas. Gorden dibuka agar cahaya bisa masuk dengan leluasa, Lisa kududukkan dengan bersandar pada bantal. Perlahan goresan sisir ini mengusap rambut Lisa yang panjang dan hitam. Sesekali bibirku mengulum senyum, merasa bahagia bisa sedekat ini dengannya.
"Putri Ibu sudah dewasa, pasti di sekolah sudah ada cowok yang naksir. Cerita sama ibu ... ibu, kan, ingin tahu siapa laki-laki yang beruntung itu," ucapku sembari menyisir rambut gadis manis ini.
"Eh, sebentar lagi Ayah ulang tahun, 'kan? Mau kasih kado apa buat Ayah? Atau kita kasih kejutan saja?"
"Emmm ... ibu siap mengatur semuanya pokoknya, nanti kita hias rumah ini bersama-sama. Terus, pas ayah datang kita nyanyikan lagi selamat ulang tahun." Aku mengoceh sendiri dengan berteman sunyi. Tidak ada jawaban atau respons sedikit pun dari Lisa. Sudut bibir ini berganti menjadi menekuk ke bawah, merasakan ada sesuatu yang membuat dada begitu sakit dan sesak. Tangan ini mendekap tubuh Lisa dari belakang, tetapi dia tetap dalam posisi diamnya.
Kubuka album biru ....
Penuh debu dan usang ....
Kupandangi semua gambar diri ....
Putih kecil belum ternoda ....
Aku menyanyikan lagi itu tepat di telinga Lisa dengan air mata yang menetes. "Ibu kangen dinyanyikan lagu itu sama Lisa." Hanya itu yang bisa terucap pada gadis yang sudah seperti mayat hidup ini. Wajah pucat, badan kurus, dan pandangan kosong. Aku sudah bertanya pada Nyai saat pemujaan, makhluk apa yang membuat Lisa menjadi seperti ini?
"Ampun, Nyai. Saya sudah lancang menanyakan tentang ini. Namun, saya sudah kehilangan arah. Makhluk apa yang mengganggu Lisa selama ini?"
Nyai menatapku tajam, tergambar sedikit ketidaksukaannya yang ia tunjukan dari sorot matanya.
"Bukankah Kusno sudah menjawabnya?" jawabnya dengan nada tegas.
Aku tertunduk tak berani menatapnya lagi. Entah mengapa hatiku ragu dengan jawaban Ki Kusno, karena selama ini aku pun mengalami gangguan-gangguan aneh. Aku menarik napas, lantas memberanikan diri untuk mencari kebenaran.
"Maaf, Nyai. Ki Kusno hanya bilang jika itu adalah makhluk yang tidak sengaja terundang saat kami melakukan pemujaan," jelasku dengan nada pelan dan segan.
"Jika dia sudah berbicara seperti itu, harusnya tidak perlu kau tanyakan lagi. Apa kau meragukanku, atau bahkan menuduhku, Marni?"
Aku menutup mata beberapa detik. Dari suaranya, Nyai terdengar begitu marah dengan pertanyaan bodoh yang sudah kulontarkan. Namun, aku tidak bisa menahan diri dari rasa yang sudah lama bergelut dalam hati, tentang siapa yang membuat Lisa seperti ini.
"Ampuni saya ... saya tidak akan mengungkit hal itu lagi, Nyai."
"Kau percayakan saja semua ini padaku, Marni. Bukankah kekayaan adalah hal yang terpenting? Jangan sampai membuang waktu dengan memikirkan hal yang tidak masuk ke dalam pemujaan. Jika tidak, nyawamu taruhannya."
Suara itu begitu menusuk, membuat tubuhku bergetar seketika. Tidak, aku tidak mau mati.
"Ba-baik, Nyai. Sa-saya mengerti," ucapku terbata.
Ya, kenangan malam itu membuatku enggan untuk mencari tahu tentang musibah yang menimpa Lisa. Terbesit dalam benak, bagaimana jika menyetujui saran dari Andi untuk merukiah Lisa. Namun, keyakinan dalam hati ini tentang kemarahan Nyai semakin besar. Nyai tidak akan suka jika kepercayaanku berbelok arah pada yang lain.
Aku kembali melepaskan pelukan dari tubuh mungil Lisa. Membaringkannya di ranjang dan membelai rambutnya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Jemari ini menyeka pipi yang sedari tadi sudah basah.
"Ibu pergi dulu ... ayah akan menemani Lisa di sini," ucapku sembari menarik selimut dan menutupi tubuh kurus itu. Kecupan lembut mendarat di kening gadisku yang cantik. Sungguh, diri ini baru menyadari arti kehilangan saat canda, tawa, kata yang sudah lama tak lagi terdengar.
Tak ingin menunda waktu, aku bergegas keluar dari kamar Lisa dan segera turun ke bawah untuk mengambil tas. Hari ini aku berniat untuk melihat keadaan Mas Suryo, sekaligus ingin menyaksikan permainan apa yang sudah Nyai lakukan pada laki-laki sialan itu.
"Mas, aku mau ke rumah Mas Suryo dulu. Kamu mau, kan, menjaga Lisa?" tanyaku pada Mas Darman yang sibuk merapikan kamar Nyai.
"Kenapa bukan aku saja yang ke sana. Kamu jaga Lisa di rumah," tuturnya. Ia terlihat mengganti bunga sedap malam dengan yang lebih segar.
Aku tersenyum dan melipat tangan di dada, menyenderkan badan pada penyanggah pintu. "Aku hanya penasaran dengan apa yang terjadi pada kakakmu itu. Apa dia sudah mati? Atau dalam keadaan yang lain?"
Mata Mas Darman sedikit menoleh, salah satu sudut bibirnya terangkat. "Kamu menggebu sekali membunuh dia," ucapnya tertahan. "Apa dendammu sebesar itu?" Pria itu berjalan ke arahku dan mengusap lembut pucuk kepala ini.
"Aku belum lupa dengan perlakuan dia yang seenaknya menghina kita, terlebih lagi menghina kamu sebagai suami yang tidak becus memenuhi kebutuhan keluarga," jelasku dengan bibir yang sedikit dimajukan beberapa senti.
Mas Darman mengarahkan kepalanya ke telingaku dan ia berbisik, "Balaskan dendamku dengan cara yang terbaik. Lakukan semuanya dengan indah dan perlahan."
Mata ini meliriknya, bibirku pun tersenyum puas. Tentu saja, memang itu yang aku harapkan selama ini.
***
Sambil menggenggam tangan Fahmi, aku melangkah dengan santai menuju rumah milik Mas Suryo. Terlihat beberapa orang tampak mengobrol di teras rumahnya. Mungkin ada beberapa tetangga yang datang menjenguk. Mbak Nuri kemarin sudah bercerita tentang keadaan suaminya yang sedang sakit, sakit yang menurutnya aneh. Saat aku bertanya perihal kedatangannya, mengapa harus mencariku, dia bermaksud untuk bermusyawarah masalah biaya.
Manusia tidak tahu malu, tidak punya otak. Mereka sudah meludah, tapi ludah itu dilap kembali dengan perilaku polos seolah teraniaya. Tidak pernahkah mereka berpikir perasaan yang dulu, perasaan yang pernah mereka sakiti tanpa ada kata maaf yang terucap.
"Mbak ... baru datang?" sapa salah seorang pria yang duduk di bangku teras rumah.
"Iya, Mas. Baru punya waktu, mari ...," jawabku ramah. Aku memasuki rumah itu dan terlihat ibu-ibu yang sedang menjenguk. Mereka berpamitan untuk pulang, beberapa di antaranya tersenyum ramah padaku. Aku semakin penasaran dengan keadaan kakak tercinta.
"Marni ... eh, sama Fahmi juga?" sapa Mbak Nuri tersenyum. Palsu, itu hanyalah senyum busuk yang sengaja ia keluarkan, sebab ada kemauan yang ingin dicapainya. Aku hanya membalas senyum itu dengan sedikit dipaksakan.
"Ikut Mbak, Marni. Kita lihat keadaan mas-mu."
Aku mengangguk mengikuti langkahnya untuk masuk ke kamar mereka. Mata ini seketika membelalak melihat keadaan pria yang berbaring di ranjang dengan keadaan yang membuat orang jijik untuk melihatnya.
Seluruh kulit Mas Suryo penuh dengan borok, serta mengeluarkan bau busuk yang begitu menusuk. Tidak habis pikir dengan warga di kampung ini, mengapa masih sudi untuk menengok pria yang sudah dalam keadaan seperti ini. Aku menutup hidung.
"Panas ... panas, Dek. Ambilkan air dingin, cepat!"
Mbak Nuri hanya terisak melihat suaminya meraung dan mengoceh demikian.
Sementara Fahmi, entah kenapa anak itu bersembunyi di balik tubuhku. Tangannya mengepal pakaianku dari belakang. Tubuh ini berjongkok perlahan menyeimbangkan tinggi Fahmi. "Ada apa, Sayang?" tanyaku setengah berbisik.
"Takut, Bu," jawabnya pelan.
"Takut apa?"
"Itu ...." Jarinya menunjuk ke arah Mas Suryo.
"Takut sama Pak De?" tanyaku lagi.
Fahmi menggeleng perlahan.
"Sini, bisikkin Ibu!" perintahku menyodorkan telinga ke bibirnya yang mungil.
"Ada orang punya tanduk, badannya berbulu. Lagi jilatin badannya Pak De," ucapnya bergetar. Tampak keringat dingin mengucur di pelipis Fahmi. Aku memangkunya dan mengajak ia keluar kamar, ia pasti melihat sosok jin yang mengganggu Mas Suryo.
Mbak Nuri mengikuti langkahku. Kami duduk di sofa untuk sekedar mengobrol dan membicarakan keadaan Mas Suryo.
"Sudah berobat?" tanyaku dingin.
Mbak Nuri mengangguk perlahan dengan tubuh sedikit terguncang, ia terlihat masih terisak dengan tangisnya. Aku hanya tersenyum tipis, merasakan kebahagiaan atas keadaan yang menimpa keluarga mereka.
Bodoh ... mereka bodoh mau menerima uang pemberianku saat itu. Sudah jelas mereka tahu jika keluarga kami kaya secara mendadak, tapi mereka masih menerima pemberian kami secara cuma-cuma. Uang itu sudah kuberi mantra saat melakukan ritul, malah Nyai meniupkan kekuatannya pada uang itu. Lantas, jika di luar sana berpikir aku manusia serakah, bagaimana dengan keluarga ini? Bukan aku yang menumbalkannya, tapi mereka yang mengantarkan nyawanya sendiri.
"Marni ... dokter memeriksa suamiku kemarin. Katanya harus dirawat sampai sembuh," ucap Mbak Nuri pelan.
"Lalu, kenapa tidak dibawa saja?"
"Mbak enggak punya biaya sebesar itu," jawabnya terisak kembali.
"Urusan denganku apa, Mbak?" tanyaku ketus.
"Bantu pengobatan Mas Suryo ... harapan mbak hanya kepada kamu dan Darman, Marni."
Manusia tidak tahu malu. Sampai ia bersujud dan mencium kaki pun, aku tidak akan pernah membantu mereka. Mati ... mereka harus mati. Maka dendam ini akan terbayar lunas.
"Aku tidak bisa," ucapku datar.
"Marni ... apa maksudmu?"
"Aku bilang ... tidak bisa, Mbak." Sengaja kunaikkan nada bicara agar ia tahu betapa sakit perasaan ini.
"Kamu tega, Marni!" teriaknya.
"Tega mana saat dulu Fahmi sakit malam hari, dan kalian tidak mau menolong? Malam itu hujan deras, kami tidak punya uang. Kalian malah mengusir kami dengan alasan mengantuk. Kau tidak mengingatnya, Nuri? Apa perlu aku ingatkan lagi kejadian itu secara rinci?" Dadaku terasa sesak saat bayangan kekejian mereka melintas dalam ingatan.
Dia terdiam, mengatur napas. Aku yakin dia tidak lupa dengan hari menyedihkan itu.
"Untung saja Fahmi masih hidup sampai sekarang. Jika tidak, aku sudah membunuh kalian saat itu juga," tuturku memberi tatapan menusuk di mata Mbak Nuri.
"Maaf, Marni. Saat itu kami khilaf."
Hatiku semakin ditusuk saat dengan entengnya dia mengucap kata maaf. Semudah itu menyakiti perasaan orang lain, dan hanya terlontar kata khilaf?
"Karma tidak hanya berlaku untuk Mas Suryo saja, bahkan Mbak Nuri pun harus bersiap menerima giliran selanjutnya," ucapku dibarengi dengan tawa puas.
"Apa kau yang melakukan ini, Marni?"
Aku hanya mengangkat bahu memberi tanda tidak peduli. Aku berdiri, menggendong Fahmi dan melangkahkan kaki untuk ke luar dari rumah ini.
"Marni! Sebelum aku mati, aku yang akan membunuhmu terlebih dahulu!"
Teriakan itu membuat langkahku terhenti dan menoleh ke arah belakang. Dia mengancamku? Seberani itukah? Dia tumbalku berikutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Nyai (Sudah Terbit)
HororMarni dan Darman. Keduanya merasa frustrasi atas kehidupan yang membuatnya dihina sebagai orang miskin. Mereka mengambil jalan mudah untuk mencari kekayaan dengan melakukan pesugihan pada Nyai Gayatri--jelmaan siluman ular. Keduanya melakukan perja...