Aku terbangun dan merasakan nyeri di bagian leher. Mata ini menerobos seisi ruangan, ternyata sudah berada di kamarku sendiri. Terlihat Mas Darman yang duduk termenung di ujung ranjang. Tunggu, kenapa sudah berada di sini? Andi ... percobaan pembunuhan Andi itu ternyata gagal.
Sial!
"Mas ...," panggilku berusaha bangkit dari tempat tidur.
Dia menoleh ke arahku dan kembali membuang wajahnya seolah enggan untuk menatap. Sementara tangan ini memegangi leher yang terasa pegal dan sakit. Heran, Mas Darman tidak menyapaku sama sekali, bahkan dia tidak bertanya mengapa istrinya pulang dalam keadaan seperti ini?
Aku turun dari ranjang untuk bergegas pergi ke dapur. Tenggorokan ini terasa begitu kering. Mungkin biarkan saja Mas Darman seperti itu dulu, sepertinya ada hal yang sedang ia pikirkan.
Saat keluar dari daun pintu, netra ini disuguhkan dengan mainan Fahmi yang begitu berantakan. Hanya mainannya saja, tapi ke mana anak itu?
"Dek ... Dedek di mana?" panggilku dengan mengarahkan pandangan ke sana dan ke mari. Tak ada jawaban dari Fahmi. Namun, mataku membulat saat melihat pintu kamar Nyai yang sedikit terbuka. Kenapa pintu ini terbuka begitu saja, harusnya kamar Nyai tertutup dengan rapat. Segera kulangkahkan kaki untuk menutup kamar yang menjadi rahasia terbesar dalam kehidupan kami.
Baru saja tangan menyentuh knop pintu. Ada hal yang membuat tubuhku kaku, jantung ini berdetak cepat, dan rasa takut yang luar biasa menyeruak. Ingin sekali berteriak memanggil namanya, tetapi kebisuan ini seolah memaksa untuk tetap bungkam. Mas Darman menepuk bahu dari belakang membuatku terperanjat.
"Ada apa, dan kenapa kau diam di sini?"
Aku hanya menggigit jari dengan tubuh yang gemetar. Jari telunjuk diarahkan ke dalam kamar Nyai. Mas Darman mengikuti arahanku sampai pada akhirnya dia berteriak, "Fahmi!”
Dia berlari meraih tubuh mungil anak kesayangannya. Mengguncangkan tubuh itu dan berusaha membangunkan Fahmi yang sudah tergeletak di lantai tak berdaya. Aku hanya bisa menebak jika Fahmi masuk ke dalam kamar Nyai dan memperlakukan sesajen sebagai mainannya. Itu terlihat dari beberapa sesajen dan bunga-bungaan yang berserakan. Alasan itu yang membuat kami menutup rapat pintu kamar ini, karena siapa pun yang memasukinya, maka tidak ada harapan untuk keluar lagi.
Mas Darman memeluk dan meneriaki nama Fahmi. Dengan sigap dia membopong tubuh Fahmi, membawanya ke luar dari kamar Nyai. Sementara aku, hanya bisa terdiam dengan tubuh yang gemetar menyaksikan Mas Darman yang tangisnya kian mengeras.
"Fahmi! Tolong anakku ... kembalikan anakku!"
Andi terlihat turun dari anak tangga dengan tatapan bingung melihat ke arah kami. Lantunan istigfar kian terdengar saat melihat Mas Darman yang mengguncangkan tubuh Fahmi beberapa kali. Lantas Andi berlari dan memeriksa Fahmi, seperti mengecek denyut nadinya.
"Innalillahi wainnalillahi rojiun," ucap Andi.
Jantungku semakin ditusuk, badanku lemah. Ingin sekali memeluk Fahmi dan menangis sekencang-kencangnya. Namun, bibirku tetap tertahan. Kali ini yang bisa kulakukan meraih bahu Mas Darman, tapi dia mengutarakan sesuatu yang tidak terduga.
"Kita akhiri saja pemujaan ini, Marni."
"A-aku ...," ucapku terbata-bata.
Telinga ini seperti mendapat sambaran saat mendengar suamiku memutuskan hal yang tak mungkin menjadi pilihan. Terbayang situasi saat menjadi orang miskin yang hanya diinjak-injak oleh orang lain. Tidak, aku tidak ingin seperti itu lagi.
Lantas aku berlari ke kamar Nyai. Menutup rapat pintu dan mengeluarkan semua air mata yang sudah sulit dibendung lagi. Aku segera berduduk pada kain putih dan merengek mempertanyakan apa yang sudah terjadi pada anakku Fahmi. Rasanya keadaan Lisa sudah membuat hati ini terluka, lalu mengapa sekarang harus Fahmi?
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Nyai (Sudah Terbit)
TerrorMarni dan Darman. Keduanya merasa frustrasi atas kehidupan yang membuatnya dihina sebagai orang miskin. Mereka mengambil jalan mudah untuk mencari kekayaan dengan melakukan pesugihan pada Nyai Gayatri--jelmaan siluman ular. Keduanya melakukan perja...