Mimpi Andi (POV Andi)

4.9K 156 17
                                    

"Assalamualaikum," ucapan salam terdengar dari balik pintu, dibarengi dengan ketukan beberapa kali.

"Wa alaikumsalam ... masuk, Pak."
Pria paruh baya itu tampak tersenyum melihatku sedang membereskan peralatan shalat. Ya, aku baru saja selesai menunaikan shalat isya. Aku bergegas menghampiri bapak yang sudah duduk di atas ranjang.

"Ada apa, Pak?" tanyaku, meletakkan kopiah dan sajadah di atas nakas.
"Bapak khawatir, Nak." Aku mengernyit menatap bapak yang wajahnya tampak penuh kegelisahan.

Entah apa yang Bapak khawatirkan, tetapi aku berusaha tersenyum dan meresponsnya dengan baik.

"Apa yang Bapak khawatirkan? Aku sudah dewasa, bisa menjaga diri, Pak."

"Kamu jangan terlalu masuk ke dalam masalah keluarga pasien. Apalagi bapak merasa merinding saat kamu bercerita sesuatu yang kamu lihat di rumahnya Pak Darman," tutur Bapak mengusap tengkuknya.

Aku hanya tersenyum mendengar ungkapan perasaannya sebagai orang tua. Memang cukup mengerikan saat aku merasakan hawa mistis yang begitu aneh di rumah itu. Ketika baru masuk saja, diri ini disambut dengan bebauan yang begitu menusuk. Belum lagi terdengar desisan ular dan tatapan dari lukisan perempuan berbaju hijau. Ketika memeriksa Lisa, ada kekuatan yang begitu membuat tubuhku sakit dan panas. Aku bisa melihat makhluk tak kasat mata, tetapi di rumah itu mereka tidak menampakkan diri. Mereka hanya memberi respons dengan hawa yang sangat mencekam.

"Aku tidak bermaksud masuk ke dalam kehidupan mereka, Pak. Bapak tahu, kan, misiku sebagai dokter itu apa. Selain menyembuhkan secara medis, pun ingin membuka mata mereka tentang pentingnya menyembuhkan secara syariah. Rata-rata pasien dan keluarganya aku suruh rajin membaca Alquran. Tujuannya untuk mendekatkan diri pada-Nya," jelasku pada pria yang menatapku dengan sendu.

Aku mengusap bahunya perlahan, mencoba meyakinkan jika caraku tidak salah dalam hal ini. Saat bekerja sangat sering pasien yang mengeluh, merasa ketakutan dengan vonis yang menyangkut kesehatan mereka. Aku tidak ingin seperti itu, caraku memberi masukan tentang mendekatkan diri kepada Allah dirasa baik untuk menghadirkan kekuatan tersendiri, membuat pasien lebih ikhlas, tenang, dan bersyukur memaknai hidup.

"Bapak mengerti, Nak. Tapi untuk masalah ini, entah mengapa bapak khawatir." Bapak tertunduk, ia tampak menghela napas panjang.

"Tidak perlu ada yang dikhawatirkan, Pak. Aku bisa menjaga diri, asal Bapak percaya dan yakin jika ada Allah yang melindungiku," jelasku yang lagi-lagi mengusap bahunya dengan lembut.

Bapak pun tersenyum, ia berdiri dan berkata, "Tidurlah! Besok kamu harus kerja, 'kan? Jangan lupa berdoa, jika mau tahajud nyalakan alarm biar tidak kebablasan."

Aku pun mengangguk perlahan dan tersenyum. Bapak melangkah keluar, sementara aku mengikutinya sampai depan pintu. Setelah terlihat menjauh dari daun pintu, aku segera menutup rapat dan berniat istirahat. Baru saja berbalik, knop pintu terdengar dimainkan. Aku meliriknya dan benda itu terlihat berputar-putar sendiri. Mungkin Bapak kembali untuk menyampaikan sesuatu, pikirku.

"Pak, apa itu Bapak? Ada apa?"
Hening. Tak ada jawaban sedikit pun, yang ada benda itu lebih cepat dari pergerakan sebelumnya.

"Pak ... Bu. Apa itu Ibu?"
Perasaanku tidak karuan saat lagi-lagi tak mendengar jawaban. Aku berniat menghampiri dan membuka pintu. Namun, baru saja akan melangkah kaki ini terasa kaku dan berat. Lantunan istigfar diucapkan berkali-kali, tetapi tetap saja sulit digerakkan.

Ada apa ini?

Mataku mengarah ke bawah, sebuah tangan berkuku panjang memegangi kakiku dan menariknya ke belakang. Aku jatuh dan terpental. Seketika semua berubah menjadi gelap.

Tumbal Nyai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang