Seperti Nyata (POV Lisa)

5.3K 155 5
                                    

Aku menggosok mata dan melirik jam dinding dengan rasa kantuk yang luar biasa. Ternyata aku terbangun di tengah malam, karena jam menunjukkan tepat pukul dua belas malam.

Entah mengapa rasanya haus sekali. Aku harus turun ke bawah untuk mengambil air minum. Ternyata tidur di lantai atas cukup merepotkan sampai harus menuruni anak tangga dengan suasana yang begitu gelap.

Ya, di sini gelap dan dingin. Sesekali kuusap tengkuk karena hawa aneh yang begitu menusuk, ditambah bau melati yang begitu menyengat.

Langkah kaki ini ditemani kegelapan dan suara detak jam yang begitu kencang. Aku mencoba menepis perasaan takut itu, dan segera berlari kecil ke arah dapur seraya bergegas mengambil minum. Seperti kata guru mengajiku dulu, kita tidak boleh dikuasai oleh rasa takut.

Saat minum, sudut mata ini menangkap bayangan yang berjalan dengan perlahan. Dari belakang tampaknya itu ibu. Ya, sudah kupastikan itu adalah ibu. Namun, mengapa dia membawa pisau?

"Bu ... itu Ibu, 'kan?" tanyaku sembari melangkahkan kaki mengikutinya dari belakang.

Dia tetap tidak menjawab dan berjalan sangat pelan menuju kamar nenek. Aku sangat mengenal ibu, bahkan dari cara berjalan pun aku merasa ini berbeda.

"Ibu mau ke mana? Kenapa Ibu membawa pisau?" tanyaku kembali. Ibu tetap tidak menggubrisnya.
Mungkin aku harus terus mengikuti ibu. Sebenarnya jika dia tidak membawa benda tajam, aku tidak akan peduli ke mana pun ibu pergi selama masih di dalam rumah ini.

Namun, rasa takut ini menguat melihat apa yang digenggamnya. Apa yang akan ibu lakukan? Apa ibu akan membunuh nenek? Ibu membuka pintu dan masuk ke kamar nenek.

Tapi, tunggu! Kenapa? Kenapa kakiku sulit digerakkan saat sampai di depan pintu kamar nenek?

Pintu kamar itu terbuka lebar. Aku melihat ibu mengangkat pisau tepat di atas tubuh nenek. Sementara tubuh nenek terlihat bergerak sedikit demi sedikit. Aku yakin jika nenek sedang dalam keadaan takut. Keringat dingin ini mulai menjalar di pelipis dan jantungku berdetak tak beraturan dengan kaki yang masih kucoba gerakan.

"Bu .. Ibu mau apa?" tanyaku dengan berteriak dan terisak.

'Jleb'

"Ibu!!" teriakku.

'Jleb'

"Berhenti!!"

Ibu beberapa kali menusukkan pisau pada tubuh nenek. Darah mulai membasahi seprai berwarna putih dan membanjiri lantai. Tubuhku ambruk ke bawah dengan tangisan yang kian menjadi menyaksikan peristiwa mengerikan yang tak pernah terbayang sedikit pun.

Tusukan itu terhenti. Namun, dengan perlahan kepala ibu mulai berputar  ke arahku. Mataku terbelalak menyaksikan wajah ibu dipenuhi sisik ular dengan iris mata berwarna putih. Ibu menyeringai, tawanya pun menggelegar.

"Ibu!"

***

"Astagfirullah hal Adzim." Kulafalkan kalimat istigfar beberapa kali. Napasku terasa terengah-engah dan keringat mengucur begitu deras. Mimpi macam apa ini?

Aku melirik jam dinding dan masih menunjukkan pukul dua belas malam. Mimpi mengerikan ini membuatku merasa sangat haus. Aku segera turun dari tempat tidur dan bergegas menuju dapur untuk mengambil minum.

"Ibu?"

Aku melihat Ibu tengah berdiri di sudut dapur seperti apa yang kulihat dalam mimpi. Tidak, ini tidak boleh terjadi. Lantas aku berlari dan menarik tangan Ibu.

"Lisa!" Ibu melepas tangannya secara paksa.

"Kamu ibuku, 'kan?"

"Kamu kenapa  sih?"

Lantunan kalimat istigfar kembali kuucap dengan mengusap wajah beberapa kali. "Ibu, aku mimpi buruk. Di mimpi itu Ibu membunuh nenek dengan cara yang sangat kejam." Aku terisak, tubuhku pun bergetar secara perlahan berusaha menahan tangis.

Ibu mengusap lembut bahuku. "Itu cuma mimpi, Lisa," ucap Ibu menenangkan.

Aku mengusap air mata dan menatap Ibu dengan tajam. "Aku ingin bertanya, Bu!"

"Tanyakan saja," ucap Ibu membelai rambut panjangku.

"Apa yang akan Ibu lakukan pada nenek?"

Mata Ibu terlihat menyipit seperti tak suka dengan pertanyaan yang kulontarkan. Namun, aku tetap memasang wajah datar dan sedikit menebak arti dari tatapan Ibu.

"Apa anak ibu ini berpikir jika ibunya jahat?" Ibu melipat tangannya di dada. Aku hanya tertunduk lesu tak mampu menjawab apa-apa. Apa aku akan menjadi anak durhaka jika menuduh orang tua sebagai seseorang yang jahat?

Perasaan ini mengatakan jika ada sesuatu yang tidak beres yang dilakukan ayah dan ibu dalam mencari kekayaan. Mereka tidak pernah terlihat bekerja, tapi harta kami sangat banyak. Apa mungkin?

"Lisa!" panggilan Ibu membuyarkan lamunanku. "Kamu tidak apa-apa?"
Aku menggeleng perlahan dan mencoba tersenyum dengan sedikit dipaksakan.

"Kalo begitu kembali ke kamar! Besok kamu harus sekolah, ‘kan?"

Aku mengangguk lantas melangkahkan kaki ke kamar. Aku berinisiatif untuk shalat tahajud terlebih dahulu sebelum tidur kembali. Semoga saja dengan shalat bisa sedikit menenangkan dan menghilangkan ketakutan ini. Aku segera mengambil air wudu dan melaksanakan niat yang sudah bulat.

"Allahu Akbar."

Krek! Krek! Krek

Baru saja mengucap takbir pertama, suara knop pintu diputar beberapa kali. Konsentrasiku buyar dan melirik ke arah knop yang bergerak lumayan cepat.

"Siapa di luar?"

Hening, tak ada jawaban. Aku bersiap dalam posisi shalat kembali. Namun, suara knop pintu lebih kencang dari sebelumnya. Tatapanku kembali diarahkan ke sana.

"Ibu ... Ayah. Apa itu kalian?"

Gerakannya semakin cepat. Aku memundurkan tubuh beberapa langkah. Jantung ini mulai berdetak tak karuan, tubuhku bergetar hebat karena rasa takut yang mulai menyerang kembali.

"Siapa?" teriakku.

Pandanganku mengarah ke bawah karena merasa ada yang mencengkeram kaki ini dengan sangat kuat. Sebuah tangan berwarna lebam dengan kuku yang panjang menarik tubuhku sampai jatuh tersungkur.

"Ibu ... ayah ... tolong!"

Aku terseret ke belakang secara perlahan. Sekuat tenaga kulawan dengan memajukan tubuh ini beberapa kali. Namun, cengkeraman dan tarikannya semakin kuat.

"Tolong! Tolong aku!” teriakku dengan nada terisak.

Tangisku semakin mengencang, berharap Ibu dan Ayah datang untuk menolong. Aku sudah tidak kuat menahan tarikan ini, tubuhku melemah dan terbanting entah ke mana. Kepala sakit, pandangan pun buyar. Yang terlihat hanya samar-samar kibasan ekor bersisik melintas di hadapanku. Dan akhirnya gelap.


Tumbal Nyai (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang